Mengunyah Pinang Tak Mungkin Hilang


Budaya Mengunyah Pinang Masyarakat Papua

Payung yang terbuat dari bahan campuran kertas dan plastik, tak membuat mama-mama penjual pinang beringsut dari tempat duduk mengelar dagangannya. Di sepanjang ruas jalan Waena-Abepura, mereka tetap bertahan dari sengatan matahari dan terpaan angin malam sepanjang hari. Para pedagang pinang itu ada yang memulai usahanya sejak lima, atau bahkan puluhan tahun silam.

Berbentuk lonjong pipih, bak bola rugby, berwarna hijau-kekuning-kuningan buah pinang memang lain dari buah sejenis tanaman famili Palma lainnya. Jangan heran bila banyak kalangan, tanpa membeda-bedakan umur, suku dan status social, buah pinang merupakan sarana pergaulan di Papua. Tak mengherankan bila buah pinang selalu disajikan pada waktu hajatan upacara perkawinan, upacara adat dan di tempat-tempat berkumpul lain.

Simon Aurai, guru SMA Gabungan pengemar pinang, menyebutkan buah pinang dapat menjadi alat perekat antarsesama orang. Bahkan, cerita Simon, melalui buah pinang lah orang yang belum dikenal bisa menjadi saling akrab. “Orang yang tadinya tidak saling kenal, dalam sebuah pertemuan misalnya, karena pinang bisa menjadi lebih akrab,” ujar Simon Aurai. “Biasanya pengemar pinang sering disebut sebagai menginang.”

(Courtesy Aliansi Masyarakat Adat Papua)

Pinang termasuk dalam tumbuhan jenis Palma yang tumbuh di daerah Pasifik, Asia dan Afrika bagian timur. Di Indonesia, setiap daerah telah mengenal buah pinang, tidak hanya digemari masyarakat di Papua tetapi juga disukai masyarakat Aceh, Batak Toba, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, dan Sulawesi. Hanya saja, yang membedakan di Papua buah pinang dikomsumsi oleh semua usia mulai dari anak-anak, remaja, orang dewas hingga para lansia. Sedang di luar daerah papua, pinang hanya digemari oleh orang tua.

Awalnya, menurut kepercayaan jaman dahulu, buah pinang dianggap sebagai benda sakral yang hanya disajikan pada saat upacara ritual adat. Sehingga, menurut Abner Dimara, banyak orang menganggap pinang sebagai benda sakral. Oleh sebab itu anak-anak dan pemuda saat itu dilarang mengkonsumsi pinang. ”Tapi, seiring perkembangan jaman, larangan berbahu mistis itu pun berlarut-larut hilang. Mulailah pinang menjadi pilihan “iseng” untuk dikuncah anak-anak maupun pemuda-pemudi di Papua,” katanya. “Bahkan hampir di setiap rumah orang Papua ditanami pohon pinang, agar mudah memeroleh buahnya dengan mudah bila sewaktu-waktu ketagihan mengunyahnya.”

Kebudayaan mengunyah pinang, menurut Abner Dimara staf Koleksi Museum Negeri Propinsi Papua, selalu diturunkan dari kebiasaan orang tua masing-masing suku. Menurut penelitian sejarah, para orang tua biasa memberikan buah pinang yang sudah dicecap hingga warna berubah merah dan diberikan pada anak-anaknya sejak masih berumur tiga-empat tahun. “Inilah yang mengakibatkan budaya mengkonsumsi buah pinang menjadi tradisi sulit dihentikan. Tradisi seperti ini terus berkembang hingga kini,” katanya.

Dalam kepercayaan masyarakat Biak, papar Abner Dimara lebih lanjut, bahkan air bekas menginang dipercaya sebagai alat penunjuk untuk mencari benda yang dicuri orang. Mereka masih mempercayai bila air bekas menginang bila dibuang ditelapak tangan setelah didoakan, orang tersebut akan mengetahui pencurinya. “Orang di Biak menyebut kepercayaan ini dengan istilah skinsor. Tentu harus ada tetua adat di daerah setempat,” cerita Abner Dimara.

Menyadari semakin meluasnya budaya mengunyah pinang di kalangan masyarakat Papua, Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu, bahkan menganjurkan agar masyarakat memelihara budaya menginang. Menurut Suebu, budaya mengunyah pinang banyak manfaatnya. “Selain dapat memelihara kesehatan gigi, menghilangkan bau mulut, juga untuk menghangatkan tubuh dan menetralkan mulut dari aroma makanan yang menyengat,” ujar Suebu beberapa waktu lalu di Taman Budaya Waena.

Anjuran Gubernur Suebu agar memelihara budaya menguyah pinang benar adanya. Apalagi bila sediaan simplisia dari buah pinang dapat diproduksi secara masal oleh pemerintah. Alasannya, ternyata buah pinang juga berkasiat untuk mengobati penyakit cacingan, desentri dan diare berdarah. Selain murah pengembangan obat berasal dari kekayaan alam Papua, juga dapat dikembangkan hingga ke pelosok kampung.

Meski demikian, buah pinang juga mengandung alkaloida seperti arekaina (arecaine) dan arekolina (arecoline), yang sedikit banyak bersifat adiktif yang mampu merangsang otak. Senyawa jenis ini, biasanya juga terdapat tanaman opium dan ganja yang menghasilkan morphin. Senyawa yang terkandung dalam buah pinang, juga dapat menyebabkan ketergantungan bagi yang mengkonsumsinya. (brigita/lince/eddy j soetopo)

Previous Blusukan ke Kediaman Nenek Moyang di Sangiran
Next Pose Menantang Peragawati Ayu Negeri Kanguru

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *