Mengenang Slamet Gundono, Ki Dalang Suket


Dengan Dawai Kentrung Slamet Gundono Mengingatkan Keangkuhan Manusia (Caption: Candi Sukuh/Jez)

Sosok almarhum Slamet Gundono, 44, tidak bisa terlepas dari pertunjukan wayang suket yang kini mulai dikenal luas di masyarakat.  Secara tidak sengaja, seniman bertubuh tambun ini memakai rumput (Jawa: suket) sebagai media dalam pertunjukkan wayang yang dipentaskan di berbagai kota. Tak ada kata yang pantas diacungkan ibu jari pada almarhum Gundono, kecuali Dalang Suket Mumpuni. Kami ketengahkan Gundono, ke tengah-tengah khalayak, agar konsistensi Ki Slamet Gundono bisa menjadi tauladan.

Pertunjukkan wayang suket yang dibawakan dalang asal Slawi, Slamet Gundono ini sangat berbeda dengan bentuk pementasan kesenian wayang seperti lazimnya wayang kulit atau lainnya. Wayang ini sebenarnya tidak masuk kategori sebagai kesenian wayang. Sebab, wayang suket memang bukan hasil kesenian tradisional. Melainkan, buah karya tangan-tangan terampil yang menyerupai model wayang.

Slamet Gundono dan Komunitas Wayang Suket Konsisten Menentang UU Pornografi (caption: Jez)

Gundono dan Suket

Wayang suket sendiri adalah wayang yang terbuat dari bagian batang jenis rumput tertentu yang dianyam layaknya karakter dalam tokoh-tokoh pewayangan. Wayang suket ini sebenarnya ini merupakan dolanan bagi anak-anak desa. Mereka memainkan suket yang dibentuk seperti orang-orangan itu sembari menunggui hewan gembalaan yang sedang merumput di padang sawah.

Sebagai seorang kreator seni, pementasan wayang suket Slamet Gundono kadang menimbulkan reaksi pro dan kontra di kalangan seniman dan praktisi pedalangan. Penampilannya yang terkesan unik, dengan perawakan tubuh yang subur dan murah selalu senyum, dalang yang juga memiliki bakat musik dan menari ini tergolong sebagai seniman yang nyentrik.

Dalam berkreasi ini dirinya mengaku tidak punya aliran tertentu. Baginya dirinya merasa enjoy saja. Gundono akan menerima suatu karya selama ditemukan gagasannya sebagai suatu yang riil dan menjadi vitalitas dalam hidup. “Buat saya yang namanya eksperimen itu biasa-biasa saja. Bagi saya itu adalah sebuah laku yang logis bagi seorang seniman,” terangnya.

Lihatlah penampilannya di setiap pentas pertunjukkan yang digelarnya. Dengan setengah telanjang, penampilannya dalam pertunjukkan selalu menjadi perhatian. Slamet Gundono dengan lihai terus bertutur dan melantunkan bait-bait sulukan dengan suara khasnya yang merdu. Perannya di atas panggung sangat jelas menampakkan bahwa dirinya adalah seorang dalang yang benar-benar menjadi sutradara pertunjukkan.

Sebagai Seniman Gundono Tetap Konsisten Membela Wong Cilik

Slamet Gundono mengemas wayang suket secara apik dan unik sebagai kreasi baru dalam dunia pewayangan. Cerita yang dipentaskan tidak diangkat dari cerita-cerita klasik yang bersumber dari kitab Mahabarata, Ramayana, kisah Panji, kisah Menak, atau sumber cerita yang lain. Namun, cerita-cerita dari fenomena sosial yang ada di sekitar kita. Dengan gayanya yang nyleneh, Slamet Gundono dengan gampang mengkritik hingga guyonan dan mampu membuat penontonnya bergelak tertawa. Dari seni kreasinya itu, membawanya menerima penghargaan dari Prince Claus Award tahun 2005 dari Pemerintah Kerajaan Belanda atas jasanya dalam dunia seni kebudayaan

Wayang Suket sekarang menjadi sebuah icon bagi Slamet Gundono dan kelompoknya. Slamet Gundono membentuk Komunitas Wayang Suket pada sekitar tahun 1999, yang menjadi wadah berkreasi bersama kelompoknya di Solo, sekembali dari perjalanannya ke Riau. Di tangan Slamet Gundono, Wayang Suket menjadi sebuah media seni teater berbasis kesenian tradisional wayang. Di tangan Slamet Gundono pula, Wayang Suket tidak hanya menjadi tontonan yang enak dan segar, tetapi juga bisa menjadi suatu tuntunan.

Karya Slamet Gundono sebenarnya tidak hanya wayang suket semata. Karya lain telah tercipta sebelum dirinya mementaskan wayang suket. Karya pertamanya lahir ketika dirinya masih berada di semester kedua di jurusan pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Bersama teman-temannya Gundono menampilkan karya Pakeliran Panjang, Kelir Dengan Tiga Dalang pada sekitar tahun 1991-1992. Karya-karya yang dihadirkan Slamet Gundono merupakan kreasi ekperimen yang muncul atas sifat ketidaktahanannya pada kondisi yang sudah mapan.

Cita-cita jadi Kyai

Latar belakang kehidupan Slamet Gundono, memang tidak bisa dipisahkan dengan dunia seni. Ayahnya adalah seorang dalang klasik di daerah Tegal. “Saya dididik dari keluarga dalang. Jadi Otomatis, artinya ya kalau bangun tidur itu pun dengan sulukan”, terang bapak berputera satu itu. Akan tetapi Gundono kecil selalu menolak untuk belajar ndalang. Menurutnya kehidupan seorang seniman dalang itu bisa ia lihat dari sosok ayahnya dan apa yang dirasakannya sebagai seorang anak seorang dalang. Gundono kecil malah bercita-cita untuk menjadi seorang kyai. Hingga kemudian selama sekitar emat tahun lamanya Gundono nyantri di Pondok Pesantren Babakan, Tegal.

Kehidupan di dunia pesantren yang penuh dengan kegiatan religius itu membawa kerinduan lain pada diri Gundono akan seni. Pesantren yang melarang para santri untuk keluar malam di atas jam sebelas, namun Gundono tetap nekat. Meski harus bersusah payah untuk bisa melihat pertunjukan wayang kulit misalnya. Bahkan kerap ia menerima hukuman tatkala ketahuan oleh sang kyai dengan disuruh menimba air sampai 200 timba dan membersihkan wc. Gundono tidak peduli akan hal itu. Baginya hal itu menjadi sesuatu yang lucu saja. “Jadi waktu di keluarga dalang saya tidak ingin mendalang, di pesantren saya malah pengen jadi dalang. Itu jadi lucu”, kenangnya.

Pertunjukan Slamet Gundono Dipadati Rakyat Kecil (Courtesy SelebTempo)

Selepas dari pesantren, keinginannya belajar seni akhirnya diwujudkannya dengan memilih belajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan mengambil jurusan teater. Hal ini didasari oleh sosok yang menjadi idolanya dalam dunia pedalangan, yaitu dalang Ki Narto Sabdo. Gaya bicara Ki Narto sabdo sangat luar biasa dengan kesan teater yang kuat. Hal itulah yang menjadikan Gundono tertarik untuk belajar seni teater.

Masa belajar teater di IKJ itu tidak berlangsung lama, hanya sekitar dua tahun. Di IKJ justru Gundono membuat kegiatan yang cenderung kepada kerohanian, yaitu dengan membentuk kelompok pengajian. Menurut Gundono hal ini memang sangat kontras, bahkan dirinya sempat menjadi ejekan teman-temannya di teater. Gundono pun tak tahan hingga kemudian akhirnya pindah ke Solo untuk belajar pedalangan. Latar belakang pencarian berkesenian beragam inilah yang mengilhami karya-karya Gundono.

Setiap mendalang, ia tak hanya membawa wayang-wayangnya yang terbuat dari suket, tetap menyelipkan musik, teater bahkan tari-tarian dalam setiap pementasannya. Gundono selalu ingin melihat seni tidak hanya perlu dipahami para seniman, tetapi juga khalayak awam yang tak mengerti seni sekalipun. Kesenian, ujarnya, tak bisa berdiri sendiri.

“Tidak ada di dunia yang berdiri sendiri. Agama juga harus begitu. Tidak ada di dunia yang berdiri sendiri. Tahu ayat ini bagus, orang harus tahu kehidupan yang sesungguhnya. Mengetahui yang melatarbelakangi,” tandasnya. (eddy j soetopo)

Previous Miley Cyrus Pemuja Hipies, Pembela LGBT
Next Synesthesia, Bukan Kenthir

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *