Melacak Jejak kejayaan Wayang Orang Sriwedari


Walikota dan Wakil Walikota Solo yang peduli terhadap cagar budaya

Perjalanan seni di suatu kota budaya tak bakal langgeng keberadaannya dalam kasanah bangsa bila pemerintahan tidak hirau terhadap sejarah masa lalu. Bila hal itu terus menerus dibiarkan bisa jadi eksistensi kebudayaan masa lalu tinggal kenangan terlindas kemajuan jaman. Pemerintah Kota (Pemkot) Solo tampaknya serius memandang budaya sebagai warisan cagar budaya harus tetap terjaga dan dirawat. Pemkot beranggapan nguri-uri warisan budaya yang menjadi icon kota menjadi kewajiban pemerintah dan seluruh warga kota.

Pemerintah menyadari dan sangat paham budaya adiluhung peninggalan lebih dari satu abad itu, tak akan mungkin sirna begitu saja. Lantaran seluruh warga kota ikut menjaga dan melestarikan seni pertunjukan seperti wayang orang, keroncong dan seni tari, sejak puluhan tahun lalu. Sejak era pemerintahan pasangan walikota dan wakil walikota, Jokowidodo dan FX Hadi Rudyatmo, memimpin kota Bengawan, rencana membangun gedung pertunjukan wayang orang di dalam Taman Sriwedari lama direncanakan.

Dalam berbagai kesempatan, mantan Walikota Solo Joko Widodo acap turun memeriahkan pagelaran meski di atas panggung jalan raya kota Solo (Caption Jes)

Pemerintah menyadari betul konsekwensi bila warga masyarakat tidak memahami pentingnya budaya peninggalan masa lalu, seperti wayang orang, kemungkinan besar budaya adiluhung itu pun akan sirna tertelan masa tanpa warga masyarakatnya ikut mencegahnya. Apalagi di era digitalisasi semua peristiwa, termasuk di dalamnya pertunjukan seni, terpapar serba cepat seketika dan lenyap tak begitu lama tanpa meninggalkan jejak masalalunya. Sungguh sangat ironis bila hal itu terjadi. Padahal bila kita tengok ke belakang, di jaman sebelum kejayaan era digital, ketika pagelaran seni pertunjukan seperti wayang orang, ketoprak, wayang kulit, tari, maupun musik keroncong dipadati warga masyarakat melihat dan mengapresiasi pertunjukan budaya penyandang icon sebagai kota budaya.

Namun sejak peradaban teknologi informasi digital menguasai kehidupan warga masyarakat kota pertunjukan seni budaya di kota Solo pun tak luput terlindas kemajuan zaman. Pertunjukan wayang orang alias wayang wong Sriwedari terjengkang kandas ke belakang. Tak ingin warga kota Bengawan melupakan jejak sejarah masalalu saat para bintang panggung memainkan berbagai lakon di atas pentas wayang wong Sriwedari.

Solo Menari merupakan salah satu agenda budaya terselenggara setiap tahun (courtesy zainathul/jez)

Bukan hanya para bintang panggung, acap disebut sebagai roll, pemain seperti Darsi (Srikandi), Rusman (Gatotkoco), Surono (Petruk) maupun Mrajak (Bagong) tertancap dalam ingatan warga kota sepuh, tetapi juga dikenal hingga ke istana negara.  Bahkan Bung Karno pun sangat kagum dengan para pemain wayang wong Sriwedari kala itu.

Setiap kali istana negara dikunjungi presiden dari negara lain ke Jakarta, dapat dipastikan, Bung Karno mengundang bintang wayang wong Sriwedari memainkan sendratari Gatotkoco Gandrung. Entah mengapa presiden Soekarno minta pasangan wayang wong Solo bermain di Lodji Gandrung atau di Istana negara Jakarta petilan lakon sendratari Gatotkoco Gandrung, tidak banyak sejarawan yang mengetahui pasti.

“Dugaan sementara, ujar sejarawan lawas almarhum beberapa tahun lalu, biar presiden lain maupun perdana menteri negara sahabat kepincut –gandrung– dengan seni budaya Jawa di kota Solo,” ujar Suprapto Suryodarmo.

Pentas pertama kali pemain wayang orang di taman Sriwedari pada tahun 1890 menjadi salah satu cikal-bakal sejarah masalalu kota Solo

Bukan hanya sekali bung Karno mengundang bintang wayang wong Sriwedari berpentas ke Jakarta atau bermain di Lodji Gandrung, ketika kedatangan tamu dari negara lain.  Bahkan pernah suatu ketika presiden mengajak pasangan penari wayang orang dari Solo berpentas di Moscow, Rusia. Pengalaman itulah yang paling membanggakan para pemain wayang wong Sriwedari ketika itu.

Bukan hanya Bung Karno yang menyayangi pagelaran wayang orang di Lodji Gandrung pada tahun enam puluhan, mantan presiden Soeharto, Megawati dan Gus Dur acap mengundang para seniman bermain di Istana Merdeka.  Menurut budayawan sepuh sekaligus pelaku seni tari seperti Suprapto Suryodarmo, menengarai tengelamnya jagad pewayangan di kota Solo lantaran ditinggalkan para pelanggan seni adiluhung kota budaya ini.

Kepedulian Bung Karno terhadap seni budaya di negeri ini tak mungkin diingkari (Ins ilustrasi courtesy harian Surya-photo Jez)

“Terus terang kami sangat menyayangkan pentas sendra tari wayang orang lantas mati dengan sendirinya tidak ada regenerasi pemain berkelanjutan. Kalau pun ada hanyalah sekedar tambal-sulam seadanya. Jadi tidak ada penjiwaan sama sekali,” ujar dia beberapa waktu lalu

Padahal bila mau menghidupkan seni pewayangan, terutama wayang orang, mestinya pemerintah dalam hal ini dinas kebudayaan wajib gencar melakukan promosi. Tetapi pada kenyataannya tidak ada gerakan yang mewajibkan mengemban misi budaya wayang di kota Solo. Sampai walikota ‘macak’ memakai kostum pewayangan sekalipun, mereka tidak mau hirau menghadirkan kembali warisan budaya.

Pengamat seni budaya masalalu, sekaligus anggota Komisi IV DPRD Kota Solo, Putut Gunawan, meragukan keinginan pejabat di Dinas Kebudayaan untuk menghidupkan kembali wayang orang Sriwedari yang lama ditinggalkan penontonnya. Jangankan peduli, melirik ke panggung yang telah puluhan tahun berdiri pun jarang dilakukan, apalagi nonton pentas. Melihat perubahan bentuk bangunan gedung, dan prasarana panggung, luput dari perhatian secara seksama. Padahal bangunan panggung wayang orang Sriwedari, termasuk dalam daftar warisan benda cagar budaya, pantas untuk dilindungi.

Prasasti pemugaran gedung wayang orang Sriwedari pernah dilakukan pada tahun 1994

“Panggung wayang orang di Sriwedari itu’kan termasuk salah satu benda cagar budaya yang pantas dilindungi dan dilestarikan. Harapannya dari dinas kebudayaanlah mestinya kreasi menjaring peminat wayang orang terus menerus digalakkan. Berulangkali kami ingatkan agar dinas kebudayaan melakukan terobosan agar pentas wayang orang tetap terus bisa berjalan dan membanggakan pemain maupun warga kota. Kenyataannya para pejabat di dinas kebudayaan melirik pun tidak pernah, apalagi mencoba menghidupkan. Buat apa diguyur anggaran bila tidak consernt terhadap kegiatan kebudayaan di Solo ,” katanya.

Perhatian Pemerintah Kota (Pemkot) Solo maupun pemerintah Jakarta terhadap eksistensi pagelaran wayang orang Sriwedari, tak ada habis-habisnya pernah dilakukan. Pada waktu walikota Solo dijabat Hartomo, pemerintah Jepang pernah membantu pemugaran gedung wayang orang Sriwedari, pada Desember 1994. 

Pemerintah Kota Solo memberi apresiasi pada para pemain wayang orang yang mendedikasikan sebagai seniman dan mengakat sebagai pegawai negeri sipil

Gedung yang dulunya tidak kedap suara, lantaran di sisi kiri-kanan bangunan terbuka dan hanya dibatasi ram kawat, direnovasi diganti dengan tembok seluruhnya. Tidak hanya pembatas gedung ditembok, tata panggung dan sound system juga diganti seluruhnya. Peresmian pemugaran bangunan wayang orang dilakukan duta besar Jepang untuk Indonesia, Taizo Watanabe didampingi walikota Hartomo. Dalam waktu dekat, pemerintah kota Solo akan membangun gedung pertunjukan wayang orang di dalam Taman Sriwedari. “Nanti setelah pembangunan masjid selesai, ganti bangun gedung wayang wong,” kata walikota Rudyatmo di DPRDP Solo.

Bukan hanya pemugaran fisik gedung wayang orang Sriwedari yang pernah dilakukan pemerintah, namun juga penghargaan pada para seniman pemain wayang orang diberi apresiasi menjadi pegawai negeri di lingkungan pemerintahan kota Solo. (tim indepth report/eddy je soe)

Previous Alicia Vikander Meskipun Tomboy Peraih Piala Oscar
Next Ayo Nyeruput Tengkleng Kegemaran Presiden

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *