Maestro Pengrajin Topeng Klasik Asal Ndeso


Topeng Karya Narimo
Topeng Karya Narimo (dok. irawan timlonet)

Narimo, satu kata yang memiliki arti filosofis menerima apa adanya. Si pemilik nama Narimo, bukanlah seorang selebrity atau pun seniman kondang, tetapi ‘hanyalah’ pengrajin topeng klasik. Tapi jangan kaget bila Anda bepergian ke negara-negara Asean atau ke Korea, Singapura dan Belanda maupun di Ingris, karya pengrajin handycraff topeng ukir kayu banyak dipajang.

Tidak hanya itu, karya-karya fenomenal juga terpajang di hampir sudut kota Solo. Lihat saja di halaman pintu masuk Stadion Manahan, dan di jalan Slamet Riyadi, karya Narimo tertancap dalam ukuran besar.

Bahkan, karya lain garapan Narimo juga dikoleksi para seniman besar seperti Didi Nini Thowok, seniman karawitan Rahayu Supanggah, Padepokan Bagong Kusudiarjo dan Ki Manteb Sudarsono. Di beberapa institute seni di Eropa, Jepang dan Malaysia, karya

Narimo acap dijadikan contoh sebagai pemrakarsa karya handmade alias gawean tangan yang sering dijadikan pelestari budaya topeng lawasan. Lihat saja hampir seluruh karya Narimo merupakan kreasi topeng karya cerita-cerita klasik dalam babad Panji Kelono, seperti Dewi Sekartaji, Panji Asmoro Bangun dan pasangan topeng kocak Penthul-Tembem.

“Saya sering terinspirasi cerita-cerita rakyat dalam babad Panji. Makanya saya tuangkan dalam bentuk topeng. Selain kehalusan wajah yang eksotik, juga detail guratan halus dan menyenangkan. Enggak tahu, kenapa sebabnya saya seneng bikin topeng cerita-cerita Panji,” tutur dia dalam beberapa kesempatan di padepokan ukir Jatisobo, Polokarto, Kabupaten Sukoharjo.

Meski dilahirkan dalam tlatah pedesaan dan dibesarkan dari keluarga petani, toh Narimo tidak pernah bercita-cita meneruskan tradisi bertani seperti bapaknya. Sejak kecil, ia tertarik nonton wayang kulit dan ingin menjadi dalang, bukan sebagai pengembala wedhus atau sapi di sawah seperti kebiasaan teman sebayanya.

Narimo
Narimo Pembuat Topeng (dok. ddyjsoe)

“Kalau diminta mengembalakan wedhus, saya justru lari nonton tetangga menatah wayang. Minta diajari menyungging -memberi kelir dan natah (Red) – kulit beneran. Takut keliru kalau pakai kulit sapi beneran, saya coba buat sendiri dari kardus, sesampai di rumah,” tutur pria, 48 tahun ini.

Pernah suatu ketika, ujar Narimo, ayahnya mengetahui kalau ia sedang belajar menatah wayang dan membuat warna belajar di tetangga desanya. Sesampai di rumah, Narimo bukannya dialem – dipuji-puji (Red) – hasil karyanya, tetapi malah digebuki dan wayangnya tidak dirobek-robek.

“Un cuma wayang dari kertas karton. Coba kalau kulit beneran,” ujar dia mengenang, “kamu mau makan apa ingin jadi seniman.”

Meski dilahirkan dalam tlatah pedesaan dan dibesarkan dari keluarga petani, toh Narimo tidak pernah bercita-cita meneruskan tradisi bertani seperti bapaknya. Sejak kecil, ia tertarik nonton wayang kulit dan ingin menjadi dalang, bukan sebagai pengembala wedhus atau sapi di sawah seperti kebiasaan teman sebayanya.

“Kalau diminta mengembalakan wedhus, saya justru lari nonton tetangga menatah wayang. Minta diajari menyungging -memberi kelir dan natah (Red) – kulit beneran. Takut keliru kalau pakai kulit sapi beneran, saya coba buat sendiri dari kardus, sesampai di rumah,” tutur pria, 48 tahun ini.

Pernah suatu ketika, ujar Narimo, ayahnya mengetahui kalau ia sedang belajar menatah wayang dan membuat warna belajar di tetangga desanya. Sesampai di rumah, Narimo bukannya dialem – dipuji-puji (Red) – hasil karyanya, tetapi malah digebuki untungnya wayangnya tidak dirobek-robek.

“Un cuma wayang dari kertas karton. Coba kalau kulit beneran,” ujar dia mengenang, “kamu mau makan apa ingin jadi seniman.”

Lantaran kecintaan pada dunia seni, setamat SMP narimo justru minggat ke Jogya dan memutuskan berhenti seko¬lah hanya ingin meneruskan belajar menyungging wayang kulit beneran. “Kalau dipikir memang gila waktu itu. Tapi harus seperti itu jalannya, ujar dia.”

la pun berguru pada ahli tatah wayang kulit dan menyungging warna dengan serius, la ingin membuktikan menjadi seniman juga dapat hidup seadanya dengan baik. Lebih dari empat tahun, Narimo berguru menatah dan menyungging wayang dari bahan kulit asli, ia justru tetarik menekuni dunia lain. Membuat topeng klasik.

Topeng Karya Narimo
Topeng Karya Narimo (dok. irawan timlonet)

“Kalau dibandingkan menatah dan menyungging warna wayang kulit, buat topeng lebih simpel dan sederhana. Kalau tekstur wayang kan serba njelimet dan rumit,” ujarnya beralasan.

Pilihannya berubah profesi sebagai pemahat dan penatah wayang kulit menjadi pemahat topeng kayu, membuat dia goyah saat berbenturan dengan modal. Apalagi saat itu, dia belum diangkat menjadi pegawai negeri di TBS. Modal pun ia tidak memiliki uang jutaan rupiah. Setelah diangkat menjadi PNS, ia nekat ‘menyekolahkan’ -istilah menggadaikan- SK pengangkatannya di sebuah bank.

“Biar dapat pinjaman buat modal awal. Padahal waktu itu ndak tahu apa laku atau tidak topeng buatan tangan saya,” ujarnya sembari cengegesan. “Pokmen nekat aja. Meski pun membuat topeng bukan kebutuhan pokok membeli”

Lantaran kecintaan pada dunia seni, setamat SMP narimo justru minggat ke Jogya dan memutuskan berhenti seko­lah hanya ingin meneruskan belajar me­nyungging wayang kulit beneran. “Kalau dipikir memang gila waktu itu. Tapi harus seperti itu jalannya, ujar dia.”

la pun berguru pada ahli tatah way­ang kulit dan menyungging warna den­gan serius, la ingin membuktikan men­jadi seniman juga dapat hidup seadanya dengan baik. Lebih dari empat tahun, Narimo berguru menatah dan menyung­ging wayang dari bahan kulit asli, ia jus­tru tetarik menekuni dunia lain. Membuat topeng klasik.

“Kalau dibandingkan menatah dan menyungging warna wayang kulit, buat topeng lebih simpel dan sederhana. Ka­lau tekstur wayang kan serba njelimet dan rumit,” ujarnya beralasan.

Pilihannya berubah profesi sebagai pemahat dan penatah wayang kulit men­jadi pemahat topeng kayu, membuat dia goyah saat berbenturan dengan modal. Apalagi saat itu, dia belum diangkat menjadi pegawai negeri di TBS. Modal pun ia tidak memiliki uang jutaan rupiah. Setelah diangkat menjadi PNS, ia nekat ‘menyekolahkan’ -istilah menggadai­kan- SK pengangkatannya di sebuah bank.

“Biar dapat pinjaman buat modal awal. Padahal waktu itu ndak tahu apa laku atau tidak topeng buatan tangan saya,” ujarnya sembari cengegesan, “Pokmen nekat aja. Meski pun membuat topeng bukan kebutuhan pokok.”

Benar saja, setelah pekerjaannya ia tinggalkan dari instansi yang mapan, toh Narimo nekat menekuni dunianya sebagai pengrajin topeng. Apa boleh buat, ujar dia menambahkan, kalau ingin sesuatu dan diyakininya dapat berkembang dengan baik di kemudian hari harus dijalani.

“Makanya saya nekat. Daripada nglangut ndak bertindak. Akhirnya lumayan juga penghasilan tambahan. Sedikit-sedikit bisa bisa buat nambal butuh,” ujar dia. (eddy je soe)

Previous Sang Penjagal Vespa
Next Plesir Nyelam Motrex Ikan Paus Purba

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *