Berjibaku Menantang Angin Menghidupi Keluarga di Musim Pandemi Covid-19


Sang penantang angin demi menghidupi keluarga di musim pandemi covid-19

Helm yang dikenakannya tak lagi kinclong warnanya. Namun pelindung kepala yang satu itu telah malang-melintang menyertainya menerobos guyuran hujan, teriknya matahari dan gelapnya jalan di tengah hutan. Bekas goretan di kaca pelindung mata sering membuat pemakainya nyaris celaka. Tapi apa daya, ia hanya seorang pengemudi truk tanpa pelindung. Wahlan nama sopir truk yang tidak lazim sebagaimana mestinya sebagai pengemudi truk, bergegas meninggalkan tempatnya mangkal melakoni hidup sebagai pengemudi yang dilakoninya sejak usai gegeran tahun 1998 lalu.

Tak ada pilihan lain kecuali menerima tawaran mengemudi kendaraan tanpa pelindung dirinya, kecuali menerimanya. Wajahnya tak menyiratkan usia sebenarnya, lebih tua. Meskipun umur bapak 3 anak, dua diantaranya masih duduk di SD dan satu orang siswa SMP, ini masih terbilang muda, 42, toh raut wajahnya tampak lebih tua dari umur sebenarnya. Guratan di kening dan keriput di kelopak matanya menyiratkan ia acap didera kebutuhan rumah tangganya. ”Apa boleh buat, semua pekerjaan yang saya anggap halal, akan saya kerjakan. Sebab beban tanggungan hidup untuk menyekolahkan ketiga anak saya,” ujarnya ketika ditemui di sebuah rumah kontrakan di gang sempit bilangan Cijantung, Jakarta Timur

Melakoni pekerjaan sebagai pengemudi truk ‘bondhol’ tanpa jera

Andai saja krisis moneter tidak menghantam perekonomian Indonesia pada tahun 1998 lalu, barangkali nasib Wahlan tak bakalan mempertaruhkan nyawa mengejar target mengantar truk bak terbuka Jakarta-Surabaya hampir setiap minggu ulang-alik. Laki-laki asal Sumedang, Jawa Barat itu sebelumnya pernah bekerja sebagai kurir di sebuah bank swasta dengan gaji lumyan besar. ”Kalau dibandingkan dengan sekarang, mungkin tiga kali lipat saya dapat membawa pulang uang buat menghidupi keluarga,” katanya.

Tapi apa mau dikata, bank swasta tempat Wahlan dulunya bekerja dilikuidasi pemerintah. Setelah tidak bekerja sebagai kurir. Masih beruntung ia memperoleh tawaran bekerja paruh waktu sebagai sopir pribadi direktur sebuah perusahaan es krim di daerah Pulau Gadung, Jakarta. Niatnya untuk berpindah profesi untuk menekuni sebagai kurir pengantar barang tampaknya belum terbuka lebar baginya. Meski demikian ia toh tetap terus berusaha. Pada sekitar 1999, papar Wahlan, seorang teman sekerjanya menawari pekerjaan baru. ”Tanpa pikir panjang, saya lepas profesi sopir direktur, karena tertarik tawaran teman,” ujarnya.

Sebelum memutuskan menerima tawaran bekerja temannya ditempat baru, Wahlan berharap dapat melanjutkan cita-citanya menjadi pengantar barang di seputar Jakarta. Menurutnya, tidak ada salahnya bila dirinya mencoba menjadi kurir di tempat yang baru. Siapa tahu di tempat kerja yang baru, ujar Wahlan bercerita, memperoleh kembali dunianya sebagai pengantar barang dan surat-surat berharga. ”Ech enggak tahunya justru yang harus diantar mobil mbrondol,” katanya sembari tertawa. ”Benar sih jadi pengantar barang, tapi tanggungjawabnya terlalu besar dan beresiko tinggi.”

Apa boleh buat, profesi sebagai kurir spesial itu diterimanya. Sebab, menurutnya, kalau pekerjaan sebagai pengantar mobil baru mbrondol atau disebut profit engine tidak diterimanya ia tidak mungkin dapat menghidupi keluarganya. Bagi dirinya profesi ini merupakan pilihan hidup yang harus dijalaninya. Selain susah mencari pekerjaan di luar keterampilan menyopir mobil, ia pun menyadari persaingan pencari kerja semakin sengit. ”Kalau dulu mengantar barang kecil, sekarang barang besar. Itu bedanya. Resikonya juga sangat besar,” kata dia.

Kalau terus dikejar virus gak kerja, kami harus bagaimana? Siapa lagi yang akan menolong, pemerintah

Bagi Anda yang pernah berpapasan di jalan raya dengan pengendara kerangka mobil profesi itulah yang kini digeluti Wahlan. Merekalah yang disebut sebagai sopir profit engine. Entah kenapa profesi sopir yang satu itu dinamakan demikian, tak satupun sopir profit engine mengetahuinya. Julukan sopir semacam ini, sepengetahuan Wahlan, barangkali terkait dengan mesin baru. Kata bos yang sering mewanti-wantinya, ”Itu mobil enginenya masih profit. Jadi harus hati-hati menjalankan. Meski tanpa bak dan cabin sopir.”

Jadilah Wahlan sampai saat ini menekuni kurir mobil dengan rute antar-jemput Jakarta-Surabaya bolak-balik. Biasanya perjalanan dari Jakarta ke Surabaya beriring-iringan dengan pengantar mobil-mobil baru yang belum dilengkapi dengan bodi. Mereka sama seprofesi Wahlan, pengantar kerangka mobil baru dari gudang yang akan dipasangi bak bodi oleh pemesannya di bengkel karoseri di Surabaya.

Tidak jarang Wahlan pun berulangkali mengantar profite engine ke luar pulau seperti Bengkulu, Pekan Baru dan Padang. Namun belakangan ia lebih banyak mengantar kerangka mobil di dalam kota sejak tahun 2000-an. Selain ribet harus mempersiapkan diri sebaik mungkin, ia mengaku badannya sudah tidak memungkinkan lagi kebut-kebutan di jalan raya yang memiliki resiko tinggi itu. ”Kalau ke luar kota saya harus menyiapkan tool kit, dongkrak, tambahan jaket dua lapis dan helm. Sebab kalau terjadi sesuatu kita bisa mengatasinya,” katanya.

Selain untuk menjaga sesuatu hal yang tidak diinginkan, papar Wahlan, biasanya dalam perjalanan jauh ke luar kota, ia berangkat secara iring-iringan 25 hingga 30 mobil. Menurutnya ia bisa menyisihkan uang saku yang besarnya Rp.60 ribu sekali jalan di dalam kota hanya Rp.30 ribu saja. Tetapi kalau dapat perintah mengantar ke luar kota, lanjut Wahlan, penghasilannya bersih cukup besar sampai Rp.500 ribu sekali. ”Sebelum krisis memang lumayan besar. Tapi setelah tahun 1998 ke atas, uang saku dan bensin pas-pasan yang bisa dibawa pulang.”

courtesy pic ist name from you tube

Laiknya Penarik Becak

Wahlan tidak menyesal keluar sebagai sopir pribadi direktur tempatnya dulu bekerja. Ia merasa nyaman menjadi sopir profit engine meski hingga kini statusnya tetap tenaga putus-kontrak. Menurutnya, dampak krisis ekonomi tahun 98 lalu sangat memukul kehidupan rumah tangganya. Hingga sekarang dampaknya pun masih dirasakan. ”Belum banyak pesanan kerangka mobil yang harus saya antarkan. Akibatnya penghasilan saya jadi tidak menentu,” katanya.

Dulu sebelum krisis, lanjut Wahlan, pendapatannya lebih dari cukup. Ia pun sering memperoleh tip –pemberian dari pemesan setelah barangnya tiba di tempat yang dituju. ”Lumayan besar. Sekali diberi persenan, bisa sampai Rp.200 ribu,” kata Wahlan. ”Sekarang, boro-boro dapat tip, diberi kesempatan nganter mobil aja alhamdullilah. Hidup para sopir profite engine mirip penarik becak di jalanan. Bedanya kami ngebalap di jalan dengan taruhan nyawa. Itu saja.” Ditekuni aja dech. (tim indepth-eddy je soe)

Previous Benarkah Pintu Lawang Sewu Jumlahnya Persis Seribu
Next Sendok & Garpu dari Biji Alpukat Antipencemar Lingkungan

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *