Batik Parang Ngajak Perang?


Motif batik jenis 'Parang' berkonotasi ajakan berperang melawan penjajahan di jaman kolonial Belanda menduduki Kota Solo

Jangan sesekali mengenakan pakaian kebaya batik bermotif ‘Parang’ kalau ingin terhindar pertikaian dengan pasangan Anda dalam rumah tangga. Entah benar atau keliru, keyakinan para ‘pinisepuh’ jaman lawasan dulu meyakini betul bila kaum hawa mengenakan batik bercorak ‘Parang’ diyakini tidak akan tentram dalam mengarungi biduk rumah tangga.

Pengamat budaya jarik alias kebaya masalalu sekaligus ‘paranormal’, Sontho Lenggono, ditemui beberapa tahun lalu, di Jagalan, Solo, meyakini corak lukisan bila ditorehkan melalui tangan kaum perempuan pemilik rajah, biasanya akan terjadi. Entah benar atau tidak, garis tangan kaum perempuan bila memiliki rajah diyakini kebenarannya. Percaya atau tidak, beberapa jenis corak batik, mempunyai ‘kekuatan’ spiritual tak bisa dipandang sebelah mata.

Motif jenis ‘parang’ mulai dimodifikasi dengan corak bunga untuk menarik pengemar mode batik jenis ini agar tidak menakutkan

Apapun keyakinannya, tentu tak mudah melakukan pelacakan sejarah masalalu cikal-bakal dunia dan tali-temali supranatural dengan soal corak perbatikan di kota Solo. Tentu bagi pengemar batik, akan bertanya siapakah sebenarnya yang pertamakali menggulirkan corat-coret gambar di atas kain putih dengan jenis corak berbeda; tak banyak yang mengetahui.

Konon kabarnya, menurut Sontho Lenggono, 93, ditemui sebelum meninggal, tahun lalu, salah satu abdi dalem keraton Pajang, kerabat dekat panembahan Sutowijoyo, menurutnya Kiageng Henis diakui sebagai pencetus awal-mula batik dikenal di telatah kota Solo. Bisa jadi hal itu benar namun sulit disangkal; lantaran tak banyak penelitian yang menekuni dan menaruh perhatian atas perkembangan sejarah dunia perbatikan hingga kini.

Tidaklah mengherankan bila perajin batik mulai berimprofisasi dengan rancangan motif lain yang trendy (caption pic: eddy je soe)

Konon kabarnya, jenis corak batik parang, menurut folklor dari mulut-ke-mulut, memang diciptakan sebagai kode bagi para pejuang bawah tanah yang tidak senang kehadiran pasukan Mataram di jaman Sutowidjojo berkuasa di Keraton Pajang. Itulah sebabnya, motif batik Parang dianggap corak lawas yang diyakini sebagai pakaian kebesaran keraton Pajang, bahkan hingga kini, kerabat keturunan panembahan Senopati pun masih mempertahankan corak jenis nggegirisi itu.

Bisajadi hal itu benar meski sulit disangkal, lantaran tidak banyak penelitian dan pemerhati batik yang menaruh perhatian terhadap perkembangan kain batik dari masa ke masa. Jangankan sejarah batik, corak dan gagrak penorehan malam di atas kain mori-putih pun tak banyak yang mengetahui awal pengetahuan menggambar dengan malam. Istilah batik, menurut Sontho Lenggono, asal kata merangkai titik-titik sehingga menjadi garis lengkung yang mempunyai makna bunga dan daun.

Bukan hanya pengertian membatik yang luput dari pengamatan para pemerhati batik, tetapi juga tak banyak yang memahami filosofi motif maupun corak berbagai jenis batik. Meski demikian tidak bisa dipungkiri bila kerajinan tangan karya anak negeri, setelah lebih dari satu abad lebih, kini diakui sebagai warisan cagar budaya dunia oleh Unesco pada 2 Oktober 2009 lalu.

Meskipun geliat industri batik mulai menggeliat toh model berbagai corak tak juga mampu menembus rumah mode dunia di mancanegara (caption pic: eddy je soe)

Berbanggalah bila berbagai jenis corak batik mulai dikenal masyarakat hingga ke pelosok ndeso. Setidaknya bagi pengemar kain batik, tentu tidak akan asing dengan istilah –dalam tradisi Jawa– ‘gagrag’ atau jenis-corak tertentu. Setidaknya beberapa jenis yang berhubungan dengan tradisi ‘kejawa-jawaan’ penyuka bunga. Tidaklah mengherankan bila dari sekian jenis motif batik, nama bunga acap dilekatkan sebagai nama batik. Sebut saja batik Sekar Jagad, Sido Luhur, Kawung, Sido Mukti, Parang.

Nah jenis kain batik, gagrag parang, yang dulu disegani kumpeni Belanda, lantaran dinilai sebagai ajakan berperang, telanjur melekat dalam ingatan orang lawasan, sebagai tanda mengajak perang. Itulah sebabnya, keyakinan mengajak berperang tidak banyak disenangi penjajah di negeri ini. “Sampai sekarang motif batik parang sulit terjual lantaran filosofi ngajak berantem alias berperang. Piandel ngajakin berperang itulah yang kini diyakini kebenarannya bila memakai batik jenis parang, bisa jadi kehidupan dalam keluarga tidak normal.

Pemerintah kota, terutama SKPD terkait, Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan mustinya gencar mempromosikan batik sebagai salah satu warisan budaya yang diakui Unesco

Berbeda dengan motif jenis lain, misalnya sido mukti dan gagrak batik keraton yang didominir warna-warna cerah ‘sogan’. Model motif batik gaya keraton, dulunya memang hanya dipakai oleh anggota dinasti keraton baik Jogyakarta maupun Solo. Tetapi ‘larangan’ menggunakan motif batik keraton, menurut Sontho Lengono, akhirnya luntur dan larangan itu pun kemudian dicabut, sehingga boleh digunakan oleh kalangan rakyat biasa.

Nampaknya batik jenis keraton Jogya dan Solo, agak berbeda motifnya meski didominir warna kecoklatan, tetapi terdapat perbedaan mendasar mengenai gagrak jenis tarikan gambarnya. Bila corak batik ngayogiokratan didominir bunga dan daun menjuntai panjang, model surakartan, gelombang air menyatu seolah menggambarkan bengawan.  Bagi kalangan pemerhati dan peneliti corak batik, siapa tahu tertarik mengungkap makna filosofi corak batik keraton dan parang. Siapa tahu anggapan bila memakai batik jenis parang ingin berperang keliru. (budi rahayu/eddy je soe)

Previous Melongok Keindahan Tari Balet
Next Bukan Gigi Sembarang Gigi, Tapi Untu Tajir: Gigi Hadid!

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *