Sekar Trikus: “Penari Milenial Menonjok Jantung Kota Budaya Solo”


Tak hanya menari tradisional yang digelutinya, tapi juga eksperimental dance

Tak disangka usai lulus Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI) 8 Solo, jalur yang ditekuni sejak belia dipilihnya, berada di jalur seni tari. Tak mengherankan bila semenjak lurus di jalur seni tari dirinya ngotot meneruskan pendidikan pasca sarjana di ISI Solo. Jurusan pendidikan yang dipilihnya pun terkait di dunia pertunjukan. Tidaklah mengherankan bila sembari meneruskan kuliah, ia tak segan belajar secara langsung pada para seniman di Sanggar Tari Soerya Soemirat tahun 2010. Sebelumnya, ia ikut dalam Sanggar Seni Wayang Suket Kalanjana yang didirikan Slamet Gundono pada tahun 2008.

Siapakah sebenarnya perempuan belia, lahir tahun 1999, itu ngotot menekuni dunia seni tari sejak awal hingga kini. Bahkan dirinya tak peduli terhadap pandangan tetangga maupun rekan seangkatan, di luar sekolah bidang kesenian di SMKI, dan celotehan, “mau kerja apa setelah lulus kuliah.” Sekar Tri Kusuma, tidak menghiraukan suara miring terhadap jalur pendidikan yang dipilihnya sebagai seniwati yang menekuni dunia tari.

Konsistentensinya di dunia ndaplang menari, jangan ditanya padanya, hidupnya diabadikan buat tari-menari

Tidaklah mengherankan bila Sekar ‘berburu’ ngilmu dan ilmu dunia tarimenari pada para pakar seperti, Matheus Wasi Bantolo, Melati Suryodarmo, Astri Kusuma Wardani, R. Danang Cahyo, Wirastuti Susilaningtyas, dan Eko Supriyantomo. Tujuannya tentu untuk mengasah kepedulian gerak-tubuh dalam proses penciptaan nirkasatmata. Bukan suatu hal mudah mendaratkan imajinasi nirkasatmata ke dalam relung-relung terlihat indah dilihat penikmat tari. “Sungguh menguras imajiasi nirinderawi, saat saya harus belajar menari tapi gerakannya, anggap saja seperti trance saat berada di panggung dan dilihat penonton hingga mampu dinikmati,” ujarnya

Perjalanan menekuni karir agar dirinya kelak tak lagi berada dipanggung menggerakkan tubuhnya, Sekar Tri Kusuma merasa perlu menimba ilmu di jenjang lebih tinggi. Meski, entah nantinya, apakah dirinya akan menjadi dosen atau justru mengembangkan bakat seninya ke arah menjadi pebinisnis seni pertunjukan. “Entahlah.” Itulah sebabnya, salah satu idamannya menekuni tatacara dan mengelola managemen seni pertunjukan. Hanya saja pengembangan managerial dalam seni pertunjukan, harus tetap berpegang pada kesetiaan terhadap kejujuran melayani khalayak agar mereka melihat seni dengan penghargaan dari nuraninya berucap: bagus sekali!

Menjerumuskan diri kedalam jagat tari acapkali menemukan dirinya saat berada di atas panggung seolah trance membawakan lakon imajiner

Tidak mengherankan bila kesibukan setiap harinya, selain berlatih tari dan wira-wiri ke kampus Sekar melaju ke suatu tempat, Candi Sukuh. Menajamkan intuisi meraih ‘roch’ relief-relief candi agar menyatu ke dalam dirinya ketika membawakan tari awal kehidupan. Menurutnya, banyak hal menarik yang tergambar dalam Sukuh. Proses penciptaan yang tergambar itulah yang berusaha diraih ke gerak tari seutuhnya, tanpa berusaha memanipulasi gerak imajinatif proses penciptaan.

“Kepolosan dan sexualitas terkait keberadaan seseorang menjadi hal penting ditarikan. Entah inpersonal atau bahkan dalam bentuk imajinatif, tradisional bahkan eksperimental tidak menjadi masalah dilakukan, saat membawakan tari,” ujarnya, “dengan demikian, akan terasa tubuh digerakkan oleh kekuatan dariluar nirkasatmata.”

Setiap kali dirinya melaju ke Sukuh, angan menggerakkan tubuh dalam genre tari tradisi, ujarnya bercerita, tubuhnya seakan melayang menari kesegala arah. Apakah hal itu satu pertanda, dirinya trance saat ndaplang ketika menari, papar Sekar Tri Kusuma saat berbincang ngladrah di suatu tempat, dia tidak mengerti samasekali. Di tempat itu, entah di atap candi Sukuh dan pelataran selasar depan candi, dirinya mengakui ada sesuatu magnit penggerak hingga ingin cepat-cepat menari di tempat. “Saya senang berada di tempat itu untuk melihat makna gerak yang ada dalam relief candi. Waktu berada di atap candi, rasanya adem dan menggemaskan tapi serem, entah karena setelah melihat relief candi, atau bukan tidak tahu.”

Meski demikian, kadang menari tak harus mendendangkan peluh lewat tari tradisional, tapi pencilakan breakdance pun tak masalah

Narasi spiritualitas dalam gerak itulah, katanya berfilosofi asal-asalan, bisa jadi mengilhami dayacipta gerak yang akan disuguhkan dipanggung dihadapan penonton. Karya tari yang tercipta tidak hanya satu-dua kali ditunjukkan pada pelihat sewaktu digelar di atas panggung, tetapi lebih dari sepuluh karya. Salah satunya, ‘Splinter Of An Age’ dipertontonkan di Sekolah Seni Tubaba, Bandar Lampung pada 2023. Kegiatan berlatih nari harian dilakukannya di tempat-tempat tertentu bersama teman seprofesi belajar melatih otot-otot tubuh mendendangkan tubuh berkucur keringat. “Kalau dirumah pencilakan, nari breakdance dan tari genre baru Gen Z biar keliatan seperti anak muda. Kalau manggung berlatih tari di dalam keraton, ndak berani. Pokoknya saya ingin jadi penari profesional, sukur-sukur bisa menulis panjang. Biar kalau ada pertunjukan tari atau seni, bisa buat tulisan kritik panggung, boleh’kan. Tapi harus baca-baca juga ndak yach, kalau mau review? Mbuh sekarepmu

Previous Sering Lupa Umur Bisa Jadi Kalian Menderita Penyakit Alzheimer
Next Jangan Bersepeda Di Gunung Makai Parfum, Dikira bau demit

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *