Serombongan wisatawan domistik (wisdom) asal Solo nglencer nekat kepingin nonton keindahan sekaligus kengerian bekas muntahan lahar gunung Merapi. Meski puing luluh-lantak di berbagai tempat tersapu awan panas beberapa tahun lalu, toh tak seorang pun pelancong sepuh itu ngeri dientrok-entrok naek jeep di jalan terjal menuju puncak. Padahal rata-rata usia mereka tak lagi muda alias sampun sepuh. Mereka nekat menuju ke arah puncak merapi.
Kenekatan para pelancong, bekas murid SMA Neg 3 Solo, yang ingin menyaksikan sisa-sisa melodrama peristiwa tragis Merapi njebluk di beberapa tempat, tak ayal membuat mereka mlogo dan ngelus dhodo. Apalagi setelah melihat kerangka binatang yang dipajang di rumah milik Mbah Maridjan, raut muka mereka acap berubah, dibarengi decak suara lirih. “Duh Gusti, bagaimana bisa terjadi. Ampunilah mereka. Astabirullah.”
Menurut salah satu pelancong, dholan melihat keindahan alam membuat takjub atas kuasa Tuhan, tutur Nanik Widyastuti, 58 tahun, tapi juga bisa menyadarkan diri tentang keberadaan kita yang dibatasi oleh kuasa illahi.
“Wisata ke puncak Merapi melihat bekas lava tentu membuat kita sadar keterbatasan sebagai manusia. Keindahan pemandangan dan sekaligus kegerian yang kita lihat, tentu membuat kita sadar keterbatasan kita sebagai manusia,” ujar dokter gigi yang nekat ikut tur ke puncak Merapi meski datang dari Bogor.
Keindahan alam yang membentang sepanjang mata memandang, menurut Nanik, membuatnya takjub dengan alam negeri ini. Lihat saja, birunya langit yang cerah seolah tertusuk ujung puncak gunung Merapi dan hijaunya dedaunan, tentu akan membekas pada orang yang melihat dari dekat keindah ciptaan Tuhan.
“Terus terang saya sangat senang dan bangga bisa menikmati keindahan alam dari dekat negeri ini. Meski harus ditempuh melalui jalan terjal dan berbatu, tidak masalah,” katanya.
Menurut dia perjalanan terjal nan panjang menuju puncak gunung bukan perkara takut ketinggian, tetapi kegerian menyaksikan akibat muntahan lahar menyapu kehidupan penduduk di sekitar Merapi. Lihat saja bekas rumah mbah Maridjan, yang saat ini dijadikan diorama peristiwa letusan Merapi, tutur dia, sungguh sangat mengerikan.
“Kerangka binatang dan porak-poranda peralatan rumah tangga, menjadi peringatan bagi siapapun yang melihat peristiwa letusan merapi,” tutur dia, “sungguh mengenaskan. Ternyata kita tak mempunyai kewenangan apapun tentang kehidupan.”
Apa yang dikatakan Nanik bukan mengada-ada. Lihat saja, isi bunker yang menggambarkan kegerian luar biasa. Bunker yang sedianya dibangun untuk menyelamatkan penduduk desa dari amuk Merapi, justru menjadi liang kubur para relawan terlanda lahar dan awan panas.
“Kalau sudah seperti itu membuat kita nelongso dan menyadarkan pada diri kita tentang kuasa illahi,” ujarnya.
Tidak hanya Nanik yang terperangah melihat dampak erupsi gunung Merapi tahun lalu, salah satu peserta lain, Sri Suharni, mantan pramugari Garuda, juga merasakan hal sama. Padahal, katanya, bila dilihat dari udara saat belum terjadi letusan, dirinya mengaku kagum dengan keindahan gunung
“Kalau dilihat dari udara, sangat jelas keindahan deretan gunung-gunung di Indonesia ini. Tetapi tak disangka, kalau sudah meletus, betapa dahsyatnya dampak mematikan yang ditimbulkannya,” tutur dia, “itulah sebabnya perjalanan menuju puncak, membuat kami semakin mencintai negeri ini.” (eddy j soetopo)
No Comment