Mengintip Pembuat Inthip


Mengintip Inthip ransum hotel pordeo di Nusa Kambangan

Tidaklah berlebih bila banyak orang mengakui wong Solo terlalu kreatif. Tidak hanya batik membatik, tapi berhasil menyulap ransum penghuni Hotel Perdeo alias penjara menjadi inthip menjadi makanan khas dan nglangeni wong sugih di Jakarta. Saat kelepyan (baca: lupa akut) menanak beras ditinggal dhidis, dan nasi telanjur jadi inthip, wong Solo tidak kurang akal. Mereka jual pada sipir penjara. Benar saja sipir penjara ketagihan membeli buat ransum para tahanan. Sekarang, inthip bukan lagi ransum di hotel perdeo. tapi sudah menjadi klangenan wong sugih di Jakarta. Jadilah Inthip made in Solo.

Jangan sekali-kali berani dengan orang tua, kalau tak mau nantinya mati menjadi intipe neroko. Itulah pepatah yang sering dengungkan orang tua sejak berabad-abad. Tentu tidak berlaku kalau orang itu ingin mencicipi jajanan khas Solo, inthip. Enggak ada larangan. “Jangan sesekali makan inthip, nanti masuk neraka. Justru kebalik. Jangan sampai tidak makan inthip, kalau mau tahu rasanya masuk surga,” ujar Nuriman, salah satu pemerhati jajanan Kota Solo.

Dari hotel Pordeo dunia inthip-mengintip dilirik penggemar jajanan khas Solo

Koq bisa? Lha kalau bertahan membuat intip’kan sama aja membuka lapangan kerja buat pengangguran yang tidak tertampung di sektor formal. Itu’kan namanya menolong orang yang tidak memiliki pekerjaan. Dari usaha membuat jajanan intip, menurut Warsini, 62, wirausaha kampung, ternyata membuat bangga keluarganya.

“Itu’kan artine pengkonsumi intip dapat diibaratkan malaekat pembawa rejeki,” ujar Warsini, “lha kan bisa ngasih kerjaan dan nyekolahin anak.” Apalagi sekarang, ujar dia, semakin banyak wisatawan yang dhledar-dleder ke Solo nguber intip goreng.

Pada prinsipnya, apa yang dikatakan Warsini blak-blakan sakjannya ingin mengingatkan pemerintah, ndak becus ngurus penggangguran. Jangankan ngurusin orang yang kagak bisa maem. Apalagi nyariin kerjaan di sektor formal sebenarnya gampang, kalau persyaratan dilonggarin tidak ketat.

“Kalau begitu, buka lapangan kerja di sektor nopormal dong kalau gak bisa nyariin tempat kerja. Jangan dikasih beras gratis buat rakyatnya. Itu ndak mendidik. Lihat pedagang kaki lima diusir, alasannya biar tertib. Kalau tertib dan gak bisa maem, njut piye jhal,” ujar dia.

Sebagai pelaku bisnis – pinjam bahasa wong pinter- kelas pojok pasar, ujar Warsini, tidak mengada-ada. Nyatanya pemerintah pusat atau pemerintah daerah saat ini tak mampu menampung warganya yang nganggur, dan dapat bekerja secara layak.

Sekarang’kan pak wali lagi senang ndledhar-dledher ke Jakarta-Solo, dulu nyalon jadi gubernur DKI dan kelakon. Jadi gak sempet mikirin wong mlarat ndek pinggir kali Bengawan Solo yang keblebek banjir. Dulu’kan, ujar Warsini, janji pak Jokowi mau mengentaskan wong mlarat di Solo.

Apa perlunya mengintip intip sedang tengkurep

“Lha sekarang tentu sudah lali. Apalagi saksekarang sudah jadi kepolo negoro, menjadi presiden. Mudah-mudahan tidak lali sama wong-wong mlarat di Solo dan kota lain,” katanya sembari mesam-mesem.

Mendengar sura nyinyir geguyonan Warsini, pengusaha inthip lawas, Wishowicoro tetangga samping tempat jualan, ikut-ikutan clathu sambil prengas-prenges. “Lha apa Liek Warsini sering njemur jerohan daleman, kuthang blenthang-blenthong, tho kok senengnya nyinyir? Pak wali mau tindak ke Njakarta apa ke Silir meresmikan pasar weshi Nothohardjo, sak kersonya pak wali Jokowi ndong.

Jadi uwong kok seneng crigis. Mending situ njawab wartawati sarklewer.com yang nanya ndrindil, nanti raimu mlebu koran njut dadhi bintang pilm. “Ndak usah didengeri itu memang radi njeglek setunggal ons kok mbak,” ujar Wisowicoro sambil menyilangkan tanda miring di jhidatnya dengan telunjuk jari. Itulah gaya cengegesan khas bakul oproxan jajanan khas Kota Bengawan.

Ajar buat Inthip

Warsini inget betul waktu pertama kali simboknya ngajari buat mthip pada tahun 70-an. Rasanya, ujar dia mengingat-ingat tahun tujuhpuluhan, jaman susah-susahnya Wong Solo. Kehidupan rakyat, seperti beras di intheri tampah. Mbyak-mbyakan ndak karu-karuan. Apalagi saat itu, ujar dia, jaman bubar pathen-pathenan Gestok, si mbok ngajari buat intip.

Bahane dari ketan dicampur beras. Karena kwalinya cuma dua buah, katanya, jadi membuatnya gantian. Sewaktu menjemur, keduakalinya, ujar Warsini, belum sampai beras ditanak dalam kendhil, malah ambrol. “Waktu itu ada tentara ngropyok dari rumah-ke rumah mencari penduduk yang dicap PKI. Sepatu tentara ngajul lawang, sampai jebol dan ngambruki kendil, kabeh pecah,” ujar dia menerawang,” simbok gelonya setengah mati, tapi masih sempat bilang, “Uwis nduk ora usah digelani terus, itu sudah menjadi pepesten dan takdir.”

Biar agak keren nama intip diingrisin jadi Chrunchy (courtesy dinas pariwisata)

Bahasa pepesten dalam tradisi Jawa dapat diartikan sebagai sikap semeleh. Suatu penyikapan yang tidak harus digelani, karena memang sudah menjadi suratan takdir dari sang maha kuasa. Pecahnya kendhil yang digunakan sebagai perangkat sandaran hidup, menurut orang tua Warsini, telah digariskan harus berhenti sementara terlebih dahulu.

Padahal, ujar Warsini, menurut cerita simbok, bapak kandungnya hanyalah petani di lereng gunung Merapi. “Ndak ngerti pok-bengkong politik apalagi partai kuminis,” ujar dia, “itulah sebabnya ketika saya ngelamar ingin jadi pegawai negeri ditolak. Katanya anak PKI (Partai Komunis Indonesia). Lho apa seorang anak harus menanggung tuduhan seperti itu. Apalagi bapak saya bukan anggota,” katanya sewot.

Setiap mau memasuki kantor, sering ditanya Satpam, “Badhe menopo mbak koq mbetho map. Di sini tidak menerima lamaran. Katau mau dilamar nanti saya ke rumah.” Kata-kata seperti itu sering didengarnya ketika Warsini membawa map berisi surat lamaran. Tidak hanya masuk ke kantor swasta, ke kelurahan pun juga ditanya macam-macam seperti itu. “Kan menjengkelkan. Apalagi ada tanda khusus di KTP.”

Saking seringnya Warsini ditolak masuk kantor membawa berkas surat lamaran dalam map, ia nglokro tidak mau lagi nyambangi instansi. Ia memberanikan diri memulai usaha meneruskan kegiatan simboknya yang sudah renta, membuat inthip dan dijual di emper pasar Slompretan (baca: sekarang namanya berubah menjadi pasar Klewer)

Warsini inget betul ketika langanan si mbok ada yang datang dari Jakarta dan ingin memborong inthip. Memang, bukan perkara mudah jualan inthip dalam situasi tak menentu, setelah peristiwa G30S PKI waktu itu. “Dagangan saya berbulan-bulan tidak pernah laku. Tapi saya harus sadar, memang tidak mudah situasinya waktu itu,” ujar dia menitikkan air mata.

Paling banter orang kalau beli untuk bezuk keluarga yang di penjara. Mereka dikirimi inthip, tapi belinya inthip mentah. Mungkin karena dinilai sama-sama keluarga susah, orang tuanya dipenjara di Nusa Kambangan. Banyak orang yang igin membantu menjualkan dagangan inthip. Jualannya mulai merangkak, laku 5 buah inthip goreng.

“Lama kelamaan banyak yang pesen buat ransum keluarga di penjara. Karena dinilai banyak pembeli rasa inthip Warsini nyamleng and kemriuk, ada pula yang memesan dari luar kota. Sekarang malah menjad klangenan wong sugih. Mungkin dulu pernah dipenjara kali yach,” ujar dia cengegesan, “lha wong klangenan oq maem inthip.”

Omzet jualan Ithip Warsini saat ini, ujar dia kemayu, ratusan ribu rupiah sampai sejuta sebulan. Satu inthip kalau dijual ke pedagang, ujar dia, harganya dipatok Rp 17.500. Tapi kalau langsung pembeli dihargai lebih mahal Rp. Rp21.000.

“Hasilnya tiga saya selesai kuliah menjadi sarjana. Tapi sekarang masih jadi pengangguran. Saya larang jadi pegawai negeri. “Soale di KTP saya dulu dicap kimunis. Mending dhodolan dwulang berharga (baca: saham di bursa efek) yang bisa jadi duit sewaktu-waktu kalau ada gegeran lagi.” Weh. Sudah aman mbokliek Warsini, ndak usah takut (budi rahayu/eddy je soe)

Previous Lupus Tidak Menular
Next Gun N 'Roses Music Cadas Bin Urakan

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *