Postur tubuhnya munggil, untuk ukuran perempuan asia. Dengan mata sipit, dan tubuh kurus, ia acap berjalan sendirian menyusuri lorong-lorong Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), di kawasan kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Penampilannya sangat sederhana. Baju putih, yang mulai pudar dan cenderung lusuh, selalu ia kenakan. Tas batik yang diselempangkan di pundaknya, nyaris tak mampu membelah buah dadanya, yang nyaris tak dimilikinya.
Namun dibalik kesederhanaan penampilannya, ia bukanlah perempuan biasa. Sen Hea Ha nama perempuan yang selalu berpenampilan nyentrik itu, memiliki latar sejarah pencarian jati diri melalui tari kontenporer Korea teramat panjang.
Lahir dari keluarga miskin di pinggiran Pusan, Korea Utara, wilayah konflik perang terbuka dua Korea: Utara-Selatan. Ibunya bekerja sebagai buruh pabrik mainan, sedangkan ayahnya hanyalah petani penggarap. ”Keluarga saya miskin. Mereka menyeberang ke wilayah Korea Selatan pada waktu perang Korea berkecamuk. Saya dibesarkan nenek dalam sebuah tradisi penyembahan dunia roh gaib sebagai cenayang —samnishism— yang sarat dengan ritual pemujaan pada arwah nenek moyang. Pada saat umur empat tahun, saya telah diajari menari, penyembahan ruh nenek moyang,” katanya
Keiinginannya yang kuat untuk tetap bertahan hidup meneruskan tradisi nenek-moyangnyalah yang menyebabkan ia bersama keluarganya mampu menyiasati kehidupan serba sulit usai perang Korea. Sen bahkan sempat dititipkan pada neneknya untuk belajar menari tradisional. Hampir dapat dikatakan setiap hari ia dilatih menari tanpa jeda waktu. Bahkan saking ketatnya, ia tak sempat istirahat usai pulang sekolah. Neneknya mengharuskannya ia tetap belajar menari, sebelum matahari tenggelam. Masa remajanya dilalui kegiatan rutin yang membosankan buat ukuran seorang remaja menginjak dewasa yaitu: menari, menari dan menari! ”Dari subuh hingga senja hari saya melakukan kegiatan rutin layaknya di camp pengusian,” ujarnya sembari menerawang.
Sebab, katanya menirukan nasehat neneknya, ruh halus berada di setiap tempat dan harus dihormati melalui tarian persembahan, agar kita tidak dikutuk. Tradisi belajar di sekolah dan menari pun kemudian lekat dalam kehidupan sehari-harinya. Selain sekolah formal, neneknya mengharuskan ia ikut mempelajari tarian balet. ”Masa remaja saya, habis termakan waktu antara tari tradisional dan balet. Apalagi mikirin pacaran,” katanya dengan menggunakan bahasa Indonesia patah-patah.
Seusai sekolah menengah atas, ia pun nekat memutuskan kabur ke Amerika dengan harapan dapat menghilangkan kejenuhan dunia yang digelutinya sejak usia empat tahun itu. Meski tekadnya untuk mengakhiri tradisi menari dalam keluarganya, ia sempat mengondol gelar sarjana Kyungsun Korea University, dan bergabung dalam kelompok tari masyur the Baegimsae Dance Company.
Setelah bulat tekatnya, pada 1993 ia terbang ke Amerika Serikat. Bukannya antropologi yang ditekuninya tapi ia malah beralih menekuni jurusan lain Etnology, khususnya terkait tari tradisional. Gelar master of art (MA) di bidang ethnology tari dari UCLA disabetnya pada tahun 1996 dengan tesis, Korean Shamanism dalam happening art di Los Angeles. Lima tahun kemudian, gelar prestisius MFA in Choreogrphy & Performance at UCLA digondolnya pada 1998 atas rekomendasi Graduate Student in Dance from the Nasional Dance Assosciation.
Berbagai pentas pertunjukan sandiwara dan balet, baik bertaraf nasional maupun internasional, pernah ia lakoni. Kalender festifal tari bergensi di Los Angeles, LA Women Festifal, RENDA Twisted Spring dance Series, maupun di Arizona juga disingahinya. Tidak hanya itu. Ia pun menimba pengetahuan tari kontenporer pada penari masyur Pina Bausch di Jerman dan manggung bersama dengan para penari kenamaan dalam Opera ’Le Grand Macabre’ pada tahun 1994 dan Oedipus Rex dalam Simponi Psalms di pertengahan tahun 1998. ”Saya sangat bangga bisa bergabung bersama para penari kaliber dunia dalam pertunjukkan yang dipadati pengunjung di Berlin,” ujarnya berbinar.
Sejak itu kiprah Sen Hea Ha muncar di jagad tari kontenporer. Ia pun merengkuh beberapa orang pekerja seni lain untuk mengarap musik pengiring setiap pertunjukan yang ia design. Sen Hea Ha juga tak segan mempromosikan tari garapan kreografer muda tari asal Solo. Dalam upaya mempromosikan karya para koreografer muda itu, ia undang Paul Thomson, dedengkot tari LaMaMa Theater dari New York manggung bareng dalam festifal tari internasional di Makasar dan Jawa Tengah pada Juni 1999.
Kegigihan Sen dalam mempromosikan keragaman tari di beberapa daerah Indonesia, membuahkan hasil. Ia bersama grup tari dari Institute Seni Indonesia (STSI) diundang ke Munich, Jerman dalam pagelaran seni tari kontenporer di Hammoniale pada 1999. Ia manggung tidak sendirian di Jerman. Sen Hea Ha mengajak serombongan besar para penari muda berbakat dari sekolah tari di Jawa Tengah.
“Saya sebenarnya kerasan tinggal di Jawa dan mau menari juga ingin menjadi warga negara Indonesia. Tapi harus tinggal dan tinggal di Solo. Mas sudah menikah?” katanya beberapa tahun lalu (eddy j soetopo)
No Comment