Semilir Silir, Biznis Liur Masa Lampau, Terkubur Dalam Angan


Bisnis liur masalalu telah berakhir tinggallah kenangan

Melacak prostitusi pasca Silir digulung pemerintah Kota Solo beberapa tahun silam, meski telah berganti nama, toh nama itu tetap lekat di hati warga masyarakat. Pemerintah kota yang berada dalam kendali pasangan Jokowi-Rudyatmo, beranggapan nama Silir perlu diganti dengan yang lain. Agar lokalisasi esek-esek tertua di Indonesia itu tak lagi mencoreng nama kota Bengawan. Alhasil nama itupun lantas berganti menjadi Notohardjo yang berada di Kelurahan semanggi. Meski dalam peta wilayah sejak pergantian nama, tak pernah tercantum dalam peta wilayah. Sejak eks-karisidenan Surakarta belum semoncer tergantikan menjadi sebutan sebagai kota bengawan Solo. Meski demikian, nama biznis liur itu telanjur jadi ikon tempat prostitusi sejak keraton Surokarto Hadiningrat berpindah dari Kartosuro, nama Silir tetap melekat di hati rakyat.

Bahkan, konon kabarnya, Silir menjadi daya tarik dan tempat jujugan para pangreh projo dari luar keraton yang bertandang sebelum ‘sowan’ ke dalam keraton. “Siapa yang tidak mengenal tempat lokalisasi kala itu,” tutur sejarawan Sudarmono sebelum meninggal tahun lalu. Setiap pendatang yang melancong ke Solo, hal yang terlintas ditanyakan dalam benak mereka yaitu dimana tempat pelampias syahwat Silir berada. Bahkan nama itu tetap lengket dalam ingatan pendatang yang bertandang ke Solo.

Bila di masalalu kaum pwkwerja sex mengandalkan kemurahan hati pengunjung sembari nongkrong memamerkan tubuhnya, saat ini tak terberkas

“Siapa yang tidak ingat nama Silir. Hampir semua orang Solo tahu itu daerah ‘palonten’ di Semanggi. Meski sekarang tempat bordil diubah namanya jadi Notohardjo,” kata Mardjuki, 76 tahun, bekas centeng yang kini jadi juru parkir di pasar Klitikan. Apa yang dikatakan Mardjuki bukan mengada-ada. Meski pun kawasan hitam dulunya pernah menjadi lengenda kota budaya lenyap bak ditelan bumi, toh banyak orang tetap akan mengingat tempat sejarah plesiran esek-esek di pinggir barat aliran bengawan Solo.

“Bisa dikatakan setiap lawang dapat dipastikan dihuni termo dan anak asuhnya. Lumayan juga dapat duit persenan ‘limangrupiah’ nunggu becak,” ujarnya terkekeh, “lumayan ada kalau jumlah 23 lawang, buat makan gronthol.” Menurut Mardjuki, kondisi perekonomian dulu sebelum banjir bandang yang menenggelamkan Solo –note banjir besar di Solo tahun 1966–, dengan jelas lebih baik sekarang. Hampir semua rumah di kawasan Demangan dan Semanggi kesapu banjir.

“Saya inget banyak rumah roboh dan kenthir ke kali. Rumah ambruk semua. Belum banyak tembok. Bambu dan gedhek. Makan saja suah. Bantuan datang makannya sego djagung campur bulgur,” kata dia menerawang, “apa itu jadi penyebab Silir jadi kawasan palonten, ndak tahu juga. Nyatanya saat ini banyak bekas penghuni sudah pada insyaf dan kembali ke jalur lurus. Tanya noh sama mami di dalam pasar besi.”

Ditemui di kawasan pasar Klitikan Notohardjo, salah satu penjual wedangan di dalam kawasan tampak mbesengut saat ditanya masalalunya. Meski ia tak mau menjawab raut mukanya menunjukkan kehidupan getir menjalani kehidupannya mengisyaratkan tak ingin diothak-athik. “Ngopho tho takon ini-itu, wis rampung kabeh persoalan kuwi. Semua sudah selesai. Ganti rugi tempat juga rampung.”

Bukan hanya pamer kemolekan tubuh dan kesintalan tubuh para pesohorpun diduga juga pamer yang lain

Bila ditarik persoalan stigma Silir sebagai kawasan hitam masalalu tampaknya belum lenyap betul. Meski nama kawasan itu kini telah berubah menjadi tempat biznis aneka asesoris speda motor dan pemulihan cat mobil bernama Notohardjo, toh banyak orang tetap menyebut Silir. Menurut Abdullah, mantan anggota Komisi I DPRD Kota Solo, nama Silir telah melekat dalam benak orang sebagai daerah hitam. Padahal pemerintah telah lama menganti sebutan dan Silir telah dibubarkan sejak lama.

“Orang tahunya pasar klitikan Silir. Meski pun pemerintah telah berusaha sekuat tenaga untuk menghapus nama lokalisasi dengan nama baru Notohardjo. Telanjur lengket di kepala banyak orang nama itu telah melegenda sebagai kawasan hitam. Terus piye.”

Selain itu pemerintah kota (Pemkot) Solo juga berjanji akan membangun tanah bersertifikat HP 16 di bekas lokalisasi Silir menjadi rumah deret rakyat tidak diembel-embeli nama Silir. Tapi hingga lima tahun persoalan itu masih belum tuntas. Bahkan Pemkot juga akan mengratiskan warga menempati rumah rakyat di sana nanti.

Lebih dari lima ratus Kepala Keluarga (KK) warga akan dipreoritaskan menempati rumah rakyat yang dibangun Pemkot. Meski memakan waktu lama dalam menyelesaikan udrek-udrekan lahan pemerintah akhirnya akan segera merealisasikan janjinya menggratiskan warga menempati rumah rakyat itu. “Saya tidak bisa membayangkan bila janji pemerintah tidak ditempati. Itu tanah HP 16 di bekas lokalisasi kan dulunya rawan dengan tindak kejahatan, kalau ada apa-apa dengan warga sekitar, piye,” ujar dia (tim leader / eddy je soe)

Tak ada lagi kemewahan sarapan pagi di lokalisasi pinggir pantai yang dulu disambangi kaum pria hidung belang
Previous Trend Rambut Blonde di Negri Katulistiwa Digemari ABG Putri
Next Jangan Biarkan Hatimu Tersakiti Istri atau suami saat Pemilu Nanti

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *