Tradisi Babi Guling Memohon Berkah dan Kedamaian di Desa Tibrah Bali


Tradisi Ngusaba Guling di desa Tribah Bali untuk kesejahteraan dan kedamaian

Bagi kalian yang gemar masakan kuliner babi guling, bila ingin puas tidak bayar alias gratis, datanglah ke Bali. Kalian bisa makan sepuasnya di tempat bahkan boleh di bawa pulang kerumah sekehendak hati. Hanya saja, harus tahu aturan dan tatakrama adat istiadat kapan bakar babi akan dilakukan di Desa Timbrah, Karangasem, Bali. Pesta adat setiap tahun yang dinamai Ngusaba Guling selalu dilakukan dalam tradisi setiap 420 hari pada Sukra Pon Kewelu dalam kalender Hindu Bali.

Tradisi turun temurun sebagai wujud permohonan pada Ida Batari Durga, Dewa Siwa, agar memberi kesejahteraan dan keselamatan kepada Kram Desa Timbrah. Dalam pesta Ngusaha Guling suatu acara persembahan, dari video pendek yang diunggah Instagram indoflashlight, terlihat warga sedang mempersiapkan persembahan tradisi babi guling. Puluhan babi berjajar rapi di sebuah tempat lapang dekat pura, yang akan dimasak dengan cara dipanggang

Para pemuka adat dan sesepuh membacakan doa sebelum persembahan dimulai (credit pic Barer properti)

Warga desa Timbrah tidak hanya mempersembahkan babi yang akan dimasak, tetapi juga pelbagai jenis buah dan sayuran digelar di seputar keranjang tempat binatang itu diletakkan. Banyaknya babi yang akan dipersembahkan, tergantung pada berapa kepala keluarga yang mempersembahkan babi guling, bayuh, dan banten agar tercipta kesejukan dan kedamaian. Pada upacara ngusaba Guling ini juga biasanya keluarga yang akan membayar kaul bisa sekalian menghaturkannya disamping Banten sesajian.

Tercatat di desa adat Timbrah, tahun lalu, sebanyak 850 kepala keluarga mempersembahkan, acara Ngusaba Guling. Meski tidak semua keluarga menyetor seekor babi, tapi bila dihitung dengan patokan satu keluarga mengorbankan beberapa ekor untuk menyantuni keluarga lain yang tidak mampu.

Meski tidak semua warga mempersembahkan babi, bagi yang tidak mampu boleh membawa bebek sebagai persembahan. Bahkan tidak pun tidak masalah. Nama warga yang tidak mampu, seusai perhelatan upacara adat tersebut justru akan dibagi Babi Guling dalam istilah Bali disebut Ngejot. Binatang babi dan persembahan lain diusung ke Pura Dalem Desa Pakraman Timbrah.

Acara doa untuk keselamatan kedamaian warga dan bangsa (credit piccokorda istri agung)

Menurut tetua pemuka agama Hindu Bali wiwitan, yang berkeberatan disebutkan Namanya, saat ini tradisi persembahan Babi Guling hanya ada di Desa Timbrah, Karangasem, tempat lain tidak melakukan persembahan babi guling. Entah lantaran apa, belum diketahui secara seksama penyebabnya di daerah lain kini acara babi guling jarang dilakukan warga masyarakat. “Bisa jadi lantaran persoalan ekonomi dan macam-macam menjadi kendala melakukan pengorbanan Ngusaba Guling tahun ini.

Menurut pemuka adat di Pura Dalem Desa Adat Tibrah, banten beserta bagi guling memang dipersembahkan setiap kepala keluarga sebagai wujud syukur pada Ida Hyang Widi Wasa. Upacara atau Usaba di Pura Dalem Desa Adat Timbrah ini menghaturkan Banten beserta Babi Guling setiap Kepala Keluarga. Upacara ini sebagai perwujudan puji syukur atas panen yang melimpah kepada Ida Hyang Widi Wasa.

Bila dihitung secara statistic, jumlah Kepala Keluarga (KK) yang ada di Desa Adat Timbrah sekitar 878, namun lantaran kterbatanya tempat di Pura Dalem, tidak semua warga datang mengaturkan secara langsung. Sebagian warga ada pula mempersembahkan sesajen lain selain berupa babi guling dari rumah mereka masing-masing. “Istilahnya ngubeng, kalau dalam bahasa khas Bali,” katanya Sekita jam 10 pagi waktu setempat, warga mulai berdatangan kepura dengan membawa keranjang sebagai alas, banten tatakan guling beserta banten pemuja, canang bayuan dan babi guling itu sendiri. Kadangkala ada banten dengan guling bebek jika dalam keluarga tersebut memiliki anak kembar. Biasanya pula, upacara akan berakhir dengan persembahyangan bersama pada sore hari. Dilanjutkan dengan Ngelusur banten bersama boleh dibawa pulang ke rumah masing-masing.

Tradisi Babi guling seperti yang diadakan di Tibrah, menurut wisatawan, sekaligus peneliti IMSS yang menyaksikan melalui video, menyatakan perlu dilestarikan. Terlepas di daerah lain tidak memiliki tradisi babi guling, tidak mengapa. Justru di situlah keunikannya. Mengapa di daerah lain tidak lagi melakukan tradisi bagi guling semacam yang dilakukan di Tibrah, menarik untuk diteliti dengan seksama kaitannya dengan ritual keagamaan dan faktor sosial ekonomi,” kata penelti dari Institute for Media and Social Studies, Eddy Je Soe, ditemui di Solo beberapa waktu lalu. (cokorda agung Bali / eddy jez Solo)

Previous Warnai dan Pelihara Kukumu Biar tidak Cakar-Cakaran
Next Kuliner Solo, Kembang Tahu itu Namanya Tahok, Bukan Ahok

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *