Bangunan utama gedung tua itu masih berdiri kokoh dengan arsitektur yang tak berubah sejak berdiri tahun 1956. Saat menyambangi gedung berarsitektur kolonial itu, tak tampak menunjukkan kalau gedung itu dulunya menjadi cikal bakal rekaman casete dan piringan hitam (PH) yang ngerekam suara biduan ngetop tempo dulu. Sayup suara lagu keroncong Caping Gunung ciptaan Gesang yang dinyanyikan Waldjinah, penyanyi keroncong legendaris Solo.
Lokananta boleh dibilang sebagai perusahaan lebel rekaman tertua di Indonesia, berlokasi di Jl. Achmad Yani 387 Solo. Meski jenengnya makai boso Sansekerta artinya Gamelan di Kahyangan yang bunyi tanpa ditabuh, sayangnya sampai saksekarang tetap kagak terdengar bunyinya. Sama halnya nama perusahaan rekaman itu yang tak terdengar gaungnya lagi. Padahal ndek mbiyen, nama Lokananta moncer ngetop sebagai tempate musikus dan penyanyi yang ingin ngorbit namanya.
Entah apa sebabnya, sampai sekarang Lokananta tak beringsut merebut posisi sebagai perusahaan negara yang bisa memperoleh duit ngerekam musisi. Nama kejayaan Lokananta bisa dikatakan telah lewat seiring meruyaknya perkembangan teknologi audio visual modern. Apalagi pengelola Lokananta tak mampu mengimbangi percepatan nglondornya teknologi rekaman tercanggih yang meringsek dunia rekam-merekam suara.
Menurut Kepala Cabang Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), yang juga mantan Direktur Utama Lokananta, Pendi Heryadi, Lokananta pertama kali beroperasi pada 28 Oktober 1956 dan diresmikan oleh Menteri Olahraga yang kala itu dijabat Sudibyo, guna menopang kinerja Radio Republik Indonesia (RRI). Sakjannya, Lokananta itu merupakan pabrik piringan hitam. Fokus kegiatan utama Lokananta kala itu memproduksi dan menduplikasi piringan hitam dan kemudian menyusul produksi cassette audio.
Masa jaya pernah diraih Lokananta. Sejak didirikan, pada awalnya grafik perkembangan perusahaan tersebut terus menanjak. Hingga pada tahun 1983 status Lokananta beralih menjadi BUMN di lingkungan Departemen Penerangan. Bahkan, pada tahun yang sama Lokananta pernah menjadi pusat penggandaan video kaset format magnetic Betamax dan VHS di Indonesia. “Kondisi perusahaan bisa dikatakan mati suri,” kata Pendi.
Penurunan grafik bisnis Lokananta, lanjut dia, mulai dirasakan gejalanya sejak tahun 1990. Perkembangan teknologi industri rekaman yang melaju begitu pesat tak mampu diimbangi Lokananta. “Penyediaan alat kita tidak mampu mengimbangi perubahan teknologi rekaman,” ujarnya. Alat-alat yang dimiliki Lokananta pun kian tertinggal oleh perkembangan teknologi.
Hingga pada akhirnya, Lokananta berada pada titik terbawahnya pada tahun 2000 saat perusahaan tersebut dinyatakan pailit. Lokananta kemudian dilikuidasi pada tahun 2001. Untuk menyelamatkan aset yang dimilikinya, Lokananta akhirnya bergabung dengan Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) pada tahun 2004.
Secercah harapan bagi kebangkitan Lokananta sempat muncul saat pihak Gagasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengemukakan akan menjadikan Lokananta sebagai museum musik Indonesia sekitar tahun 2012 lalu. Ide ini muncul mengingat banyaknya benda-benda bersejarah yang tersimpan di Lokananta.
Kekayaan Lokananta yang paling penting untuk diselamatkan bagi pendi yakni koleksi piringan hitam dan pita kaset master rekaman artis-artis Lokananta. “Inilah harta karun yang tersimpan di Lokananta,” kata Pendi. Hasil pendataan menyebutkan Lokananta memiliki lebih dari 5 ribu koleksi pita master rekaman. Selain itu Lokananta juga memiliki lebih dari 50 ribu keping piringan hitam.
Pendi menjelaskan, nama seniman tenar tanah air di antaranya, Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan Sam Saimun tercatat pernah berada di bawah naungan label Lokananta. Selain itu, Lokananta juga menyimpan ribuan rekaman lagu daerah Indonesia. “Kita punya rekaman asli lagu Rasasayange yang menyelamatkan lagu itu dari klaim Malaysia,” terangnya. Bahkan, terdapat pula rekaman pidato-pidato kenegaraan dari Presiden Soekarno dan masih tersimpan baik.
Sayangnya, harapan kebangkitan Lokananta kandas, saat usulan dari Kemendikbud tersebut tidak mendapat respon positif dari Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) selaku pengelola Lokananta saat ini. “Sebenarnya komunikasi antara Kemendikbud dengan pengelola Lokananta sudah dimulai sejak tahun lalu. Kami juga sudah minta dibuatkan nota kesepahaman (MoU) agar Lokananta dijadikan museum musik. Sayang, mereka nggak serius menanggapi,” sesal Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Kacung Marijan, saat berkunjung di Kota Solo Selasa (01/04/2014) lalu.
Kacung mengaku heran dan tidak tahu alasan pihak pengelola Lokananta membatalkan rencana pembangunan Museum Musik yang dinilainya bisa menyelamatkan Lokananta dari keterpurukan. “Padahal sebelumnya, salah satu direksi sudah bertemu saya dan bilang ‘oke’. Tapi tiba-tiba nggak ada jluntrungannya. Padahal kami serius dengan rencana itu,” katanya.
Padahal, tahun lalu, pihak Kemendikbut sudah menganggarkan dana pembuatan detail engineering design (DED) museum musik Lokananta. Rencananya, DED mulai dikerjakan tahun ini. “Tapi kalau situasinya begini, kami prioritaskan saja kebutuhan lain,” tambahnya.
Saat dikonfirmasi mengenai batalnya rencana pembangunan Museum Lokananta itu, pihak Direksi Lokananta Solo mengakui memang sempat ada wacana tersebut. “Tapi saat itu belum ada kesepakatan tertulis antara Direksi Lokananta dengan pihak kementerian,” kata Pendi. Rencana pembentukan Museum Musik masih wacana dan pembicaraan secara lisan saja.
Pendi juga mengaku tidak tahu alasan batalnya rencana Museum Musik Lokananta itu. Ia berkilah, keputusan tersebut merupakan keputusan dari direksi PNRI pusat dan ia yang bertugas di daerah tidak tahu mengenai rencana pengelolaan Lokananta selanjutnya. “Saya tidak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Sebab urusan ini langsung ditangani direksi di kantor pusat,” kilahnya.
Direktur Utama Lokananta, Pendi Heryadi menjelaskan, dari total operasional Lokananta yang dibutuhkan sekitar Rp 37-38 juta tiap bulan, dana yang masuk hanya sekitar Rp 23 juta yang berarti setiap bulan harus nombok Rp 15 juta. “Setiap akhir bulan saya bingung, apakah bisa menggaji karyawan atau tidak,” kata Pendi.
Dari sekitar 20 karyawan yang bekerja di Lokananta, Pendi mengaku bangga dengan dedikasi yang ditunjukkan karyawannya selama ini. Meski minim gaji dan terkadang tertunda pembayarannya, karyawan Lokananta tetap bekerja dengan sepenuh hati. “Apa itu bisa cukup? 23 juta untuk 20 karyawan? coba bayangkan,” keluhnya. (eddy je soetopo/Ade Rizal)
No Comment