Kerak Telor Blasteran Solo-Betawi Berjualan makanan khas Betawi di Kota Solo bukan hal baru dilakukan bapak tiga anak asal Kartopuran. Pada tahun 90-an, Muwardi, 58, asli Solo mengaku setiap kali ada acara di Kota Solo, dulu lebih sering memikul perkakas berisi wajan, angklo dan bahan dagangannya menuju tempat keramaian.
Tetapi setelah usianya di atas angka 60, perkakas tidak lagi dipikulnya, tetapi dibawa kendaraan memakai bronjong. Seperti saat pagelaran Jazz di Puro Mangkunegaran kemarin hari, ujar Muwardi ditemui di both-kemah tempat berjualan yang disewanya patungan dengan penjual kembang gula, kala itu.
Saat ini jelang perayaan Imlex, Muwardi nekat memberanikan diri berjualan Kerak Telor di pinggir depan Hotel Trio. Meski kemarin sempat bersitegang dengan penjaga parkir dan pedagang lain, akhirnya diizinkan berdangang sampai perayaan Imlex rampung. Muwardi mengaku datang ke tempat lokasi jualan pakai montor bebek dengan bronjong. Barang saya masukkan di bronjong. Semakin tua tidak berani mikul dari rumah. “Sewaktu di arena jazz di Mangkunegaran dulu, dia mengaku dipatok Rp.200 ribu per hari, sampai patungan dengan penjual gulali,” katanya
Kalau sekarang ujar dia lebih lanjut, dia tidak dipungut bayaran. Hanya diminta tempat parkir sampai habis pesta Imlex. Hanya saja, ujar dia lebih lanjut, susah bawa bronjong dengan keramaian seperti malam ini. “Sekarang gratis. Kalau pun bayar tidak sebesar waktu di Mangkunegaran ada jazz dulu,” ujar dia, Sabtu (18/1/2020) di samping hotel Trio, “tapi entah nantinya kalau ditarik ongkos.”
Kepiawaiannya membolak-balik adonan beras-ketan, telor dan taburan srundeng, tutur dia, diperolehnya dari istrinya asal Betawi asli. Dulunya, tutur dia, Muwardi pernah dagang martabak telur dan Terang-Bulan, di Sunter Jakarta Utara.
“Ada pelanggan, setiap hari suruhan enkoh-engkoh beli martabak. Kadang martabak-telur, kadang Terang Bulan –martabak manis (red)– katanya enak. Lama-lama malah nyangkut jadi isteri saya. Itu dulu,” ujar dia, “idenya dia yang nyuruh jualan Kerak Telur dan ngajari jualan. Kadang juga jualan martabak.”
Menurutnya, jualan Kerak Telur di Solo memang agak susah kalau tidak ada keramaian besar seperti tontonan musik. Tidak setiap orang Solo menyukai Kerak Telur. Jangankan membeli, ujar dia sembari melayani pembeli asal Jakarta, tahu namanya Kerak Telur saja bingung.
“Banyak yang tidak tahu makanan Kerak Telur. Tahunya martabak bakar. Mana ada martabak dibakar. Aneh oq emang wong Solo itu. Padahal sudah ditulis kerak telur asli Betawi,” katanya.
Tidaklah mudah melakukan ‘penetrasi’ pasar dari daerah asli jajanan di Betawi menuju Solo yang didominir ratusan makanan khas kota bengawan. Demikian pula saat membawa menu jananan Mie Ketoprak ke Jakarta, juga susah menembus pasar.
Bagaimana tidak bikin pusing menyiasati hidup dengan 4 anak, saat berupaya jualan makanan di kota-besar. Kalau di Jakarta tutur dia, yang namanya ‘Bakmi Ketoprak’ itu tidak ada. Di sana adanya makanan ‘Ketoprak’ gaya Betawi dengan ciri khas beda dengan yang dimaksud ‘Mie Toprak’ Solo.
“Padahal sudah berulangkali saya mencoba jualan Mie Toprak, ndak pernah laku di Betawi. Tidak banyak yang tahu, jenis makanan asal Solo ini,” katanya, “sama halnya jualan Kerak Telor asal Jakarta dijual di Solo. Bikin pusing bener. Padahal istrisaya wong Betawi, mosok ditulis Kerak Telor blasteran Solo-Betawi.” (Th Desanto/eddy je soe)
No Comment