Sewaktu kunjungan resmi Duta Besar Afrika Selatan, Noel Noa Lehoko bertandang ke Balaikota, Wakil Walikota Ahmad Purnomo tersipu-sipu malu. Pasalnya, sewaktu Purnomo pamer seragam batik yang dipakai pegawai negeri sipil Pemerintah Kota Solo, Dubes Noa Lehoko malah gantian membanggakan mantan Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela selalu mengenakan batik.
Peristiwa tersebut terjadi saat Lehoko berkunjung ke Balaikota Solo, Rabu, 9 Oktober 2013. Saat itu Purnono berbicara santai dengan tamunya soal batik yang menjadi kain tradisional khas Indonesia. Tapi apa lacur, bukannya bangga, tapi malah kewirangan. Bagaimana tidak, mantan presiden Nelson Mandela almarhum justru telah lebih dahulu mengkampanyekan batik di negerinya. Peluang pasar itu yang belum digarap para pebisnis perancang mode Solo.
Kalau saja para pebisnis dan perancang mode nusantara ini mampu mencukil perhatian pengemar busana negeri ini, padahal ceruk pencinta pasar mode apik terbuka lebar. Apalagi di wilayah Solo Raya menjadi salah satu tempat penghasil textile dunia. Tidak hanya dua pabrik besar memproduksi tekstil yang diperhitungkan negara lain, tetapi kerajinan batik pun mampu menyedot kalangan pencinta mode Jakarta. Hanya saja, belum mendunia. Usaha memproklamirkan produk batik hingga mampu menyedot perhatian para perancang mode mancanegara tak pula ditinggalkan. Agenda peragaan busana yang digelar Pemerintah Kota (Pemkot) Solo, menjadi bukti keseriusan walikota mempromosikan batik sebagai icon tak bisa dianggap enteng.
Hanya saja promosi batik sebagai karya anak-bangsa, tak diikuti daerah lain. Padahal di Sragen, misalnya, mempunyai corak batik berbeda dengan gagrak Surakartan. Tampaknya ketidaksinkronan berpromosi terhadap hasil karya anak negeri inilah, yang musti diikat melalui bentuk kerjasama lintas sektor.
Termasuk mengajak media massa menjembatani pagelaran busana, agar pencinta mode, pemroduksi karya tekstil maupun batik memperoleh tempat dalam pemberitaan. Tak perlu mencontoh media berkiblat ke mode dunia Paris, yang gemar mengulas trend mode mutakir. Tak hanya itu, pewarta lifestyle di Perancis pun tega “menguliti” dalam ulasan nyinyir para penampil di atas catwalk. Pengamat dan penulis lifestyle di Solo cukup menyajikan ulasan berbobot dan berwibawa seperti liputan the New York Time.Com, misalnya.
Trend mode musim panas tahun lalu, misalnya, the NYT menampilkan ulasan mendalam karya Bill Cuningham, sangat menarik. Tidak hanya ulasannya yang pantas disimak para penggemar mode di Amerika, tetapi juga foto-foto yang dipajang sangat atraktif dan terkesan Ler. Itulah dunia mode dalam sorotan media internet yang dapat ditonton miliaran mata penjuru dunia.
Tak hanya the Time yang menyajikan ulasan menarik dengan foto seronok nan glamour. Media raksasa negeri beruang, Russia, tak kalah dengan negara musuh bebuyutannya. RBTH.Com (Russia Beyond the Headlines), mengeber foto eksotis penampilan model klas dunia Moscow disertai ulasan menarik.
Bisa dibayangkan, bila media massa, Solo, sebagai kota budaya memajang karya fotographer dengan mengambil moment peragaan busana terbuka seperti di duna negara tersebut. Selain, tak bakal kesampaian, lantaran tak akan pernah terjadi, juga para perancang dan model pun jarang berpenampilan seronok seperti mereka.
Lebih cocok bila para peraga dan perancang busana Kota Bengawan ini mengkhususkan rancangan tanpa harus terbuka yang menonjolkan lekuk tubuh vulgar bila dipandang mata. Toh karya barometer perancang mode dunia, tak perlu dicontoh dan diikuti. Apalagi motif dan bahan batik terbuka membelah dada.
Meski demikian, tak ada salahnya bila para perancang busana di kota ini lebih giat memamerkan hasil karya cipta dalam pagelaran adi busana di Surakarta. Siapa tahu perhelatan fasion show menampilkan designer muda berbakat asal Kota Bengawan dapat mendongkrak omset penjualan batik kota ini. Kalau hal ini terjadi, siapa tahu hasil kerajinan tangan warga kota mampu bersaing dengan para designer kelas dunia
Meski almarhum Presiden Afrika Selatan dan anti-apartheid, Nelson Mandela, tidak diwanti-wanti perajin dan juragan batik dari Solo, toh ia selalu tampil mengenakan baju motif batik dalam setiap kesempatan kemunculannya di berbagai acara berskala internasional tak harus designernya dari negeri mode luar negeri di luar Afrika.
Menurut Lehoko, bagi Nelson Mandela, batik memang telah lekat di setiap penampilannya. Bahkan karena seringnya Mandela itu mengenakan batik, orang Afrika Selatan sering menyebut baju motif batik sebagai Mandela shirt
“Saya juga mencintai batik. Kami sering mempromosikannya di Afrika Selatan. Saya sering membeli batik untuk souvenir bagi relasi-relasi di Afrika maupun Eropa. Kunjungan ke Solo kali ini juga ingin menjalin kerjasama, khususnya perdagangan batik karena negara kami memang importir batik dari Indonesia,” ujar dia seperti dikutib media massa cetak di Solo. Piye jhal
Persoalan lain yang acap membuat para perajin dan designer batik yakni tak banyak motif batik asli Solo mampu melabrak trend mode dunia. Lihat saja trend fashion sejagad selama beberapa dekade didekte negri ‘pemilik’ gaya hidup dunia Paris, Italia dan Amerika Serikat. Lainnya tak dihitung.
Pengamat batik sekaligus pelestari trend batik lawas tak mau berkomentar banyak perkara yang satu itu. Pasalnya, percuma kalau para pengamat batik bergenre modernitas tetap bersikukuh dengan pola-pola model dan corak lama. “Motif lawas tidak masalah, kalau ngejual dan menjadi trend mode sejagad. Nyatanya juga tidak banyak diminati para designer monconegoro,” ujar dia tetap tak mau disebut namanya, “jangan ditulis nama saya, ntanti ngamuk-ngamuk kalau dibilang motifnya gak laku.”
Hal lain juga pantas di kemukakan yakni, menurut Achyani, Sekretaris Daerah Kota Surakarta, jadikanlah kota Solo sebagai kota kreatif dan mampu menjadi tolok ukur keberhasilan bagi daerah-daerah lain. “Entah itu hasil kerajinan tangan atau cipta hasil kreativitas para designer batik dan menjadi contoh kreatif bangsa lain,” katanya pada penutupan SBF di Balai Kota Solo (budi rahayu/eddy je soe)
No Comment