Mengenggam Film Porno Trend Generasi Milenial


Maraknya gedget dalam gengaman ditengarai sebagai penyebar gambar pornografi (courtesy the Sun)

Siapa bisa menolak tuduhan generasi muda, terutama mahasiswa-siswi, perguruan tinggi tak pernah nonton film porno. Entah mereka anak orang tajir atau generasi milenial hidup keluarganya pas-pasan; atau mereka berbaju ‘brukut’ hanya terlihat matanya, bisa jadi pernah ngintip film esek-esek. Apapun bentuk tontonan film ngesex berbintang satu atau lima sekalipun, jangan harap mata mereka belum pernah ngeliat film esex-esex.

Aktivitas nonton bareng atau sekedar intip-mengintip, film yang ditabukan pemuka agama, bukan barang baru menjadi perbincangan ngehit dalam jagad mediamassa tanpa batas saat ini. Bukan hanya di kota-kota besar yang gandrung mengkoleksi keping cakram film porno, tetapi telah merambah ke kota-kota kecil. Dan cilakanya juga merangsek ke kota yang dicap sebagai kota budaya di Jawa Tengah.

Siapa yang bisa mengawasi penyebaran film porno dalam gagdet yang menjadi penyebab tindakan kekerasan sexual generasi milenial (ins playboy)

Meski peredaran penjualan keping cakram DVD sembunyi-sembunyi toh para ‘pelangan’ setia tetap akan memesan film melalui paket antar-jemput jasa pengantar berbayar. Bila Anda akrab lekuk-liku penggandaan keping DVD hinga terdistribusikan dengan aman di wilayah Glodok dan sekitarnya, pasti akan heran keuntungan para distributor dan penjual lapak per bulannya.

Menurut salah satu pengganda keping DVD, sebut saja Chenglie, misalnya ia mengaku meraup keuntungan lebih dari lima jutaan dalam sebulan menggandakan dan menyebarluaskan gambar cabul. “Sebelum giat-giatnya operasi sapu bersih DVD, sebulan saya bisa dapat 5-7 jutaan. Sekarang paling banter 3 jete,” kata dia bulan lalu di area Petak Sinkian, kawasan Glodok.

Persoalan ngintip-mengintip koleksi abg milenial di kota besar dan kecil sama susahnya bila kita tidak berada dalam jalur liur komunitas mereka. Jangankan ditanya soal distribusi penjualan DVD porno yang mereka geluti, untuk membeli dengan bayaran lebih tinggi dibanding di lapak penjual, jangan harap bisa buka mulut. Paling tidak, agar kecebur dalam bisnis gambar porno dalam piring cakram itu, tutur Chenglie menyarankan, berbaurlah dan tinggal beberapa waktu di seputar kawasan Petak Sinkian, Glodok Jakarta.

“Sebenarnya sih simple saja. Kalau bung punya duit dan mereka yakin bukan aparat keamanan police atau centheng, pasti akan dilayani,” ujar dia ditemui kontributor sarklewer.com di Jakarta, “sebenarnya’kan mereka cuma nanyain identitas situ.”

Awalnya poster dengan gambar photo seronok yang membuat generasi milenial kecanduan

Kalau mau jujur, ujar Chenglie, sebenarnya yang harus dirasia aparat itu penjual juga pengganda gambar ler dada dan selangkangan di hand phone. Nyatanya penyebar gambar susu dan memex tidak ditangkapin police. “Itu’kan namanya tidak adil. Kalau mau dibersihin sekalian. Jangan setengah-setengah melakukannya,” katanya, “sebenarnya apa salahnya mereka menonton film porno. Enggak ada yang salah bukan?”

Gugatan Chenglie, bisa saja ada benarnya. Tidak ada yang melarang tontonan gambar porno entah dalam film atau telah digandakan di keping DVD. Bagaimana police atau pemerintah dapat membendung gempuran film video porno, kalau nyatanya gambar seperti itu disenangi masyarakat yang ingin tahu. Toh mereka menonton sendiri atau bareng teman-temannya. Dengar saja cerita seorang peserta pelatihan jurnalistik di beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta.

“Saya dulu pertama kali nonton film gituan sejak umur 13 tahun. Enggak apa-apa tuh. Tidak ngaruh. Kalau Cuma nonton film Fifty Sade of Gray yang berjilid-jilid itu’mah biasa. Apa yang dimasalahin. Lagian nontonnya juga sama teman, bareng-bareng laki-perempuan. Toh sudah sama-sama dewasa. Terus apa yang dimasalahin?” kata Leizty mahasiswi seni.

Mungkinkah badan sensor film mampu mencegah peredaran pornografi dalam genggaman gadget

Apa yang dikatakan Leizty bukan hanya terjadi di Jakarta, tetapi naga-naganya telah seirama di tempat mojok pergaulan di Solo, Jogya dan Malang. Sebut saja di bilangan kawasan Solo pinggiran barat dan timur di sekitar kampus negeri dan swasta. Bila Anda jeli akan melihat hal-hal aneh biznis tukar-menukar gambar seronok justru berada di dalam ruang-ruang kelas kampus negeri dan swasta.

Bukan hanya di ruang kampus, penyebaran gambar esek-esek juga mewabah hingga merangsek ke kelas sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di sejumlah kota-kota besar. Tidaklah mustahil bila kemudian terjadi tindak pelecehan sexual yang dilakukan siswa lantaran ketagihan nonton gambar cabul dan sulit dikendalikan.

“Kami sering menonton gambar porno di hand phone. Dulu seringnya di tempat persewaan internet, tapi sekarang’kan bisa lewat hand phone,” ujar Freizs nama samaran, 16 tahun, pelajar sekolah menengah dibilangan Kaliurang, Jogyakarta saat ditemui di sebuah caffee.

Siapa yang bisa menghadang film dan poster seronok dalam genggaman di dunia maya (credit pic publict domain)

Tampaknya bukan kecanduan melihat gambar porno esek-esek dalam media gedget bukan hanya merangsek pelajar di Indonesia. Di negara lain pun hal seperti itu menjadi biasa dipertontonkan dan disebarluaskan antarteman. Liputan mendalam yang dilakukan BBC di Ingris misalnya, pada tahun 2016, menyebutkan sekitar 53 persen anak berusia 11 hingga 16 tahun gemar menonton film porno secara terang-terangan di internet.

Menurut penelusuran BBC, tak banyak yang mengetahui tentang bagaimana pornografi bisa mempengaruhi perempuan di London hingga mereka kecanduan. Tidak ada penelitian atau survey ilmiah mengenai hal itu. Menurut pengakuan Neelam, keinginan menonton film pornografi lantaran desakan rasa ingin tahu tentang seks. Neelam menurut seperti dikutib BBC, setiap hari menonton film porno ketika ia masih berumur sekitar 11 dan 16 tahun.

Generasi milenial di negara lain tak hanya gemar menyaksikan film porno, tetapi juga mempraktikkannya tanpa canggung (credit pic public domain)

“Saya cukup terkejut. Saat masih anak-anak, saya mulai menonton film romantis, yang adegannya berisi orang jatuh cinta dan hubungan seksnya baik dan bersih. Sampai kemudian saya menonton….” tuturnya pelan tanpa menyelesaikan kalimat sambil mengangkat bahu.

Kelonggaran menonton film yang menjurus sexualitas pornografi di London, seperti dituturkan Neelam pada BBC, awalnya tidak dihiraukan keluarganya. Buku, poster dan foto-foto yang ditempelkan di dinding serta catatan lain bertebaran di lantai dan setelah itu pintu ditutup merupakanhal biasa dilakukan di London.

“Pintu dan mulai menjelajahi situs-situs porno apa saja mulai dari 10 menit hingga satu jam. Saya rasa orang tua saya tidak pernah tahu,” katanya mengakui aktivitas seharian saat di dalam kamar bersama teman-temannya. (tim indepth/eddy je soe-editor)

Previous Ditemukan Bakteri Pengubah Golongan darah tipe Ab, A dan b Menjadi 'O'
Next Walikota Solo: "Brantas Radikalisme di Sekolah Dengan Pancasila"

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *