John Jonga Pastur Kaum Papa

Pater John Jonga

Pater Jon Jonga
Pater Jon Jonga (dok. ist)

Dapat dipastikan di Papua nama Frater John Jonga, semua orang mengenalnya. Sepak terjangnya menjaga kedamaian di bumi Cendrawasih, tak hanya diakui rakyat Papua, tetapi juga melegenda di hampir seluruh penjuru Indonesia 

Akhir-akhir ini namanya berkumandang di media Tanah Air. Yohanes Djonga, Pr, seorang pastor yang melayani di gereja katolik Keerom sebagai Pastor Paroki Waris. Merangkap sebagai Dekan Dekenat Keerom Keuskupan Jayapura. Pria kelahiran Manggarai, 4 November 1958 ini pertama kali menginjakkan kaki di bumi cenderawasih bulan Juli tahun 1986. Setelah menempuh di APK St. Paulus Ruteng – Maumere tahun 1983 – 1986.

Dinobatkan sebagai penerima penghargaan Hak Asasi Manusia, Yapthiam Hiem Award tahun 2009. Djonga tak pernah membayangkan dirinya akan menerima penghargaan Hak Asasi Manusia ini. Karena baginya ia hidup untuk melayani sesama dan bukan sebagai suatu prestasi dalam menolong orang lain.

Djonga pertama kali ke Papua, melayani umat di Wamena. Menjadi katekis di Paroki St. Stefanus, Kimbia, Lembah Baliem. Ada ketakutan dalam dirinya saat pertama kali melihat orang Papua. “Pertama kali saya melihat orang Papua sangat menakutkan,” ujar Djonga. Penduduk asli dengan koteka dan panahnya membuatnya was-was. Takut sewaktu-waktu akan diserang.

Ketakutannya terpecah, saat menyaksikan seorang penduduk asli Wamena, memakai koteka dan memegang panah. Penduduk asli itu datang padanya, menolongnya membawa barang-barang bawaannya. Kemudian Djonga bertanya padanya, “Kenapa kamu mau menolong saya?”. Jawab bapak tua itu dengan polosnya, “Karena saya mau masuk surga.”

Menolong orang supaya bisa masuk surga. Kata-kata yang membuat Djonga bergumul selama empat tahun. Selama itu ia mencari dan menemukan makna hidup. “Hidup untuk berbagi dan menolong sesama itu sangat penting,” ujar Djonga. Begitu polos kata-kata yang keluar dari mulut bapak tua itu. Menyentuh hati Pastor Jhon Djonga.

jonga (dok. ist)

Empat tahun kemudian, pada tahun 1990, Djonga ambil keputusan untuk melanjutkan studi teologia di STFT Fajar Timur Jayapura. Ia menempuh studi sampai tahun 1993. Djonga terinspirasi kata bapak tua yang singkat, padat dan jelas maksudnya.

Sambil kuliah teologia di STFT Fajar timur Jayapura, Djonga sempat ditugaskan di Paroki Skanto– Koya. Membantu Pastor Ernes Cicar. Pengalaman yang tak terduga saat pelayanan di Skanto. Tahun 1992, saat ia sedang mengendarai sepeda motor, Djonga dihadang oleh komplotan orang dibawah pimpinan Philipus Kembu. Keinginan kompolotan ini sebenarnya ingin menahannya. Djonga digiring masuk ke hutan. Dalam benaknya bertanya-tanya, mau dibawa kemana saya ini.

Kemudian Djonga bertanya pada seorang asli Wamena menggunakan bahasa Wamena yang artinya, ‘kita mau ke mana?’. Pria asal Wamena itu kaget dan keheranan, mendengar Djonga bicara dengan menggunakan bahasa Wamena. Kemudian Djonga menjelaskan bahwa ia seorang pastor dan pernah ditugaskan di Wamena.

Akhirnya pria tersebut memeluk dan merangkulnya mengajak Djonga bertukar pikiran. Kemudian pria tersebut menyarankan agar pada helm dan motor Djonga diberi tanda salib sebagai identitas untuk melindungi diri.

Keberaniannya untuk melakukan terobosan baru begitu menggugah hati siapa saja didekatnya. Ia tak peduli akan apa yang nantinya akan menimpanya. Tekadnya hanya satu, melayani sesama.

Di tahun 1994 sampai 1999, Djonga menjadi Pastor Paroki Mimika Timur hingga Agimulya. Di tahun 1997, Djonga membentuk Forum Komunikasi Perempuan Timika-Amungme. Forum pembela Hak Asasi Manusia berkaitan dengan pembelaan terhadap kaum perempuan.

Selesai ditugaskan di Mimika, Djonga menjalani tahun rohani di Asmat mulai tahun 1999-2000. Sekaligus belajar budaya Agats. Djonga tetap berjuang untuk mempertahankan HAM di Papua. Ia mendirikan Forum Perempuan Asmat “AKAT LEPAS”. Karena menurutnya, ujung tombak perubahan melekat erat dengan keberadaan wanita. “Kaum hawa dinilai sebagai pendamping dan sumber motivasi,” ujar Djonga.

Tanggal 14  Oktober 2001, Djonga ditahbiskan menjadi iman projo di gereja katolik APO oleh Uskup Jayapura. Leo Laba Ladjar,OFM.  Ia selanjutnya ditugaskan sebagai pastor paroki St. Mikhael Waris sampai dengan tahun 2007.

Ditanggal 23 Juli 2007 lalu, saat Gubernur Propinsi Papua, Barnabas Suebu, SH turun kampung, Djonga menyuarakan aspirasi rakyat pada pemerintah. Dengan beraninya menegur dan membela rakyat dengan pernyataan-pernyataan yang membuat pemerintah terkejut.

Tidak seperti sekian tahun saya mempelajari teologia yang terlalu tinggi bagi saya. Saya menjadi sadar saat melihat bapa tua itu. Setelah 4 tahun, saya ambil keputusan untuk sekolah teologia. Djonga mendapat inspirasi dari bapa tua itu. “Saya menolong bapa supaya saya bisa masuk surga’. Kata-kata yng begitu polos, singkat dan jelas. Tahun 1990-1993 saya sekolah di STFT FAjar Timur Jayapura.

Tahun 1992, ke Skamto. Sy naik motor, saya ketemu orang. Philipus Kembu. Mereka sebenarnya mau menahan saya dan masuk kehutan. Dalam perjalanan saya bertanya-tanya saya mau dibawa ke mana? Dia bertanya pada salah seorang asal Wamena, dgn mnggunakn bhasa wamena “kita mau ke mana?” orang itu kaget kenapa saya bisa berbahasa Wamena. Kemudian saya menjelaskan bahwa saya dulu pastor di Wamena. Akhirnya dia memeluk saya dan kami bercerita. Bapa pake tanda salib di motor dan helm. Tahun 1993 setelah kuliah, saya ditempatkan di Kokonao. Suku Pramo. Sampai dengan tahun 1997. Saya membentuk Forum Komunikasi Perempuan Timika – Amungme.

Agustus tahun 1999 ke Agats, untuk belajar budaya Agats dan tahun rohani. Saya bentuk forum Perempuan Asmat. Karena menurut saya ujung tombak perubahan melekat erat dengan keberadaan wanita. Kaum hawa dinilai sebagai pendampingan dan sumber motivasi.

Sejak tahun 2000-2007, saya melayani di Waris. Mulai saat Turkam gubernur Papua, Barnabas Suebu tanggal 23 juli 2007 lalu, saya di pindahkan ke Arso.  Meski tempat kami berpindah-pindah tempat, sepanjang untuk melayani umat, tutur Jonga, akan tetap saya lakukan. “Apapun akan saya jalani ketika sedang memanggul salib demi kebahagiaan dan kesejahteraan umat di manapun.” (Brigita Eka Masturbong/eddy je soetopo)

 

Previous Taylor Swift Cuek Bebek Dibullying Sampai Njengking
Next Shopia Robot Ayu Ogah Punya Cowok

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *