Tak dapat dipungkiri perkembangan sejarah berdirinya kota Solo selama 274 tahun merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah masa lalu tentang tlatah Keraton Kasunanan Kota Surakarta Hadiningrat. Melacak jejak pelbagai peristiwa penting sebelum negeri ini merdeka dan memerdekakan tanah pardikan yang dulunya ‘ndeso’ merangkak menjadi daerah kota swapraja dan kemudian menjadi Kota Solo, mengalami metamorfosis.
Menurut sejarawan Belanda, J. Noorduyn, yang meneliti naskah Bujangga Manik, menengarai awal desa Sala berada di suatu tempat penyeberangan Bengawan Solo di pinggiran kampung. Temuan berdasar prasasti lempeng tembaga yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Trowulan I” pada tahun 1358, –diyakini naskah sakral “Walayu”— merupakan batu pijak eksistensi kota berdiri di akhir abad ke-15 dengan tokoh “Ci Wuluyu”.
Pada abad ke-17 awalnya dilaporkan sebagai tempat penyeberangan di daerah Semanggi, Kecamatan Pasarkliwon. Perkembangan tlatah desa Sala tidak akan mencuat bila pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II, raja Kartasura, pada tahun 1742, tidak terjadi pemberontakan Sunan Kuning yang kemudian dikenal sebagai “Gègèr Pacinan”. Pemberontakan Sunan Kuning akhirnya dapat ditumpas dengan bantuan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sehingga Keraton Kartasura dapat direbut kembali. Meski mengorbankan hilangnya beberapa wilayah warisan Mataram sebagai imbalan. Sebagai kongsi dagang rempah-rempah bangsa Belanda VOC tentu tak mau rugi meminta imbalan. Bangunan keraton di Kartasura yang telanjur hancur dianggap ‘tercemar’. Sunan Pakubuwana II kemudian memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo beserta pasukan Belanda J.A.B van Hohendorff mencari lokasi keraton sebagai ibu kota baru.
Sejak keraton Kartasura dibangun pada tahun 1745 di desa Sala, dan diyakini sebagai jejak berdirinya Kota Solo. Dalam perjalanan sejarah masa lalu, nama kota Surakarta dilekatkan sebagai nama ‘wisuda’ pusat pemerintahan baru lepas dari tlatah kerajaan Kasunanan Surokarto Hadiningrat. Meski demikian, saat itu masih tetap berstatus Vorstelanden atau swapraja. Dalam pengertian berhak mengatur daerah sendiri. Termasuk merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pembangunan berdasar peraturan daerah.
Dalam perjalanan membangun kota, setelah tidak lagi menjadi daerah swapraja, kota Solo dinilai mengalami banyak perubahan sangat mencolok. Tidak hanya pembangunan secara fisik sarana maupun prasarana, yang menjadi fokus perhatian pejabat pemerintah kota, tetapi juga peraturan daerah pun mulai tertata rapi. Usulan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) bukan hanya digulirkan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) dari pejabat eksekutif pemerintahan kota, tetapi juga diusulkan oleh anggota DPRD Kota Surakarta sejak Solo tidak lagi berstatus sebagai daerah swapradja. Ratusan Raperda selama kurun waktu lima periode tahunan, sejak Pemilu diterapkan, tampak terlihat membawa perubahan besar terhadap jalannya pembangunan di Kota Solo. Pelbagai fasilitas prasarana dan sarana yang diperuntukkan bagi warga kota, mulai terlihat nyata perkembangannya.
Pemerintah Kota Solo menetapkan arah kebijakan pembangunan untuk meningkatkanan sarana dan prasarana pengembangan sumber daya manusia. Pembangunan gedung sekolah di pinggir kota sebagai implementasi aturan zonasi dibangun di beberapa tempat.
Selain itu pemerintah juga membangun rumah sakit umum daerah (RSUD) di Ngipang dan Semanggi. Penempatan lokasi pembangunan RSUD memang dirancang berada di daerah pinggiran kota sebelah utara dan selatan dengan maksud agar penyebaran fasilitas kesehatan lebih merata dan terjangkau warga kota yang tinggal di dua wilayah sekitarnya
Selain berupaya memajukan daerah, walikota bersama panitia khusus di DPRD Kota Solo secara konsisten menerapkan pelbagai aturan yang disepakati bersama. Peraturan daerah (Perda) yang mengatur persoalan budaya tak benda misalnya, juga menjadi perhatian pemerintah kota. Meskipun dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mengundang perdebatan panjang toh akhirnya disepakati.
Melaju Mengejar Waktu
Model Pembangunan yang dikedepankan pemerintah Kota Solo bukan hanya menata perumahan kumuh yang diperuntukkan bagi warga masyarakat kurang mampu, tetapi juga merambah ke penyiapan aturan di berbagai bidang termasuk Perda kesehatan, kependudukan dan pendidikan. Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo dalam berbagai kesempatan menyatakan Perda yang telah disahkan bertujuan untuk memberikan rasa aman dalam hal kepastian hukum bagi semua warga kota Solo.
“Peraturan daerah memang bertujuan untuk memberi rasa aman dan nyaman bagi warga Solo. Karena di situ ada kepastian hukum yang disepakati bersama. Melalui Perda itulah Solo akan terus memajukan daerah,” ujar walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo.
Ketua DPRD Kota Solo Teguh Prakosa menegaskan perlunya Perda yang mengatur tentang berbagai hal persoalan pembangunan tidak hanya semata-mata berfokus pada pengaturan perizinan bangunan fisik, tetapi juga mengkaitkan perlindungan terhadap kebudayaan. Itulah sebabnya anggota Pansus (Panitia Khusus) Raperda, papar dia, yang membidangi pendidikan dan kebudayaan menginisasi perlunya segera dibuat Perda terkait dengan hal itu.
“Hampir semua anggota pansus lintas komisi di DPRD Kota Solo, menyetujui Raperda Kebudayaan tak Benda disahkan menjadi peraturan daerah,” ujar dia, “bukan hanya Raperda Kebudayaan yang telah disahkan menjadi Perda, tetapi masih banyak peraturan daerah yang disahkan pada tahun 2018 lalu.”
Senyampang dengan pembahasan usulan peraturan daerah yang belum disahkan pada tahun 2019 pemerintah kota tetap terus melaksanakan pembangunan sesuai dengan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) sesuai kesepakatan dalam Perda. Salah satu target utama dalam pembangunan jangka menengah dan panjang, Pemkot (Pemerintah Kota) Solo kini tengah membangun Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Semanggi dan stadion Manahan.
Pembangunan RSUD Semanggi maupun Stadion Manahan diperkirakan akan selesai pada pertengahan Mei 2019. Anggaran kedua proyek pembangunan dibiayai melalui APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Nasional) dari kementerian terkait. Sedang Pemkot Solo menganggarkan sebagai penyerta anggaran melalui APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sebagai dana penyertaan pembangunan.
Meski beberapa waktu lalu dua pasar mengalami kebakaran sekaligus, yakni Klewer dan Pasar Legi, pemerintah kota dengan cepat segera melakukan pembangunan kembali. Pasar Klewer di sebelah barat kini telah bisa ditempati untuk berjualan kembali. Sedangkan di sisi timur pasar yang telah diratakan tanah tidak akan lama segera dibangun kembali. Sedangkan rencana pembangunan Pasar Legi saat ini sedang pengajuan pembangunan kembali
Pembangunan lain yang pantas dikedepankan yakni pembuatan parapet, tlengsengan tanggul pinggiran Bengawan Solo yang dikerjakan melalui dengan APBN di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR). Proyek penanganan banjir untuk mengurangi resiko genangan di Kecamatan Pasar Kliwon dan Jebres seluas 230 hektar. Pemasangan parapet beton sepanjang 5.400 m, disertai rumah pemompa banjir sebanyak 8 buah. Saat ini daerah banjir musiman di beberapa daerah langanan banjir tak lagi digenangi air luapan dari Bengawan Solo.
Bukan hanya penanggulan parapet beton di sepanjang Bengawan Solo yang telah diselesaikan, renovasi bantaran di sepanjang kali Tirtonadi telah pula rampung di kerjakan. Selain sebagai penahan luapan genangan banjir Bengawan Solo, penanggulan menggunakan beton parapet di sepanjang kali Jenes Tirtonadi juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat distinasi baru wisata air. Pemerintah kota Solo menyadari landscape wilayah tidak memungkinkan lagi diperluas menambah lokasi sebagai panggung pertunjukan.
Demikian pula penyelenggaraan perhelatan pagelaran kebudayaan yang melibatkan sebanyak mungkin warga masyarakat kota terus digalakkan. Berbagai event seperti Solo Batik Carnival (SBC), Festival Kulinery di berbagai tempat digelar. Bukan hanya itu, penyediaan lokasi bagi wisatawan yang ingin menikmati makanan khas Kota Bengawan pun disediakan tempat di Gladak Langen Bogan atau yang lebih dikenal dengan nama Galabo. Itu semua menandakan sebagai kota wisata, Solo tidak lagi perlu memikirkan perluasan wilayah potensi pemajuan daerah kota budaya.
“Lantaran wilayah kota sudah tidak memungkinkan lagi diperluas, mau tidak mau pemerintah kota berpacu melawan modernisasi di abad milenial melalui penyelenggaraan festival budaya di Solo,” tutur walikota Rudyatmo di berbagai kesempatan berbincang dengan para jurnalis, “itulah uniknya kota Solo. Setelah melakukan revitalisasi pasar tradisional dan kantor kelurahan maupun kecamatan, Solo menjadi distinasi percontohan.” (tim in-depth report sarklewer/eddy je soe)
No Comment