Namanya sudah telanjur kecanduan nikotin yang terdapat di dalam daun tembakau pada rokok, apapun larangan digaungkan tetap diterabas. Kebiasaan merokok, bagi sebagian orang pecandu rokok, tak mudah dilepaskan begitu saja. Meski lembaga kesehatan dunia seperti WHO berulangkali mengumumkan bahaya nicotine bagi kesehatan paru manusia, toh tak menyurutkan orang mengisap cigarette.
Bukan efek bagi kesehatan paru, itu saja yang mencemaskan ahli kesehatan dunia, tetapi efek lain jauh lebih sadis yakni kanker ganas menerjang paru-paru pengisap rokok menjadi penyebab kematian perokok setiap tahun. Atas dasar itulah, tahun lalu WHO mengeluarkan aturan ketat hari tanpa tembakau di seluruh negara. Lantaran di banyak negara, kematian akibat tembakau tak bisa dianggap remeh.
Di Ingris, meski bukan negara yang rakyatnya bukan penanam tembakau besar-besaran, rokok menjadi salah satu penyebab kematian lebih dari 100 ribu orang setiap tahun. Di beberapa negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia, bukan mustahil kematian akibat rokok lebih dari ratusan ribu orang meninggal lantaran kesehatan paru teracuni nicotine.
Padahal dalam pertemuan yang melibatkan semua negara pemroduksi rokok yang diselenggarakan WHO (World Health Organization), menandatangani konvensi internasional tentang pengendalian tembakau. Termasuk pedoman global baru yang disepakati bersama pada pertemuan Oktober tahun lalu.
Ketatnya aturan dari WHO dan pemerintahan setempat di suatu negara, tampaknya mengilhami ide baru e-cigarette alias rokok elektronik. Belum sampai ampat tahun, peredaran rokok elektronik merangsek ke berbagai negara. Salah satu alasan utama mengapa pabrik rokok konvensional juga memproduksi rokok elektronik, yani untuk mengurangi tar nicotine secara langsung dari tembakau.
Membeludaknya pengemar rokok elektronik jelas mengundang kontroversi. Peneliti kesehatan menganggap bukan satu-satunya jalan agar seseorang berhenti merokok kemudian memproduksi e-cigarette. Bukan hal mustahil bila di dalam rokok elektronik juga tak terlepas dari tar-nicotine.
Juru bicara Departemen Kesehatan Inggris mengatakan, “Semakin banyak orang yang menggunakan e-cigarette dan kami ingin memastikan mereka diatur dengan benar sehingga kami dapat memastikan keselamatan mereka,” seperti dilaporkan Smitha Mundasad, BBC News.
Kami telah menetapkan, ujar dia, niat kami untuk mengubah undang-undang untuk melarang penjualan e-rokok kepada anak di bawah 18 tahun. “Kami juga membawa aturan Eropa baru untuk mencakup produk dengan kekuatan lebih rendah yang akan melarang sebagian besar iklan, membatasi kadar nikotin, dan menetapkan standar untuk bahan, pelabelan dan pengemasan.”
Meski demikian, hingga kini aturan penjualan e-cigarette di beberapa negara masih terus dijual bebas tanpa larangan. Agar lebih menarik pembeli, pabrik peproduksi e-cigarette menambahkan pelbagai aroma. Pemerintah Inggris tetap melarang e-cigarette dengan aroma permen, minuman keras dan aroma lain yang disenangi anak-anak.
Bahkan para ahli kesehatan menyerukan larangan iklan yang dapat mendorong anak-anak dan non-perokok untuk menggunakan perangkat e-cigarette. “Rasa seperti buah, permen, atau anggur dan minuman beralkohol harus dilarang. Termasuk penjualan rokok elektronik dari mesin penjual otomatis harus sangat dibatasi.”
Menurut para ahli, e-cigarette, inhalasi mengatifkan alat penyemprot bertenaga baterai dan jenis merk e-cigarette lain diaktifkan secara manual. Koil pemanas di dalam alat penyemprot memanaskan nikotin cair yang berada dalam katrid. Agar menarik beberapa e-cigarette juga memiliki lampu LED sebagai fitur kosmetik untuk mensimulasikan cahaya rokok tradisional.
Menurut hasil temuan peneliti yang dilakukan WHO terhadap e-cigarette, uap e-cigarette yang dihembuskan dapat meningkatkan kadar udara latar belakang beberapa racun dan nikotin, “Meski beberapa merek e-cigarette mengandung konsentrasi racun kimia yang berbeda-beda.”
Peneliti Harvard Health, John Ross, menyatakan penambahan aroma pada e-cigarette merupakan ancaman bagi kesehatan lain pada tubuh manusia. Penambahan aroma yang biasa disebut diacetyl dapat menimbulkan penyakit paru-paru langka yang disebut bronchiolitis obliterans yang menyebabkan kerusakan permanen pada bronkiolus –saluran udara terkecil di paru-paru.
“Meski propilen glikol dan gliserol, sebagai komponen utama e-liquid, acap dianggap berbahaya, namun bila dipanaskan memakai vaporizer, berubah menjadi senyawa beracun formaldehyde,” tandas dia dalam tulisan yang diposting Juli 2016, “lebih umum dengan vaporizers baru yang menggunakan watt tinggi.”
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Harvard menyatakan banyak orang Amerika kebingungan ketika harus memilih e-cigarette atau rokok konvensional. Pendapat mereka terbelah, ada yang menyatakan e-cigarette kurang berbahaya daripada rokok konvensional, da nada pula yang justru mengatakan e-cigarette sama buruknya dengan rokok biasa.
Sayangnya, ujar John Ross, tidak ada data keamanan jangka panjang tentang e-cigarette terutama campuran kompleks kimiawi bagi potensi bahaya dibandingkan dengan efek manfaatnya. Selain itu, satu-satunya produk konsumen yang tidak pernah terpapar secara tertulis peringatan bahaya e-cigarette.
“Di Amerika Serikat, rokok merupakan penyebab nomor satu kematian yang sebenarnya dapat dicegah, lebih dari 480.000 orang setiap tahun orang meninggal setiap tahun,” katanya.
Bayangkan, dibandingkan dengan kematian HIV, heroin, metamfetamin, kokain, alcohol, kecelakaan kendaraan bermotor, dan kekerasan menggunakan senjata api; merokok berada di peringkat nomor satu penyebab kematian orang di Amerika Serikat. Radikal bebas dalam asap rokok, katanya, secara fisik menuakan tubuh manusia. Selain itu rata-rata, merokok mengurangi rentang hidup Anda setidaknya 10 tahun.
“Rokok yang terbakar mengeluarkan gas berbahaya, seperti karbon monoksida dan hidrogen sianida. Asap rokok juga mengandung suspensi ultrafine residu bergetah, yang dikenal sebagai tar. Sebagian besar karsinogen dalam asap rokok ditemukan di tar. Pada e-cigarette cairan yang dikenal sebagai e-liquid merupakan campuran nikotin dilarutkan dalam propilen glikol dan gliserol. E-liquid dipanaskan oleh vaporizer bertenaga baterai, mengubahnya menjadi kabut ‘vaped’ yang dihirup,” tulis dia.
Menurut John Ross, nikotin dalam e-cigarette cenderung memiliki efek bagi kesehatan negative. Paparan nikotin kronis dapat menyebabkan resistensi insulin dan diabetes tipe-2, meskipun resiko ini dapat diimbangi oleh efek penekan nafsu makan akibat nikotin.
“Efek inhalasi meningkatkan detak jantung dan tekanan darah yang disebabkan nikotin. Nikotin sangat adiktif, dan dapat menyebabkan perubahan di otak dan meningkatkan resiko kecanduan obat lain, bagi anak muda.”
Nikotin juga dapat mengganggu perkembangan otak prefrontal pada remaja, yang menyebabkan gangguan defisit perhatian dan kontrol impuls semakin memburuk. Kasus keracunan nikotin dari e-liquid di Amerika Serikat, menurut John Ross, telah meroket, dengan konsumsi e-liquid yang tidak disengaja oleh anak-anak naik 1.500% dalam tiga tahun terakhir.
“Orang yang belum merokok harus menghindari e-cigarette lantaran lebih besar bahayanya dibanding orang yang tidak merokok.” (thomas desanto/eddy je soe)
No Comment