Perda Bantuan Hukum Rakyat Miskin, Siapa Berhak Menikmati?


Pembahasan Raperda Bantuan Hukum bagi Rakyat Miskin di Pansus DPRD Kota Solo

Menjadi warga miskin adakalanya diuntungkan, tetapi acap justru mencilakakan. Tidak hanya persoalan status yang disandang sebagai rakyat kecil terstempel wong melarat, tetapi juga kucuran bantuan pemerintah yang mestinya diterima kadang malah tersendat. Tak hanya sekali pemerintah kota (Pemkot) Solo menggulirkan kebijakan mengentaskan kemiskinan, namun tak jarang malah terbengkelai.

Meski didorong dengan berbagai Peraturan Daerah (Perda), yang didesign agar kesejahteraan rakyat miskin tercapai, toh nyatanya belum terbukti seperti diharapkan.  Menurut anggota DPRD Kota Solo Abdullah AA, rakyat tetap masih dalam kondisi memprihatinkan bila hal itu terus-menerus dilanjutkan tanpa diikuti campur tangan langsung pemerintah. Terutama dalam melakukan pembelaan pada wong cilik ketika harus berhadapan dengan masalah hukum.

Unjukrasa Mahasiswa Menentang Peraturan 4 Menteri tentang UU Perburuhan yang Mencekik Rakyat (credit pic by eddy je soe)

“Banyak bukti yang bisa dilihat dengan mata telanjang, keampuhan Perda tidak bisa dijalankan di tingkat OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait. Berapa banyak Raperda diselesaikan menjadi Perda, tapi tidak banyak yang ditindaklanjuti,” ujar dia, “sama halnya nanti kalau Perda Bantuan Hukum Bagi Rakyat Miskin selesai.”

Sinyalemen anggota Pansus Raperda Bantuan Hukum Bagi Rakyat Miskin (BH-BRM) akan berjalan ditempat manakala yang akan dibela justru berhadapan dengan pemerintah. Entah nantinya pemerintah akan memberikan bantuan melalui lembaga bantuan hukum, dan kemudian berhadapan vis to vis dengan Pemkot.

“Hal itu akan menjadi masalah saat rakyat miskin akan dibela advokad dari lembaga bantuan hukum dengan biaya pemerintah hingga selesai putusan di pengadilan ketika yang berperkara rakyat melawan kebijakan pemerintah kota?” tanya Abdullah mempertanyakan, “makanya pasal mengatur soal berperkara dengan pemerintah harus dihapus.”

Rakyat Miskin di Pinggiran Kota Perlu Memperoleh Kepastian Hukum untuk Kepastian

Persoalan perkara hukum, entah perdata atau pidana, bila yang berperkara antara rakyat melawan kebijakan pemerintah jelas memerlukan waktu pangjang. Apalagi, ujar Abdullah menambahkan, terkait persoalan nama baik pejabat atau instansi pemerintah, bisa jadi malah rakyat yang kalah.

Apalagi dengan klausul yang terdapat dalam draf di Bab VI Pasal 9 huruf g (2).  Draf draf awal yang mencantumkan klausul penolakan terhadap pemberi bantuan hukum dalam perkara perdata dan tata usaha Negara, apabila pihak tergugatnya dalah pemerintah.

“Kalau itu tetap dipertahankan, ndak mungkin pemberi bantuan yang nota bene duitnya dari pemerintah akan dikucurkan pada lembaga bantuan hukum untuk melawan pemerintah,” tutur dia, makanya kami usulkan dibuang. Soalnya menyangkut persoalan hak asasi manusia.”

Acuan yang harus dikedepankan, menurut Abdullah, yakni perlindungan hak asasi manusia pada rakyat miskin yang terlanggar asasinya. Sangat keliru bila analogi pemberian bantuan hukum pada rakyat kecil duitnya berasal dari pemerintah daerah.

Demonstrasi Aktivis Perburuhan Menentang Kenaikan Tarif Dasar Listrik (credit pic by eddy je soe)

“Pendapat seperti itu, sangat keliru. Duit yang dikumpulkan di APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) itu kan uang pajak rakyat. Pemerintah’kan hanya mengelola. Jadi tidak benar argumentasi seperti itu. Justru rakyat kecil harus diberi bantuan agar berani berhadapan yuridis di muka pengadilan,” kata Abdullan.

Persoalan lain yang menjadi perdebatan dalam acara dengar pendapat yakni kreteria lembaga bantuan semacam apakah pantas diberi bantuan dana untuk berperkara dalam membela rakyat miskin. Dalam Raperda BH-BRM disebutkan di bab I Ketentuan Umum Pasal 1 nomor 8, lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum di dalam maupun di luar pengadilan.

Sedangkan penerima bantuan hukum tercantum di pasal 1 nomor 9, adalah warga miskin Kota Surakarta yang lemah dan tidak mampu dalam menghadapi permasalahan hukum baik dalam perkara pidana, perdata dan/atau tata Negara.

Kriteria seperti itulah, menurut Suharsono, Ketua Pansus BH-BRM, pantas dan perlu diberi bantuan hukum melalui kantor lembaga bantuan hukum berperkara di pengadilan. Tentu pemerintah akan memberi bantuan terhadap lembaga bantuan hukum yang akan menangani masalah tersebut di pengadilan.

Foto Ilustrasi Unjuk Rasa Menentang Kenaikan Harga BBM Jelang Kerusuhan Mei 1998 (foto eddy j soe)

“Hanya saja, proses untuk memberi bantuan melalui lembaga bantuan hukum tentu memiliki limitasi waktu tertentu. Termasuk dana yang akan dikucurkan pada lembaga advokasi hukum,” ujar dia.

Sebab katanya menambahkan, pemerintah juga akan melakukan penilaian terhadap pelaksana lembaga bantuan hukum yang memenuhi syarat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Pemberi bantuan hukum dimaksud meliputi lembaga berbadan hukum, terakreditasi, memiliki kantor atau secretariat yang tetap, memiliki pengurus dan memiliki program bantuan hukum,” katanya.

Persoalan BH-BWM, tidak saja menjadi perdebatan soal kriteria miskin tetapi juga penilaian lembaga yang akan ditunjuk memperoleh dana tersalurkan. Pasalnya, hingga kini tim penyusun Raperda belum memiliki konsep yang jelas tentang patokan baku. Terutama, menurut Fajar dari Spek HAM, menyangkut kriteria miskin.

Pendampingan Hukum dan Advokasi yang Dilakukan Aktivis LSM Menjadi Harapan

“Kami berharap dalam pembahasan lanjutan di tingkat eksekutif, sudah ada kriteria miskin itu seperti apa. Patokan dasar yang digunakan’kan berbeda. Ada yang masih menggunakan parameter berdasar kriteria pemerintah pusat. Harus ada patokan dengan mempertimbangkan komponen daerah. Kearifan lokal yang harus dipertimbangkan,” ujar dia.

Bisa saja pengajuan anggaran untuk proses justisi bagi rakyat miskin ditolak di tingkat OPD pemerintah daerah yang akan mengeluarkan dana, lantaran warga yang diwakili dinilai bukan kategori rakyat miskin. “Itulah sebabnya perlunya kriteria kemiskinan dimaksud menggunakan patokan apa,” katanya.

Kekawatiran Fajar juga dikawatirkan oleh Susanti Nugroho dari anggota badan kokperasi DPC PDI Perjuangan kota Surakarta. Menurutnya, bila pengajuan permohonan bantuan hokum litigasi telah diajukan oleh lembaga yang mewakili, sebaiknya segera direspon OPD Pemkot Solo secara tertulis.

“Sehingga tahu kenapa pengajuan penolakan bantuan hukum yang diminta ditolak. Menurut kami, harus ada kejelasan penolakan,” ujar dia, “termasuk bila alasan KTP dan KK Solo tapi sedang berada di luar kota, itu gimana. Jelas-jelas dia tidak mampu, karena kita-kita’kan yang mengetahui dan bergaul dengan mereka.”

Hal senada juga dikawatirkan Rita dari Yayasan Kakak mewakili lembaga swadaya masyarakat. Menurutnya, sebagai aktivis di suatu lembaga paralegal, pemerintah sudah sewajarnya memperhatikan dengan serius soal kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.

“Jangan sampai kita memberikan pembelajaran terhadap masyarakat, kalau yang bersangkutan melakukan tindak kekerasan kemudian tidak dibantu. Justru seharusnya diutamakan agar dibantu dalam proses litigasi di pengadilan,” tandas dia.

Apapun yang menjadi perdebatan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Bantuan Hukum Bagi Rakyat Miskin (BH-BRM), toh akhirnya disepakati untuk disahkan menjadi Peraturan Daerah (eddy j soetopo).

 

 

Previous Gaya Monica Belluci Memikat Bond di Ranjang
Next Pakailah Kocomoto Biar Kelihatan Cerdas

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *