Perangko Ngawi Laku 1.6 Miliar


Kalau sudah cinta apalagi hobi, nalar dan akal sehat sepertinya tak lagi berguna. Jangankan merogoh uang dalam saku atau tabungan yang jumlahnya sampai ratusan juta, uang belanja pun acap lenyap. Tidak hanya itu, namanya juga hobi, “memulung” bak sampah di sebuah kantorpun akan dilakukan, demi mendapatkan perangko kucel, lecek dan tak terpakai. Tapi jangan tanya harga perangko lawas, bisa jantungan: 1.6 Miliar

Pengorbanan dan perjuangan mendapatkan benda-benda pos tertentu yang dilakukan penggemar filateli, seperti penuturan Sekretaris Jenderal Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI), Rijanto, di ruang kerjanya di jalan Pos, Jakarta, tahun lalu, bisa saja ditiru kalau tidak malas dan gengsi. Pasalnya, ngaduk-aduk tumpukan kertas bekas dan lecek di bak sampah, siapa yang mau.

Perngko Ngawi Pernah Dijual Seharga 1.6 Miliar

Padahal bagi pengemar perangko bekas, alias filateli, pekerjaan memburu perangko baekas banyak dilakukan para pengemar filatel di luar negeri. Selain tanpa modal besar, pengemar perangko bekas ternyata juga mulai digemari anak-anak muda di kota-kota besar di Indonesia.  Jangan kaget kalau harga perangko rhakanggo bisa laku ratusan juga. Apalagi perangko bekas jaman penjajahan, di negeri manapun yang pernah dijajah negara lain.

“Jangankan mengeluarkan duit sampai ratusan juta, jika perlu “memulung” untuk mendapatkan perangko dari surat-surat kumel yang sudah dibuang di bak sampahpun, akan dilakukan,” ujar Rijanto beberapa tahun lalu di Jakarta.

Hobby mengumpulkan barang atau benda-benda pos yang dicetak dan diedarkan secara resmi oleh negara, menurut Rijanto, bukanlah hal baru. Filateli yang berasal dari bahasa Yunani, Philos dan Athelia mulai ada dan di kenal sejak lahirnya perangko yang pertama kali di keluarkan kerajaan Inggris pada, 6 Mei 1840. “Perangko pertama itu bergambar Ratu Inggris,” jelas Rijanto.

Dalam menggeluti hobby ngumpulin perangko, menurut Riyanto, banyak aspek dan kegiatan positif yang bisa diperoleh. Perlu diingat, kegiatan filateli tidak melulu hanya mengumpulkan perangko dan benda-benda pos saja.

“Seorang filatelis juga dituntut teliti, rapih dan harus memahami karakter dan pengetahuan setiap koleksinya. “Bisa dibilang, dalam kegiatan filateli terdapat berbagai aspek seperti hobby, edukasi dan bisnis,” ujarnya

Manfaat filateli sebagai media edukasi, papar Riyanto lebih lanjut, dimaksud setiap perangko yang di terbitkan satu negara selalu dijelaskan alasan dan makna gambar dalam perangko. Misalnya perangko candi yang di terbitkan pemerintah Indonesia, tentu berkaitan dengan konservasi peninggalan sejarah. Selain itu, menurutnya, dalam perangko tertera jelas kapan diterbitkan, jumlah yang dicetak, berapa warna yang digunakan dan berapa lama masa berlaku.

“Serta penjelasan latarbelakang pencetakan objek candi tersebut secara mendetil. Dengan demikian, dari satu perangko candi itu saja kita bisa melihat, pembuatan perangko candi dan dokumentasi dari negara pencetaknya tentang satu peristiwa sejarah,” katanya.

Ruang Penyimpan Perangko Bekas

Selain manfaat edukasi, filatelis juga dituntut untuk bersih dan teliti. Seorang filatelis wajib hukumnya mau menjaga dan merawat koleksinya tetap bersih. Karena itu, untuk memegang benda filateli tidak boleh sembarangan. Memegang koleksi filateli menggunakan tangan telanjang sangat tidak disarankan. Sebab tangan manusia mengandung keringat yang mengandung unsur HCI atau garam.

“Sedangkan perangko mengandung perekat atau lem. Kalau tangan kita memegang perangko secara langsung dikhawatirkan merusak perangko. Karena itu, untuk memegang perangko harus menggunakan pinset. Atau bisa juga dibuatkan pengaman dengan membungkus perangko dalam kantung plastik yang kedap udara,” ujarnya.

Menurutnya, untuk menjaga dan merawat barang-barang filateli, seorang filatelis juga diajarkan cara dan teknik penyimpanan perangko dengan plastik. Dengan penyimpanan dalam plastik yang kedap udara, walau perangko sudah berusia tua kondisinya tetap akan bagus, bersih dan rapih seperti masih baru. Sehingga, harganyapun menjadi tinggi.

Bicara soal harga, dalam kegiatan filateli juga terdapat aspek bisnis. Maksudnya, dalam peraturan internasional setiap perangko yang diterbitkan hanya dicetak satu kali dalam jumlah tertentu. Sehingga, perangko yang telah habis dipasaran dan setelah habis masa edarnya menjadi langka. Dengan langkanya jenis perangko tertetu, harganya juga akan semakin tinggi. Selain langka, benda filateli juga bisa menjadi mahal harganya jika filateli itu mengandung nilai historis. Disinilah aspek bisnis terjadi dalam dunia filateli.

Perangko Kemerdekaan

Dalam sejarah filateli Indonesia yang berdiri pada tanggal 29 maret 1922, tercatat pernah terjual satu perangko pertama di Indonesia yang di cetak di Belanda, tahun 1864 dan di lelang dengan harga Rp 1,6 miliar. Perangko pertama itu telah dipakai dan terdapat cap stempel Kantor Pos Ngawi, Jawa Timur.

Dengan terbatasnya dan kelangkaan koleksi filateli, akhirnya membuka peluang bisnis jual-beli perangko. Menurut penuturan Ahmad Sanusi, salah seorang pedagang perangko yang menempati salah satu kios di Gedung Filateli Jakarta, banyak pensiunan karyawan Pos dan Giro yang menekuni bisnis filateli. Bahkan, katanya ada yang berdagang sejak tahun 1959. “Awalnya sekedar hobi tapi lama-kelamaan kebablasan,” katanya

Tidak hanya itu, berkah lain dari hobi jual-beli filateli. Dari tukar-tukaran perangko, bisa saja dapat jodoh atau menantu berkat perangko. “Contohnya saya sendiri,” ujar Sanusi sembari tertawa, “menantu saya ternyata juga pengemar filateli dan bekerja di Gedung Filateli.”

Dalam perbincangan santai disela-seta kesibukannya merapihkan dagangan Sanusi sedikit membuka rahasia bisnisnya. Menururutnya, sejak beberapa tahun terakhir bisnis filateli lesu. Terutama pasca reformasi. Tapi sebelum reformasi, penghasilannya lebih lumayan. Soal harga? Tidak ada patokan yang pas. Tapi juga, ujar Sanusi, tidak bisa harga perangko ditentukan sembarangan.

“Sebab ada aturan mengenai harga dan kategori. Semua diatur dalam buku catalog. Tapi kebanyakan penggemar filateli umumnya saling kenal, tak jarang jual beli dilakukan dengan negosiasi atau bahkan bisa saja barter. Meski demikian mereka lihat juga harga patokan di buku katalog.” (Untung Gustiantoro/Subeck/Eddy Je Soetopo)

Previous Jangan Angap Enteng Kanker Mulut
Next Ariana Grande Dipuji Obama

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *