Panembahan Reso: ‘Intrik Politik Berdarah & Rebutan Kekuasaan’


Drama lawas karya WS Rendra dipentaskan ulang setelah digelar pada 1986 di Jakarta dan setelah itu dilarang pemerintah Orba

Bagi generasi ABG (Anak Baru Gede) milenial yang lahir setelah menteri pendidikan, tentu tak bakal mengenal seniman kawakan almarhum Willy Bradus (WS) Surendra-rendra (Rendra).  Lantaran tak ada matakuliah yang memperbincangkan dan mendiskusikan kiprah seniman yang ditakuti pemerintahan dictator presiden lalu. Bukan hanya puisi-puisinya, yang diterjemahkan berbagai bahasa, menggetarkan, tetapi juga sendratari –seni drama dan tari– membuat sang penguasa lalim keder.

Itulah sebabnya, puisi-puisi yang akan dipentaskan di balai seni di Taman Ismail Marjuki (TIM), Jakarta, dibubarkan tentara Orde Baru (Orba) kala itu. Tidaklah mengherankan bila seniman sezaman Rendra kala masih hidup, ingin mementaskan tontonan memukau seperti “Panembahan Reso” di Solo sebelum manggung di Gedung Teater Ciputra Artpreneur Jakarta.

Pementasan ‘Drama Berdarah’ Panembahan Reso di Solo memperoleh antusiasme penonton di teater besar Institute Seni Indonesia (ISI) didominir ABG (courtesy pic wong panggung)

‘Bagi pemerhati seni teater nama Rendra tentu tak akan luput dari pengamatan atas perannya ketika ia melawan Soeharto. Lihat saja karya Panembahan Reso yang dipentaskan di Teater Besar ISI, 19 Januari 2020. Paembahan Reso pertama kali dipentaskan Bengkel Teater pada 26-27 Agustus 1986 selama 6 jam manggung. Masih beruntung, ketika manggung saat ini tidak dibubarkan tentara, coba saja Anda berada di Jakarta kala itu, tentu akan ‘kecontalan’ saat menonton setiap kali Rendra berpentas dan dibubarkan tentara.

Meski bukan Rendra sendiri yang turun tangan dalam pentas Gladi Bersih di Solo, seniman Hanindawan didapuk sebagai sutradara dengan diasisteni Sosiawan Leak, tak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi mereka menterlibatkan banyak seniman teater, tari, musik dari Solo, Yogyakarta dan Jakarta, jelas merupakan pertunjukkan menarik. Tentu selebiry seperti Sha Ine Febriyanti, Whani Darmawan, Uci Sucieta dari Jakarta menjadi daya tarik tersendiri ditonton ketika mereka berpentas bukan di panggung layar lebar.

Tidak hanya itu, pertunjukkan semalam juga menghadirkan seniwati Sruti Respati, Ruth Marini, Maryam Supraba dan Gigok Anugoro maupun Jamaludin Latif dan Dimas Danang Suryonegoro dari Solo, lengkap sudah. Dalam gladi resik, pentas semalam juga di imbangi penataan arstistik dan suara lumayan apik. Meski tak didukung efek sound system dan pencahayaan optimal, lantaran suara acap tersendat. Namanya juga gladi bersih gratis, mau apa lagi.

Penghayatan para seniman panggung penggiat seni dari Jakarta, Jogya dan Solo tidak membuat canggung berdialog di atas pentas

Format semi orchestra dengan gending-gending, tampaknya belum sreg tepat dalam jengkal peradegan sequence pergantian cerita. Tidaklah mengherankan bila lima belas pemusik dan penarik latar dengan koreografi tari kontenporer, terlihat tak pas. Terasa sekali gaya para seni tari khas ISI Solo. Untungnya ditunjang dengan kelengkapan gambar sorot multimedia bernuansa siluet berunsur animasi. Masih lumayan menarik, meski hanya sekilas, entah nanti dalam pertunjukan beneran di Jakarta.

Apapun yang telah dipentaskan di Solo dan akan diulang di Jakarta maupun di tempat lain, pementasan Panembahan Reso yang diproduksi bersama BWCF Society, GePi.co, Ken Zuraida Project dan didukung Ciputra Artpreneur dengan diproduseri Auri Jaya, Imran Hasibuan alias Ucok, dan Seno Joko Suyono, pantas ditepuktangani.

Apa yang pantas ditepuktangani ketika durasi pertunjukan sama-sama melahap waktu tiga jam antara film The Irishman dan Panembahan Reso, yakni persoalan perebutan dan intrik politik dalam memperebutkan kekuasaan. Hanya dalam pentas senidrama Panembahan Reso tergambar secara vulgar, perebutan kekuasaan dan pembunuhan dari meracun dan menusuk dengan senjata tajam; film the Irisman tidak seganas itu. Entah apakah dulunya Rendra terilhami di sekolah teater Broadway, dan membaca kisah tragis perebutan kekuasaan, tidak ada yang tahu.

Buku penting yang pantas dibaca para calon pejabat penguasa negri ini dan mengaku sebagai negarawan

Entah apakah para penikmat seni drama, sepanjang pertunjukan lebih banyak didominir dialog panjang sinis-kritis-sarkasme di atas Panggung di Teater Besar ISI (Institut Seni Indonesia) di Solo itu apakah dimengerti oleh generasi milenial saat ini, tak banyak yang berani berspekulasi mengetahuinya. Bisa saja gugatan satir, sang burung merak (baca: sebutan sastrawan besar Rendra ) terhadap sang diktator penguasa saat itu, yang ingin tetap bercokol selamanya, dimengerti atawa tidak oleh Abg milenial itu; bukan lagi menjadi persoalan pertunjukan. Yang jelas, setelah Rendra dan para seniman lain berpentas, selama 6 jam tahun 1986, dilarang tampil berpentas! Mudah-mudahan drama Panembahan Reso sebagai pengingat pada para calon penguasa tidak bertindak semena-mena pada rakyatnya bila berkuasa nanti.

Bila penguasa nantinya, bila terpilih menjadi pejabat negara dan berlaku sewenang-wenang, bukan hal yang negeri ini akan berkubang dalam kolam bau anyir berlimpah darah. Semoga tidak

Previous Solo Membangun Kota Inklusif dan Berkelanjutan
Next Sukaduka Penjual Mainan Liong dan Pengamen Robot di Hari Imlek

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *