Numpak Jinontro Sekatenan


Jhinontro Alias Komidi Putar
Jhinontro Alias Komidi Putar (dok. eddyjsoe)

Entah sejak kapan mainan komdi putar alias Dream Moulin berubah nama menjadi Jinontro, tak semua orang tahu. Bahkan, Mursid, sang pemilik mainan yang disukai anak dan remaja, bersumpah tak pernah ngagas asal-usul nama dolanan npenghasil duit ratusan ribu rupiah saban malam itu. Menurutnya, lebih baik nggagas cara menangkal hujan agar calon penumpang membludak.

“Lebih enak mencari, pawang penangkal hujan, biar gak bangkrut,” katanya, “daripada ngeributin asal nama Dremolen.”

Perhelatan saban tahun, tentu masa panen pebisnis mainan meraup fulus ketika perayaan Sekaten tiba. Kali ini harapan wiraswasta mider kampung pupus sudah, senyampang datangnya musim hujan bertepatan dengan maleman Sekaten.

Padahal tahun sebelumnya, permainan seperti Jinontro alias Dremolen –pengucapan bahasa Jawa dari dream moulin– dan ombak-banyu atau kora-kora, maupun tong-setan, telah lebih dari seminggu memenuh-sesaki area terbuka di samping benteng Vastenburg.

Benar saja, perhelatan ceker-ceker –menurut istilah punggawa– Sekaten tahun ini bubruk. Padahal ongkos untuk mendirikan besi-baja bukannya murah. Belum lagi izin keramaian dan membayar pegawai, halo-halo, penjaga karcis, lampu penerangan dan solar sekali nancepin Jienontro tidak kecil, enam jutaan.

“Paling kurang harus bak-buk sekali mutar semalam dua ratusan ribu. Sukur-sukur bisa lebih. Tapi kalau setiap hari diudani kayak semalam bisa tekor. Tombok katok,” ujar dia.

Jinontro alias komidi putar merambah di alam pikiran pebisnis dolanan menyasar konsumen anak dan remaja, papar salah satu pengusaha lain, mulai menjamur di Solo barangkali usai perang kemerdekaan. “Itu kata simbah saya. Banyak yang memulai usaha Jinontro berasal dari Klaten. Ndak tahu kenapa justru dari Klaten dimulainya,” katanya

Sekaten memang menjadi daya tarik pengunjung asal pinggir kota. Selain ingin menyaksikan gamelan pusaka keraton, tutur Mariman, 63 tahun, asal desa Gethak dan nganterin cucu membelikan gerabah celengan dan gerabah mainan. “Tadi minta dibeliin gerabah buat pasaran dan celengan macan. Setelahnya mau naek Jinontro,” katanya.

Tak hanya komidi putar yang dilirik anak-anak dari luar kota, tapi banyak pula bocah pinggiran kampung Solo berhura-hura ingin menjajal permainan jadul itu. Lebih dari dua Jinontro berebut pengunjung ditawarkan memenuh-sesaki area seluas 5-8 m2 di area terbuka samping benteng Vastenburg, tetapi juga pelbagai mainan sejenis seperti ombak-banyu, tong-setan, kapal ‘pesiar’ othok-othok dalam baskom dan tentu saja celengan.

Setidaknya penonton wajib merogoh kocek delapan ribu rupiah sekali naik jenis permainan untuk merasakan sensasi pemicu andrenalin itu. “Kalau saya tidak berani naik Jinontro dan ombak-banyu, bisa-bisa jantung saya copot,” ujar Mariman, 63, dari desa Gethak, saat menunggu cucunya naik Jinontro.

Tak hanya Mariman yang dheg-dhegan menunggu momongannya yang rewel ngotot naik komidi putar, tetapi juga pengantri lain ketika diesel penggerak roda ngadat kehabisan bahan bakar. “Tenang bapak dan ibu, bensinnya habis. Tapi kami punya cadangan. Jangan kawatir,” kata Mursid meyakinkan calon pengantri menggunakan speaker bersuara sember.

Menurut Mursid, sejak taoke –sang pemilik usaha mainan komidi putar– mem menjelajah ke berbagai daerah di Jawa Tengah, baru kali ini tekor. Bagaimana tidak tekor, ujar dia menambahkan, biasanya setelah menancapkan besi baja berfondasi, keesokan harinya sudah bisa menjalankan komidi putar.

“Giliran sudah berhasil berdiri, bukannya banyak anak yang berdesak-desakan ngantri, malah diguyur hujan deras. Pokoke tekor kalau terus menerus hujan deras,” ujarnya menerawang (eddy je soetopo)

Previous Nonton Bekas Lahar Merapi Meleleh
Next Kacamata “Cengdem”, Ngetrend Abis!

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *