Bisnis Menyayat Ban Bekas, Mengiurkan


Keahlian menyayat ban bekas tak semua orang memiliki,

Bagi sebagian orang, yang pernah bekerja di tempat pemotongan hewan (TPH) pekerjaan menyayat kulit merupakan hal biasa dan mudah dilakukan. Tapi menguliti ban bekas, bukan perkara mudah. Meski wujudnya tak serumit anatomi binatang, berbentuk lingkaran ukuran roda truk, belum tentu semua orang dapat menyesaikan pekerjaannya dalam hitungan 3 jam.

Bedanya lagi, menguliti ban bekas memerlukan keahlian tersendiri. Selain itu pisaunya pun harus tajam, dan setiap saat harus diasah agar tidak tumpul. Maklum kekuatan perekat lem dengan karet ban dari pabrik acap lengket tercengkeram jaringan kawat dan benang khusus telah menyatu.

Potongan ban bekas pun bisa menjadi bisnis menjanjikan

Awalnya ia tidak mengira menjadi juragan penyayat ban bekas dapat berkembang. Tarjo, 57, nama pengusaha kecil, akunya, sebagai penyayat ban bekas sebelumnya tak banyak dilirik orang. Lima tahun lalu, usaha nyanyatin ban bekas tidak banyak menarik perhatian calon pengusaha embyeh-embyeh –pengusaha kacangan (red)– di sekitar Solo. Tapi ia nekat melakoninya dengan bekal nekat dengan modal awal tak lebih dari Rp.300 ribu.

Saat ini tempat “penjagal” ban bekas yang dimilikinya telah berkembang di dua tempat, di Telukan, Kampung Sewu dan di Jalan KH Maskur. Mempekerjakan delapan tukang penyat ban bekas, Tarjo, setiap harinya ia merampungkan kurang lebih 20-an ban bekas di dua tempat setiap minggunya.

Dirinya mengaku sudah 15 tahun mengeluti menjadi penyayat ban bekas kendaraan roda empat. Sebelum banyak orang melirik peluang mengerjakan, bahan ban yang akan divolcanisir itu –memperbaharui kembangan menggunakan alat modern– ia menangkap peluang itu.

Menyayat ban bekas perlu teknik melihat alur rangka kawat di dalam ban

“Dulunya tidak banyak yang tertarik blejeti ban bekas. Lantaran tidak banyak yang tahu kalau sebelum divolkanisir kembangan ban lama harus bersih. Peluang itu saya ambil,” ujarnya di temui di bengkelnya di Jalan KH Maskur, Kentingan, Jurug, Sabtu (4/11)

Meskipun tempat mencopoti kembangan ban bekas, secara otomatis lewat mesin juga ada, tetapi orang lebih senang ndandakké ke tukang penyayat ban manual. Selain ongkosnya lebih mahal bila dikerjakan menggunakan mesin otomatis, sayatan ban manual lebih kuat. Lantaran masih terdapat sisa tektur, gelombang bekas sayatan, dapat menempel bahan karet baru ban yang akan divokanisir.

“Kalau disayat dengan mesin, hasilnya bagus bersih dan licin. Tapi kata pelanggan tidak kuat. Kalau disayat masih ada sisa tekstur. Gelombang bekas sayatan tangan, itu bisa mencengkeram kembangan baru hasil vulkanisir,” ujar dia meyakinkan.

Perajin ban bekas ikut berkreasi meraup rejeki

Tarjo mengaku pelangan, menurut istilahnya hanya ndadakke, ban yang akan dikuliti tidak hanya berasal dari Solo. Selain pegawai perusahaan otobus (PO) dan angkutan truk, di Solo, ada juga yang berasal dari Sukoharjo, Klaten, Solotigo dan Sragen. Biasanya mereka membawa kendaraan bak terbuka beberapa ban bekas, kemudian ditinggal.

“Kita kerjakan mana yang dulu datang. Janjian berapa hari baru bisa diambil. Empat sampai lima tahun lalu, banyak orang ndandakke. Dulu sampai lebih dari tiga setiap hari. Sekarang pas lagi sepi.  Mungkin sudah banyak yang ikut-ikutan bisnis nyayatin ban,” ujar dia.

Ongkos mengerjakan sekali menyayat ban bekas, ujarnya bertutur, tergantung besar-kecilnya ban yang akan dikerjakan. Jenis ban truk pun tergantung jenisnya besar-kecilnya. Ban bus juga  beda ongkos menguliti.

Nguliti ban besar rata-rata dipatok sekitar Rp.50-75-an ribu sekali. Sayatannya bisa dijadikan bahan lain. Bisa dijual ke tempat pembakaran gamping. Atau tukang pembuat sandal dan kerajinan di Pasar Gembreng sana,” tutur dia. Sekali jual di tempat pembakar gamping, satu ban besar bisa sampai seratusan ribu per sayatan ban bekas ukuran truk. “Tergantung jenis ban.”

Sekarang, tutur Tarjo menambahkan, Selama menjalani bisnis sebagai tukang menguliti ban bekas, ia tak pernah putus berkeliling para pelangannya. Selain menjalin silaturahmi, katanya, juga menambah perkoncoan.

“Kalau tidak disamperin nanti takut lupa. Setahu saya, promosi paling andal, lewat mulut-ke-mulut lebih efektif. Mau pasang iklan di surat kabar, duite sopho?” pungkas dia. Daripada pasang iklan di Koran, buat bayarin anak-anak –pekerjanya setiap bulannya. (eddy j soetopo)

 

 

 

 

 

Previous Marie Curie Peraih Hadiah Nobel 2 Kali
Next Heru Mataya: “Meramu Bilah Bambu Agar Menyatu”

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *