Mereka yang Berebut Duduk di Kursi Gedung Wakil Rakyat


Terpilih menjadi wakil rakyat dalam lembaga prestisius seperti di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bukan hal yang pantas dibangga-banggakan. Lantaran memang tugas, pokok dan fungsi telah dipatok dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga antar anggota satu dengan lainnya di dalam komisi tidak bakalan saling berebut memperebutkan bidang kerja masing-masing konterpart.

Bukan hanya berebut memilih konterpart dari pengguna aturan Perda (peraturan daerah), terutama pembuat pihak pengusul dari legeslatif, tetapi juga dengan lembaga masyarakat. Semuanya telah ditetapkan persetujuan dalam peraturan baku di Badan Musyawarah (bamus) dewan. Sehingga anggota dewan tidak memungkinkan berpindah dari satu komisi ke komisi lain lantaran ‘basah’ dan/atau ‘tidak’ suatu komisi di lembaga yang menjadi wakil rakyat itu.

Sebagai Sajam (Senjata Tajam) keris masih menjadi salah satu benda cagar budaya tak benda

Sebagai contoh misalnya, seorang anggota dewan yang dipercaya duduk mewaliki di Komisi Satu ruang lingkup sebagai pendukung Kepala Daerah yang merumuskan kebijakan, koordinasi dan fungsi pelayanan administrasi kalangan opd eksekutif; tidak mungkin anggota komisi lain ikut cawe-case di dalam komisi yang telah disepakati

Tak bisa dihindari misalnya, kedudukan anggota dewan yang telah berada di DPRD lebih dari satu kali terpilih, kemudian mencalonkan dirinya kembali dan terpilih tidak mustahil berada di dalam komisi yang pernah diduduki sebelumnya. Lantaran di komisi lawas, dinilai menguntungkan bagi kocek yang bersangkutan. Meski pun gaji seorang anggota dewan, telah ditetapkan berdasarkan aturan baku dari peraturan undang-undang.

“Karena data keuangan undang-undang take home pay seorang anggota telah ditetapkan, semua ada prosedur tetap yang telah disahkan dalam pembahasan perda,” kata Ketua DPRD Solo, Budi Prasetyo, bulan lalu. Lebih lanjut Budi menambahkan, meski dirinya berada di Daerah Pemilihan (dapil) sama dengan Bacaleg (bakal calon legeslatif) ingin mencalonkan diri maju sebagai anggota dewan, dirinya tidak menghiraukan isu miring yang ditebar di media sosial. Ia menganggap penyebaran hoax dirinya merupakan hak warga masyarakat, hal itu mencerminkan proses demokratisasi saat ini. Sepanjang tidak bersifat memojokkan dan menghasut dirinya lewat black campaign jelang pemilu, ujar Budi Prasetyo, tidak memasalahkan. “Itu biasa proses demokrasi, pendewasaan diri warga masyarakat. Hanya saja, jangan sampai mencela, menyerang dan menghasut. Kalau itu namanya menjurus tindakan pidana,” katanya

Pameran tosan aji, keris sebagai warisan budaya di dalam gedung DPRD Kota Solo

Menanggapi minimnya anggota dewan perempuan yang maju mencalonkan dirinya sebagai caleg dalam Pilkada, ia menyayangkan minimnya calon bacleg mereka. Meski demikian, bacaleg yang diusulkan masing-masing partai peserta pemilu, telah memenuhi quorum 25 persen quota kaum wanita menjadi caleg di DPRD. “Quotanya telah mencukupi lebih dari 15 persen seperti penetapan UU Pemilu,” katanya, “enggak tahu mengapa kaum wanita tidak banyak yang tertarik menjadi anggota dewan.”

Menurut sekretaris Komisi IV DPRD Kota Solo, Ana Budiarti, membantah bila dikatakan tidak banyak kaum perempuan yang tertarik menjadi politikus dan menjadi anggota dewan. Bukan lantaran mereka disibukkan dengan urusan di dalam rumah tangga, tetapi memang aturan quota bagi wanita dibatasi oleh peraturan. Selain itu, menurut Ana Budiarti, bisa jadi aturan di dalam organisasi kepartaian kaum perempuan memakai saringan ketat untuk menjadi bacaleg maju sebagai politikus di parlemen.

“Tergantung dalam partai masing-masing wanita bersangkutan yang ingin menjadi bakal calon anggota legeslatif di dewan. Apakah sistemnya ketat atau terhadap calon bacaleg, atau tak diusulkan pimpinan. Meskipun yang bersangkutan telah mendaftarkan dirinya ingin maju dalam pemilihan,” katanya ditemui, Senin (20/9/23) di kantornya

Ketua DPRD Kota Solo dan wakil ketua meresmikan pers room di kantor DPRD Kota Solo

Lebih jauh Ana membantah bila keenganan kaum perempuan dikait-kaitkan penakut meniti jalur sebagai politikus di parlemen. Apalagi kalau sampai diisukan wajib urunan dana gotong-royong fulus hingga jutaan ke partai yang menjadi induk dirinya sebagai politikus. Mana mungkin anggota dewan mampu mengeluarkan duit hingga jutaan rupiah ke partai, sebagai iuran gotong-royong. “Enggak ada itu. Bisa-bisanya membuat isu kejam pada anggota dewan agar terpilih kembali,” katanya sewot, “Duitnya darimana? Apalagi jumlahnya sampai jutaan rupiah yang disetor ke partai, enggaklah.”

Meski selentingan suara anggota partai lain membelalakkan mata warga masyarakat yang pernah mendengar hal itu, toh kenyataannya hal tersebut tetap bergulir. Entah apa maksudnya, isu miring ngobral-obral duit untuk menjadi menjadi anggota dewan tetap saja bergulir. Peneliti Institute for Media and Social Studies, Eddy Je Soe, mengatakan segala kemungkinan bisa saja terjadi. Paling tidak, bila hitung-hitungan matematis, logikanya tidak selalu masuk akal bila bacaleg ngotot ingin maju dipilih wajib mengelontorkan duit jutaan rupiah.

“Setidaknya mereka –bacaleg– mengapa nekat ingin dipilih, kalau nantinya dalam hitung-hitungan matematik tidak dapat kembali modal. Sebaliknya, bila dihitung ulang, berapa gaji yang dibawa pulang’kan tidak besar. Terlepas dari tunjangan yang dikantongi setiap bulan lebih besar dari salary bulanan. Pastilah kembali modal. Sukur-sukur bisa kelebihan,” katanya

Mantan gubernur Jawa Tengah dan Ketua DPC PDI Perjuangan dalam pemaeran photo di Solo

Ditemui terpisah, ketua fraksi PDI Perjuangan, YF Sukasno menepis anggapan anggota partai diwajibkan setor ke markas kantor partai. Sepanjang dirinya menjadi anggota partai banteng, tidak pernah mendengar seorang anggota partai wajib menyetorkan duit ke kas partai. Lebih lanjut Sukasno menandaskan anggapan setor duit ke markas kantor PDI Perjuangan tidak pernah terdengar sejak dahulu. Menurutnya istilah setoran, tidak tepat dan keliru bila hal itu benar ditujukan ke partai banteng.

“Ndak ada itu istilah setor duit ke partai. Kami bukan lembaga pencari keuntungan. Setoran’kan istilah tambang cap jhie khia,” katanya, Jumat (29/9/23) di kantornya. “Kita semua tidak pernah menyetorkan duit ke partai. Kalau antar anggota partai, itu urunan gotong royong, untuk acara di satu tempat yang diadakan warga masyarakat, menurutnya lumrah. “Itukan urunan buat kegiatan rakyat, kepentingan warga.”

Senada dengan YF Sukasno, anggota partai lain dari kubu PDI Perjuangan, Paulus Haryoto, mengatakan hal yang sama. Sepengetahuan dirinya, partai banteng tidak pernah memaksakan anggotanya untuk cucul-duit menyetor ke kas partai. Ia menyatakan, keliru kalau ada orang di luar partai PDI Perjuangan menuduh anggota partai banteng, yang diikutinya bertahun-tahun itu, diwajibkan menyetor duit untuk kegiatan jelang pemilihan umum nanti.

Politisi senior dari PDI Perjuangan, YF Sukasno, meniti karir di lembaga wakil rakyat kota Solo berjuang gotong royong

“Tidak ada itu. Pasti hoax dari partai lain yang ingin menjatuhkan kredibilitas partai banteng,” katanya. “Paling banter mengeluarkan duit buat kampanye, buat kaos di dapil masing-masing anggota partai. Enggak ada kami diminta nyetor ke partai di DPC. Jelas ngawur itu orang ngomong seperti itu.”

Menurut Paulus, situasi tahun panas jelang pemilu acapkali banyak orang di luar partainya melontarkan pernyataan aneh-aneh bertujuan ingin menjatuhkan rival partai maupun perorangan bakal calon anggota dewan. “Statement seperti itu, tidak perlu dipikirkan. Buat apa ngabisin energi saja kalau ditanggapi. terkecuali kalau menyebar hoax bertujuan ingin ngobrak-abrik partai, itu lain urusannya.”

Previous Jangan Bersepeda Di Gunung Makai Parfum, Dikira bau demit
Next Kemolekan Lukisan Marshennikov Bikin Jakun Clegukan Naik-Turun

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *