Rasanya sulit dimengerti, sehabis pensiun sebagai kepala sekolah dasar (SD) dirinya terjerumus sebagai pengepul barang-barang antic rumahan. Entah berapa juta duit yang dibelanjakan untuk membeli barang tetek-mbengek porong, gelas, piring gembreng buatan pabrik tahun 60-an kini teronggok di rumah sempit samping puskesmas Pucangsawit, Kota Bengawan, Solo. Bukan hanya barang lawasan terbuat dari besi plat tebal buat tempat wadah minuman, seperti teko blirik, tetapi juga pelbagai pernahk-pernik peralatan rumahtangga berada di depan dan samping rumahnya
Tak hanya barang tergolong langka, seperti Teko Blirik dan gelas loreng hijau-putih yang banyak diburu pengumpul benda lawasan, tetapi juga kerajinan tangan ukir kayu pun menjadi koleksinya. Menurut Surip Supriyanto, sang pemburu barang lawas rumah tangga di emper rosok, dirinya mengaku duit belanjanya acapkali habis untuk membeli.
Sampai para pedagang yang berjualan barang loak pasar klitikan Notohardjo, Silir dan Banjarsari, hapal dengannya. Setelah ambil gajihan, pulang bawa barang rongsok. “Rasanya tidak komplit kalau pulang tidak bawa teko, ceret buat oleh-oleh di rumah. Bukannya seneng malah, mbok wedok, ngamuk-ngamuk, barang loakan dibeli,” ujarnya.
Meski kegiatan berburu barang bekas ke tukang loak dijalaninya hampir 15 tahun, dirinya tak bakalan menjual hasil perburuannya membeli di beberapa tempat itu. Bahkan wisatawan yang pernah berkunjung ke rumah, katanya menambahkan, ingin membeli ceret dan teko blirik biru dengan harga mahal tidak dilepasnya. Selain berburu barang bekas keperluan pawon alias dapur, Surip Hartono, tak akan menjualnya kembali bila ada yang ingin membelinya. Apalagi benda-benda tersebut di masalalu memiliki sejarah panjang dalam kehidupan keluarganya
“Soale keberadaan teko blirik dan gelas loreng biru-putih, yang ditawar wong bule, sekarang sudah tidak diproduksi pabrik lagi. Itu orang asalnya, mungkin dari Belanda, warna teko biru-putih kejayaan colonial Hindia Belanda,” ujar dia
Nah dari sejarah kolonialisme Hindia Belanda menjajah di Indonesia itulah perburuan teko dan gelas loreng blirik kini menjadi ikon perburuan para pengemar barang antik. Tidak bisa dibayangkan, berapa duit yang dialirkan mengincar teko blirik yang mewabah kembali diburu pengemar barang lawas rumah tangga. Lebih lanjut, Surip, mantan guru dan kepala sekolah menuturkan, bukan hanya teko dan perkakas rumahan, tetapi dia juga mengumpulkan Gong gamelan dan gambar pewayangan
Ternyata keberadaan teko dan gelas loreng hijau putih yang diberi nama teko blirik ini memiliki sejarah yang sangat panjang di Indonesia. Dimulai dari sebuah simbol ‘’kejayaan’’ kolonialisme HIndia Belanda, lalu menjadi bentuk perlawanan petani, sampai kini justru menjadi ikon dan barang antik jadi buruan penggemar barang antic, kini jarang ditemukan lagi.
Menurut desas-desus, di tempat wedangan Ngesus, keberadaan teko dan gelas blirik diproduksi tahun 1830 saat gegeran perang Diponegoro berakhir. Menurut sejarah dari mulut-ke-mulut, perang terlama antara 1825-1830, para pegawal Diponegoro sewaktu berangkat bertempur, selain membawa keris, mereka juga nyangking minuman teko blirik biru-putih, biar Belanda kalah.
“Entah siapa yang buat cerita sejarah aneh-aneh seperti itu, tak banyak penelitian mengungkap hal itu.” Senyampang dengan cerita Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan Belanda, pasukan menyebarluaskan identitas keberadaan teko dan gelas blirik menjadi identitas kemenangan Belanda menguasai tanah Jawa. Apapun cerita-cerita mistis yang menelingkupi keberadaan benda-benda yang dibelinya, menyejukkan seisi rumah tangganya.
Selepas disekolahkan mempelajari hal-ichwal tatanan kehidupan agama di sekolah katekistik guru agama katholik, di Madiun, ia tidak mempercayai hal-hal supranatural dunia perklenikan. Itulah sebabnya jalan hidupnya tetap diabdikan sebagai guru agama katolik di SD Negri Badran, hingga pensiun sebagai kepala sekolah. Jarang ditemui guru agama, sampai meniti jenjang karir pensiun hingga bulan lalu. “Apalagi yang dicari, kedua anak saya sekarang mentas semua. Satu diterima bekerja di luar negeri untuk mempelajari kendaraan listrik di Jerman.”
No Comment