Teror dan Mistisisme Siaran Televisi Indonesia


Seorang rekan wartawati blasteran Rusia-Vietnam, mengaku pemeluk Katholik Orthodok, dalam suatu perbincangan di tempat pelatihan First Aid for Journalist at the Conflict Area, di Baras, usai mendiskusikan percobaan Cup’de Tat terhadap pemerintahan Presiden Arroyo di Hotel Manila Penesula di Makati, Philipina beberapa waktuj lalu, mengaku merasa risau dengan semakin banyaknya aksi kekerasan yang meregut nyawa manusia.

Setelah ngalor-ngidul memperbincangkan persoalan politik, ekonomi dan budaya masing-masing negara, dengan menggunakan bahasa gado-gado Ingris-Rusia, entah ingin ngeledek atau tanya beneran, ia menanyakan, “Benarkah di negaramu banyak hantu bergentayangan, sehingga televisi gemar menayangkan acara ghost buster?” Lama saya tercenung membiarkan bibir sexy nyerocos tak terkendali. Entah terpesona cara mencecar pertanyaan kepada saya, ataukah gerak bibirnyalah yang menyebabkan pertanyaannya lama tak terjawab. “Maaf, apakah mas Jawa masih mau mendengarkan pertanyaan saya,” katanya lembut membuyarkan alam pikiran khayal tak tentu arah itu.

Dalam hati rasanya ingin berteriak, “Celaka tigabelas, matilah awak sekarang.” Sebab, sewaktu kami bertemu delapan tahun lalu di Hanoi, saya sempat mengajukan pertanyaan konyol padanya: “Ngapain kamu begitu taat menjalankan ibadat agama, sedang di negaramu, mayoritas orang tidak beragama?” Apa jawabnya? ”Mana lebih baik, tidak beragama tetapi tidak berbuat dosa; ataukah mengaku beragama tetapi sering membunuh, menebar bom, korupsi uang negara dan lebih percaya penampakan setan daripada kekuatan kuasa Tuhan?

Kata-katanya jelas memerahkan kuping, dan membangkitkan nasionalisme-puritan —fuih sok nasionalis— menyebabkan nafas saya tersengal-sengal menahan marah. Tetapi tidak tahu harus beradu-argumentasi seperti apa, tiwas kalah. Mau menyangkal tidak mungkin, wong kenyataannya memang seperti itu. Ibarat main tinju, pertandingan menjadi tidak seimbang. Serangan taktis berbagai pertanyaan disertai fakta tak terbantahkan mencecar bak petinju profesional yang melayangkan upper-cut menyilang dan meng-knock out-kan tubuh sehingga semampir- ngegelesot di sudut ring tak berdaya.

Sebenarnya pertanyaan yang ia lontarkan merupakan partai tunda debat beberapa tahun lalu, di sebuah negeri yang pernah terkoyak perang dan melahirkan wartawati ‘tahan banting’ berparas ciamik dan selalu menaruh syak-wasangka kepada setiap orang tak dikenal. Itulah sebabnya, ketika ia membatalkan niatnya berkunjung ke Jakarta, menyebabkan perasaan saya terharu-biru oleh alasan yang sebenarnya tak perlu saya perdebatkan.

“Maaf saya batalkan niat bertandang ke negerimu,” ujarnya. “Bukan perkara takut bom. Kalau soal bom, bukan barang asing bagiku, tapi persoalan prinsip: tabu menonton tayangan TV pemburu hantu dan publict expose bom bunuh diri. Sungguh sangat tidak masuk akal terjadi di sebuah negara yang mengaku beradab dan mayoritas rakyatnya pemeluk agama,” sergahnya.

Nah, kalau persepsi seorang wartawati mancanegara seperti itu, “so what gitu lhoh!” Bagaimana kita dapat menjawab, pertanyaan usil seperti, misalnya: “…bisakah kamu jelaskan bagaimana jalan pikiran seseorang yang dengan gagah-berani menarik timer bom bunuh diri, dan mengakibatkan orang lain tak berdosa juga ikut tewas? Bukankah mayoritas bangsamu pemeluk agama? Jangan-jangan itu imbas tayangan kisah misteri di stasiun swasta televisi di negaramu. Semua jadi irasional!”

Disadari atau tidak, acara-acara tayangan televisi berbau misteri memperburuk pencitraan terhadap karakteristik budaya timur di mata orang barat, terutama bila dikaitkan dengan praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dan masih terlekati budaya mistik. Tidaklah mengherankan bila pandangan demikian mendominir dan sekaligus mengherankan jalan pikiran wartawati ahli filsafat timur lulusan Saint Petersburg yang dibesarkan di negeri ateistik.

Bukan tanpa alasan bila banyak orang berpandangan bahwa penghuni belahan bumi timur yang mististik berbeda dengan barat yang positivis-rasionalistik. Para pemikir barat, beranggapan bahwa agama di belahan timur masih beraura phantheis, meski tersimbolisasi monistis. Dengan demikian tidaklah mengejutkan bila pengikut agama di belahan timur seperti di Indonesia, acap tetap terstigmatisasi sebagai agama mistisisme. Apapun bentuk penyangkalan terhadap stigma yang telah telanjur divonis oleh para pemikir dan cendekiawan barat, mereka tetap berpendirian: pemeluk agama kesambet mistik.

Masih lekatnya cara pandang demikian, tidak dapat lepas dari pengamatan impiris mengenai praksis keagamaan yang dihayati, secara sadar atau tidak, terdapat banyak praktik-praktik mistik dalam ritual keagamaan seperti di Jawa. Asumsi yang tertancap dalam di benak para pemikir barat tentang praktik keagamaan yang harus terpisahkan antara ritual langsung ke Yang Ilahi tanpa perantara, dan ritual yang acapkali tercampuri dengan unsur ataupun simbul-simbul mistis di luar keillahian, merupakan sesuatu tak tertawarkan dan masuk akal dalam perspektif kacamata bule.

Dengan pemilahan tersebut, agama menurut pengertian Tylor, sebagai keyakinan terhadap sesuatu yang sifatnya spiritual, terdistorsi oleh pandangan yang hanya melulu melihat bentuk ritual semata dan mengabstraksikan pemahaman terhadap agama ke dalam pembeda berdasar: agama wahyu dan agama mistik. Sama halnya dengan Tylor, teolog Paul Tillich berpendapat bahwa mistisisme tidaklah irasional. Ia mencirikasi mistisisme sebagai sebuah kategori, terutama saat bersinggungan non-ragawi, berdasar pengalaman tak tersentuh, terlukiskan dan ekstasis.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dapatkah mistisisme, dikaji secara ilmiah, sehingga pertanyaan tandas rekan saya tadi dapat saya jelaskan dengan clear tidak kusut. Sekusut tayangan-tayangan TV dalam acara Kismis dan perilaku anarkisme-brutal dengan dalih keyakinan agamawi. Sungguh sangat absurd, ketika saya harus menjawab pertanyaan nakal misalnya, “…bisakah kamu jelaskan bagaimana mungkin orang berani-mati untuk tujuan keyakinan agama yang diyakininya benar dan membunuh semena-mena tidak disebut atheistik?”

Menurutnya, di negara yang pernah terjajah, pendekonstruksian ruang privat bukan mustahil dikreasikan oleh bangsa yang tidak menyukai kompromi untuk suatu tujuan absurd sebuah kehidupan lain yang kekal di akherat. Mungkin pendapat itu bisa diterima sepanjang pelaku bom-bunuh diri itu nekat mau mati sendiri —kalau hanya demi mengejar kebahagian dirinya di akherat. Logika warasnya tidak akan mengajak paksa mati orang lain yang tidak berdosa, mati bersama dengan dalih keyakinan semata. Bukankah hal seperti itu merupakan dogmatisme mistisistik? Да.

Direktur Eksekutif Institute for Media and Social studies (IMSS)

(Direktur eksekutif Institute for Media and Social Studies), pernah bekerja sebagai peneliti di pusat studi biomedis dan reproduksi manusia, pusat studi kebijakan keluarga sejahtera di BKKBN Pusat. Mantan jurnalis grup Kompas Gramedia, Voice of Human Right, pernah mengikuti pelatihan jurnalistik investigasi di Manila, dan Bagkok dan di Vietnam

Previous Milih Makai High Hill atau Nyeker Pakai Sandal Jepit
Next Dimasa Pagebluk Virus, Jualan Angkringan Heik Serba Murah

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *