Mengenang Pramoedya Ananta Tour, “Siapa Kau Sebenarnya?”


Sastrawan Pramoedja Ananta Tour karyanya diakui dunia

Setelah menderita komplikasi beberapa penyakit, akhirnya Pramoedya Ananta Tour novelis, sastrawan handal Indonesia yang namanya masyur di pelbagai negara Senin, 30 April 2006 meninggal dunia di usia 81 tahun. Pram, demikian ia kerap disapa para koleganya, meninggal tak lama setelah ia memetik kemenangan melawan kediktatoran penguasa negara.

Hingga ajal menjemputnya, Pram bahkan belum sempat menjawab pertanyaan, ”Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau kehendaki?” ketika ia berumur 24 tahun dipenjara di Bukit Duri dan tidak diberi makan selama empat hari oleh pemerintah Belanda.

Pada waktu, papar Pramoedya dalam rekaman Encyclopedia.com, ia menolak kerja paksa yang diberlakukan penejajah Belanda. Karena ia tetap tidak mau melaksanakan kerja paksa, Pram kemudian dimasukkan Belanda ke sel di Bukit Duri. Tahanan buat kaum republiken yang dicampur penjahat. ”Saya dimaksukkan ke sel yang kemasukan asap dari dapur dan diancam diberi makanan yang jelek sekali,” katanya. ”Kalau  ransum makanan diantarakan melalui bawah pintu sel, saya tndeng keluar.”

Kontan saja tindakan Pram yang menendang ransum membuat sipir penjaga sel tahanan murka. Ia lantas diganjar hukuman tambahan, tidak diberi jatah makan. Selama empat hari pram tidak memperoleh makan dan minum di dalam penjara. Sipir Belanda juga mengawasi gerak-gerik Pram di dalam maupun di luar penjara.

Ketika dipaksa melakukan pekerjaan di Pulau Buru, diharuskan mengikuti kerjapaksa

Dalam kondisi perut tak terisi selama empat hari, papar pengarang yang bukunya diterjemahkan ke 31 bahasa di dunia itu, melakuan semedi menghadap dinding penjara. ”Kemudian dari dinding itu keluar macan, seolah-olah mau mengoyak-ngoyak tubuh saya. Kemudian saya bilang: ’saya tidak takut sama kau. Bunuhlah kalau mau bunuh.’ Setelah itu macan itu menghilang. Mungkin karena saya lapar itu ya. Kemudian terdengar lagi suara, ’Siapa kau sebenarnya kau dan apa yang kau kehendaki.’ Pertanyaan itu yang sampai sekarang saya tidak dapat menjawab.”

Melacak jejak perjuangan Pramoedya Ananta Tour ibarat napak tilas para pejuang pena peraih penghargaan Nobel seperti Boris Leonidovich Pasternak, penulis buku laris Dr. Zhivago yang buku-bukunya dilarang pemerintah Rusia. Nama Pram bisa pula disejajarkan dengan Smuel Backett pemenang Nobel yang dinilai membawa perubahan bagi perkembangan dunia sastra dan drama modern di negara bergejolak Irlandia.

Wajah Pramoedya Ananta Tour semasa masih muda dalam gerakan bawah tanah (cortesy wikipedia)

Setelah lepas dari penjara Buru, sayangnya singa tua itu justru kembali ke belantara maya, meninggalkan coleganya yang ia semangati secara intens untuk memperjuangkan prinsip universitalitas tatanan dunia. Mestinya, Pram, sang novelis dan sastrawan handal yang pernah dimiliki Indonesia itu, tinggal memetik perjuangan yang ia yakini benar itu dengan suka-cita. Tapi kehendak Ilahi tak mungkin ditampiknya.

Semasa hidupnya Pramudya acap bersuara lantang menentang segala bentuk penindasan dan kesewenangan pemerintahan Orde Baru yang pernah memenjarakan tanpa ia ketahui kesalahan yang pernah dibuatnya. Di hari tuanya, sebelum ajal kematian menjemput dirinya, pemerintah Perancis menghadiahi medali kehormatan atas jasa-jasanya terhadap kerja budaya yang pernah dilakoninya tanpa lelah.

Minggu 6 Februari tahun lalu, sejumlah kolega Pram berkumpul di The Pakubuwono Residence, Kebayoran Baru, melakukan acara tumpengan, memperingati ulang tahun ke-80 sastrawan besar, Pramoedya Ananta Toer atau yang akrab disapa Pram. Meski suka cita tergambar dari suasana acara yang terkesan mewah waktu itu, tak satupun terlihat sastrawan seangkatan Pram yang hadir. Kecuali beberapa seniman senior seperti Titiek Puspa dan Putu Widjaja, hampir semua yang hadir adalah anak-anak muda seangkatan Eka Budianta atau artis Cornellia Agatha yang tak mengalami masa pertentangan Lekra dengan Manikebu, dua organisasi pada masa Pram muda dulu.

Pramoedya yang lahir di Jetis, Blora, 6 Februari 1925, lepas dari prokontra mengenai dikaitkannya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dia adalah sastrawan Indonesia yang paling dikenal di seantero dunia saat ini. Terbukti dari puluhan karya-karyanya sering dibahas, diterjemahkan serta di terbitkan dalam berbagai bahasa.

Buku karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang ditulisnya di dalam penjara di Pulau Buru

Bahkan, beberapa kali masuk dalam nominasi penerima hadiah Nobel bidang sastra. Dan Pram, juga sering diundang oleh para penggemar karya sastra bukan di Indonesia, tetapi di negara-negara Barat. Penyelenggara forum diskusipun juga bukan dari negara komunis sebagaimana ia selalu dikait-kaitkan berhaluan komunis. Penghargaan yang diterimanya Pram dari berbagai institusi atau organisasi negara asing, memang tidak selalu diterima dengan mulus di negeri yang pernah menyiksanya. Tak jarang dia mendapatkan reaksi keras bahkan penolakan dari sastrawan yang dulu berpihak pada Manifesto Kebudayaan (Manikebu), sebagai lanjutan dari reaksi pertentangan dua kelompok seniman dan sastrawan yang saling berseberangan paham hampir setengah abad itu.

Sepanjang catatan, Pramoedya pernah beberapa kali masuk dalam nominasi penerima hadiah dan penghargaan bergengsi dunia. Pram pernah dinominasikan memperoleh penghargaan Nobel pada tahun 1980, PEN American Center pada tahun 1988 dan Penghargaan Magsaysay pada tahun 1995 untuk Jurnalism, Literatur Communications Arts. Sebagai sastrawan besar, Pram yang telah banyak makan asam garam dalam kehidupan, juga pernah terlibat memanggul senjata ketika revolusi melawan penjajah Belanda berkecamuk di bumi pertiwi. Garis tangan berubah, saat pecah G30-S/PKI pada tahun 1965, dia ditahan selama empat belas tahun sebagai tahanan politik.

Penghargaan internasional akhirnya diterima Pramoedya Ananta Toer

Di dalam kamp tahanan itu, Pram banyak menghasilkan karya-karyanya fenomenal seperti Serial Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Sang Pemula, Gadis Pantai, dan yang terakhir, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Karya-karyanya  yang lain juga seperti, Arus Balik, selesai ditulisnya pada 1974 dan baru diluncurkan pada Agustus 1995 bertepatan dengan perayaan 50 Tahun Indonesia Merdeka.

Sebelum diterbitkan penerbit Hasta Mitra, sejak awal Pram mengetahui kalau buku-bukunya tak bakal memperoleh izin edar di pasar. Apalagi semasa rezim saat Soeharto masih berkuasa. Rumah Kaca, Sang Pemula, Gadis Pantai –diterbitkan pertama kali oleh CV Muda Karya tahun 1988– bahkan dilarang beredar berdasarkan surat yang di tandatangani oleh Jaksa Agung Sukarton. Begitu juga dengan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang hanya sempat beredar tiga bulan kemudian di larang dan di tarik dari peredaran.

Tahun 1981, Bumi Manusia kembali masuk sebagai nominasi penerima Hadiah Nobel untuk kesusastraan. Isu hadiah itu rupanya membuat banyak sastrawan di tanah air menjadi gerah. Sebenarnya, di balik kegerahan itu, terkandung pengakuan akan kebesaran Pram sebagai sastrawan yang belum ada tandingannya di negeri ini. Tetapi, sisa-sisa dendam dan pertentangan pada Lekra, memaksa mereka melawan Pram yang pernah menjadi wakil ketua bidang sastra organisasi yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kini setelah hampir lebih setengah abad telah berlalu, orang masih meragukan makna dan arti kemerdekaan. Sebab, apakah sastrawan kita memang benar-benar bebas dari pengaruh Lekra dan Manikebu? Yang jelas, Pram sebagai tokoh Lekra tetap mendapat perlawanan dari kelompok Manikebu walau di luar negeri dia selalu disanjung sebagai sastrawan besar. Cornell University, misalnya, mentasbihkan Pram sebagai Indonesia’s Greatest Living Author.

Bahkan ketika dia dipilih oleh PEN American Center menjadi kandidat penerima penghargaan tahun 1988 serta hadiah uang senilai USD 3.000, dia malah mendapat kritik dan serangan dari mereka yang dulu pernah memusuhinya. Lawan-lawan Pram di masa lalu memprotes PEN American Center dan meminta lembaga itu untuk menilai kembali kredibilitas Pram secara utuh. Dalam surat protesnya, ketika Pram aktif di Lekra dulu, banyak penulis kehilangan kebebasan untuk menulis karena tekanan Lekra. Karena itu, Pram dinilai tak berhak atas penghargaan tersebut.

Kantor berita Reuter pernah memberitakan, serangan terhadap Pram itu dilakukan oleh sekelompok orang dengan muatan opolitik tertentu. Pram memang menjadi bahan berita empuk sejak berada di Pulau Buru. Pernyataannya banyak ditulis pers asing, termasuk media berbahasa Prancis, yang diterbitkan oleh sebuah lembaga di bawah payung PBB, Diplomatique. Di situ dia mengaku, dirinya bukan penganut komunis.

Ketika tahun 1995 saat Pram terpilih sebagai penerima penghargaan Magsaysay, pemerintah kembali bimbang. Pram akhirnya tidak diberi izin berangkat untuk menerima hadiah bergengsi di kawasan Asia, Magsaysay, dari pemerintah Philipina. Pasalnya, dua bulan sebelumnya, buku karya Pram, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, dilarang beredar di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan Menteri Pertahanan ketika itu, Jenderal Edi Sudradjat, menegaskan, Pramoedya belum diizinkan  pergi ke luar negeri.

Tidak hanya pemerintah rezim Orba yang melarang kepergian Pramoedya ke luar negeri untuk menerima penghargaan Magsaysay di Philipina. Sastrawan se kelas Mochtar Lubis pun juga angkat bicara dan bereaksi keras akan mengembalikan penghargaan Magsaysay Award yang pernah diterimanya dulu, jika Pramoedya juga menerima hal serupa dari pemerintah Philipina. Hingga akhir hayat kedua sastrawan terkemuka Indonesia, Pramoedya-Mochtar Lubis, masih tetap memendam rasa bermusuhan. Belum pernah terjadi dialog yang penuh kebesaran jiwa antara kubu yang berseteru Manikebu dan Lekra dalam ranah dunia sastra. Mereka tetap berseteru, meski keduanya bisa saja berdiskusi di nirvana menyoal pertanyaan pram yang belum terjawab: Siapa Kau Sebenarnya (tim indepth / eddy je soe editor)

Previous Jangan Menyulut Sumbu Pendek Aktivis Solo Ntar bisa Mengamuk
Next Akankah Aktivis HAM Dalam Bahaya?

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *