Entah siapa yang mbancaki jajanan rakyat dari singkong yang ditumbuh pipih beralih nama dari sermier menjadi Romeo. Tak banyak yang mengetahui. Lantaran di dinas yang menangani mengawasi produk rumah tangga pun tidak memiliki catatan penggantian nama jajanan lawas. Bisa jadi nama sermier, di lidah wong bule sulit diucapkan sehingga dilapalkan menjadi romeo. Harap maklum nama Romeo lebih gampang diingat dan dilafalkan mirip dengan nama kisah film Romeo-Juliet. Bisa jadi. Terlepas udreg-udregan mencari asal nama asli sermier, sebenarnya yang pantas dilacak jejak kerupuk sermier itu kini mulai menghilang. Entah hilang lantaran diculik pemborong atau tak banyak lagi diproduksi, entahlah
Banyak orang menyebut jajanan asli ndeso itu kerupuk, padahal berbeda bahan baku dan cara membuatnya, hingga tidak tepat disebut krupuk. Lebih tepatnya yach cuma sermier dan bukan nama kelondo-londoan disebut Romeo. Apapun sebutannya sermier aslinya berbahan baku singkong yang digilas –meminjam istilah orde baru- dengan botol sehingga menjadi pipih tipis. Proses pembuatannya pun tidak ujug-ujug bisa langsung dijual dalam kemasan plastic, tetapi bisa mencapai dua hari telah dikemas dalam pembungkus plastik rapat kedap udara.
Namun bila kalian kangen ingin menjajal jajanan kemriuk, pergilah ke sentral pembuat sermier di ndeso Wonogiri atau di desa Wantilgung Kecamatan Ngawen, Blora. Di dua desa lain tempat itu bisa dipilih berbagai jenis sermier dalam kemasan plastic modern atau cuma ditenteng menggunakan tas kresek. Menurut Wardjito, pedagang pasokan pedagang eceran yang mangkal di terminal pasar Wonogiri, mengaku saat ini harga sermier melonjak-lonjak tak menentu. Tergantung pedagang yang menjual langsung ke pasar di kota. “Kalau dari pengepul, seperti saya, ada enak-nya didatangi pedagang, jadi ndak perlu tawar-menawar. Langsung diborong makai tas kresek,” ujarnya ditemui sehabis belanja bahan baku sermier di pasar Legi.
Dianya mengapa harus membeli bahan baku singkong sampai ke kota Solo di Sar Legi? Sambil prengas-preges, dia hanya mengatakan sambil kulakan bahan lain buat dijual di desa. Menurutnya meski tanaman singkong banyak dipasok dari Wonogiri, tetapi ada juga yang memasok dari daerah Boyolali atau kabupaten lain. Jadi ujar dia menambahkan, dirinya bisa menghitung keuntungan dan kerugian bila tetap bertahan sebagai pemasok sermier asal dari desanya. “Anggap saja saling mendukung penjual dan pembeli pasokan,” katanya ndak jelas karepe opho
Sebagai pengepul bahan pembuat sermier, Wardjito sangat hapal cara pembuatan sermier. Menurutnya hal yang penting saat membuat bahan baku melihat cuaca terik menyengat. Selain biar cepat jadi dan keringnya merata, bila telah kering dan dimasakpun tidak mengisap minyak. Cara menggorengnya Sermier juga memerlukan teknik. Jangan sampai setelah dijemur, kering menggorengnya kurang minyak sehingga bahan dan bumbu-bumbu yang telah cercampur tidak meresap. “Memang perlu kepintaran bakul cara menggoreng bahan sermier. Kalau bahannya tidak tercelup kerendam minyak, nanti jadinya mbagel. Sebaliknya bila kekurangan minyak, sulit matang kering,” katanya.
Bisa jadi kedatangan Wardjito belanja bahan baku pembuat sermier, tentu ada kaitannya dengan bumbu penyedap, bawang, merah-putih, dan tumbar maupun daun bawang. Pantes saja, Wardjito mruput –datang pagi sekali– ke Pasar Legi lantaran harga-harga kebutuhan dapur di pasar lawas itu miring bila dijual kembali. “reregan di sini miring sampai gulung-koming. Jadi kalau mau makan sermier ndak usah koming, cari saja ke penjual eceran atau pemasok di pasar-pasar tradisional.” Kalau mase ingin jadi pengepul sermier, tak kasih Rp.27 ribu satu kemasan kresek, mau ndak. Nanti dijual kalau pas kampanye saja Rp.30 kan masih untung. Kalau ingin dapat keuntungan besar, jadi koruptor saja.” Mbuh pak sekarepku
No Comment