Pong-pongan Warna-Warni Digemari Anak


Memulai bisnis kecil tidak memuat mahasiswa ini rendah diri, yang penting halal.

Meski pun berstatus mahasiswa Universitas Muhamadiyah Surakarta (UMS), jurusan Agama, Arif Perdana, 22, asal Donoyudan, Boyolali, sekarang tak merasa canggung meladeni anak-anak dan remaja centil menawar dagangannya.  Apalagi, dagangan Arif bukanlah jenis jajan pasar layaknya pebisnis lain di Car Free Day (CFD) di Jalan Slamet Riyadi, Solo, tetapi mainan anak-anak.

Arif menggelar binatang Pong-pongan alias keong atawa kalangmang (bahasa Sunda) setiap hari minggu di CFD.  Menurutnya dagangan yang dijualnya bukan jenis Pong-pongan biasa, tetapi telah disulap menjadi berwarna-warni. Menurutnya, jualan mainan anak, bisa menjadi samben menambah penghasilan untuk biaya bayar kuliah. Apalagi kegemaran anak kecil yang senang melihat pong-pongan, tentu orang tuanya akan membelikan mainan yang tidak berbahaya itu.

Menambah warna di cangkang pong-pongan membuat anak senang

Awalnya Arif tidak tahu kalau bisnis yang digelutinya dapat menghasilkan duit Rp 600-700 ribu perbulan. Pasalnya, sebagai pemuda pinggiran bersama 3 saudaranya yang tinggal di wilayah Utara Kabupaten Boyolali, ia kebingungan untuk meneruskan pendidikan lanjutan seusai SMA.

“Maklum keluarga saya bukan dari keluarga mampu. Jadi sewaktu mau masuk kuliah, saya bingung dapat duit dari mana. Terus ada teman nawari jualan Pong-pongan,” ujarnya.

Tawaran itu bukan lantas disabetnya. Ia berpikir keras bagaimana cara memasarkan dagangan binatang yang senang nyungsep di pasir itu. Menurut Arif, dirinya cukup lama mengambil putusan menerima tawaran atau tidak dari temannya. Padahal tidak perlu modal besar.

Orang tua dipastikan akan membelikan mainan untuk anaknya, “ini bisnis menyenangkan.”

“Mungkin lebih dari 2 minggu saya mikir. Yang saya pikirkan cara menjual binatang merangkak itu dimana. Setelah saya pertimbangkan, kemudian saya nekat. Awalnya saya jual di tempat keramaian. Tidak laku. Kemudian beralih tempat ke sekolah-sekolah,” katanya, minggu lalu.

Arif mengakui sebelum memasarkan Pong-pongan ke sekolah-sekolah, dirinya canggung berhadapan dengan calon pembeli. Apalagi yang dihadapi bukannya orang dewasa, tetapi lebih banyak anak-anak. Agak susah meladeni pembeli anak-anak. Meski potensi dagangan yang dibawanya akan ludes terjual.

Mengajari anak dengan mainan sederhana, tidak berbahaya, dan mencintai lingkungan

“Jelas akan dibeli. Kalau anak-anak sudah kadung seneng. Tapi agak canggung juga. Apalagi, kalau tidak dikasih, kadang keesokan hari dia bersama ibunya. Serba repot,” ujar dia. Hanya saja, kalau di sekolah Pong-Pongan berwarna-warni tidak begitu disukai. “Anak-anak lebih senang tidak berwarna. Karena harganya lebih murah.”

Setelah mengetahui pangsa pasar bisnis binatang yang dapat hidup 20 tahun memiliki prospek menjanjikan, ujar Arif lebih lanjut, ia mulai menambah kelengkapan dagangannya dengan menjual rumah-rumahan. Agar lebih menawan dan kelihatan cantik bila digelar di jalan, katanya beralasan, makanya ia berani jual rumah Pong-Pongan.

“Kalau binatangnya laku, kemungkinan besar anak-anak juga melirik rumah-rumahan. Itu pun barang dagangan dari teman. Saya Cuma menjualkan. Tidak ada waktu. Ini sambil jualan, saya bawa buku bacaan. Kalau sepi nyambi baca-baca,” ujarnya.

Menurut Arif, harga Pong-pongan tidak sama. Tergantung dari besar-kecilnya binatang yang telah diberi warna. Harga binatang kecil dibandrol Rp.5000 per tiga ekor. Sedangkan yang agak besar harganya Rp.10.000 per tiga ekor.

“Sedangkan Pong-pongan yang tidak berwarna lebih murah. Yang mahal itu, proses kreatif mewarnai dan member gambar bermacam-macam,” tutur dia berpromosi. “Satu kaleng Pong-pongan ukuran sedang harganya Rp.70 ribu. Isinya sekitar 200 ekor.” Saat ditanya tidak malu berjualan?  “Buat apa malu. Saya dagang dengan halal. Kalau korupsi, baru malu. Kan untuk biaya kuliah.” (eddy j soetopo)