Jangan bilang mencabut kehidupan seseorang dan dianggap tidak akan menimbilkan rasa sakit atau katakanlah minimal sekali, di beberapa negara dianggap relevan dilakukan. Biasanya diberi suntikan atau obat yang dapat menghentikan detak jantung permanen alias meninggal dunia. Lantaran itulah euthanasia acapkali disembunyikan oleh keluarga atau orang-orang dibawah perintah agar kematiannya tak terdengar. Sesunyi mungkin. Bisa jadi korban dan keluarganya akan berusaha menjaga kematian ‘takwajar’ bila euthanasia perlu dilakukan, dengan tujuan tertentu.
Lantas pertanyaannya kemudian, siapakah sebenarnya yang berhak menentukan hidup-mati seseorang di jagad ini? Perdebatan menarik, dan pantas direnungi kembali, baik secara moral agama para penganut atau hak azasi apakah hingga sang pengambil keputusan memvonis pencabutan nyawa seseorang. Sebelum mengkaitkan dengan persoalan agamawi, ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu terkait dengan aturan hukum di berbagai tempat.
Memang tidak ada kesepakatan pasti di tiap negara menyangkut penjatuhan vonis Eutanasia pada seseorang, berbeda-beda. Perubahan norma budaya maupun dayadukung peralatan pencabut nyawa sesorang pun tidak sama satu dengan lainnya. Termasuk kesiapan, misalnya dalam merawat atau melakukan Tindakan medis, di rumah sakit. Di beberapa negara euthanasia dianggap legal, sedang di negara-negara lain tetap dianggap melanggar hukum azasi seseorang. Persoalan menjatuhkan vonis euthanasia, lantaran ada sebagian orang di negara tertentu, masih dianggap melanggar kekuasaan sang pencipta, namun ada pula yang beranggapan tidak masalah bila hal itu dilakukan untuk melindungi nyawa seseorang lainnya. Meski demikian anggapan keliru semacam itu pantas dipertanyakan legalitas kepreposionalnya sebagai tenaga medis kedokteran. Apakah tindakan memberi suntikan ‘pengantar’ ke dunia lain telah mendapat izin dari keluarga dan telah menandatangainya. Atau adakah alternatif lain untuk mempertahankan hidup pasien tanpa terbebani materi keuangan, sebagai pilihan-pilihan sulit.
Lantaran menyangkut nyawa seseorang dan sensitifnya isu eutanasia, pembatasan dan prosedur ketat harus dan wajib diterapkan tanpa memandang status hukum terlebih dahulu. Selain itu perlu pula ditinjau cara pelaksanaan eutanasia apakah termasuk golongan eutansia agresif, non agresif atau bahkan tergolong pasif. Kadar moralitas bentuk pelaksanaan euthanasia satu dengan yang lain tentu berbeda. Euthanasia agresif misalnya, bisa tergolong sebagai Tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Tindakan euthanasia agresif bisa saja dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun suntikan. Sebagai contoh misalnya memberikan senyawa mematikan, seperti tablet sianida
Meski masih terdengar ingar-bingar penjatuhan vonis mati terhadap seseorang, siapa yang sebenarnya patut disalahkan, terutama dibidang medis, toh kenyataannya ada pula seorang pasien menolak secara tegas dan sadar perawatan medis. Meskipun mengetahui penolakan justru akan memperpendek daya tahan hidupnya atau meningeal dunia secara otomatis. Model penolakan seperti itu bisa saja terjadi, di dunia medis disebut autoeuthanasia alias euthanasia non agresif. Kondisi hal seperti itu, biasanya sipasien diminta mengajukan secara resmi pernyataan tertulis tangan atau disebut sebagai sebuah “codicil” euthanasia non agresif sebenarnya dasarnya suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
Nah banyak hal yang sebenarnya perlu dan penting diketahui, terkait masalah euthanasia entah pasif ataupun negatif. Terutama mengetahui penyebab penjatuhan vonis mati pada seorang pasien. Lantaran euthanasia pasif bisa dikategorikan sebagai Tindakan euthanasia negative tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Tindakan euthanasia pasif sering kali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang mestinya dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja.
Beberapa contoh kasat mata bisa dilihat tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberi antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang mestinya dilakukan. Selain itu pemberiaan obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat “pernyataan pulang paksa”. Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.
No Comment