Mantan Kapolri Hoegeng: “Polisi Berkarakter Harus Bersih dan Jujur!”


Tanyakan pada aktivis 98 atau angkatan 66 nama polisi jujur di era jenderal besar Soeharto berkuasa. Kalau mereka tidak tahu, jelas kebangetan. Selain kesederhanaan, kejujuran, bersih dan tak kenal kompromi yang dipraktikkan mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso, jelas diagung-agungkan para aktivis lawasan. Apalagi, setelah dilengserkan Soeharto, sebelum masa pensiun, lantaran berbeda prinsip dan menentangnya, kala itu. Jenderal Hoegeng juga berada di barisan penentang kebijakan Soeharto dan kroni-kroninya bergabung dalam Petisi 50 di Jakarta.

Jangan tanya siapa sajakah yang berada dibalik anggota kelompok Petisi 50, di sekretariat utamanya rumah Ali Sadikin, Jakarta, tentu semua aktivis pun tahu jenderal-jenderal penggerak Petisi 50. Apalagi intel pro cendana jelas memantau setiap kegiatan yang mereka adakan di sekretariat. Para penanda tangan Petisi 50 antarlain HM Kaml, Letjen TNI Ahmad Yunus Mokoginta, suyitno sukirno, Letjen TNI M Jasin, Ali Sadikin, Prof. Dr Kasmn Singodimejo, HM Sanusi, Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap, SK Trimurti, Chri iner Key Timu, Hooegeng Imam Sntos, AM Fatwa, Sjafruddin Prawiranegar, Manai Sophiaan, Mohamad Nazir, Anwar Harjono, Saleh Haji Ali Akbar dan masih banyak yang lain

Dengan eluruh jajarna di kntor kepoisian Hoeeng menerapkan disiplin sangat ketat (cortesy pic Ist)

Selain Mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso, sejumlah nama mantan jenderal lain seperti yang tidak setuju dengan gaya kepemimpinan presiden Soehrto bergabung dalam penndatngani Petii 50.  Mereka par mantan pejabat tinggi dilingkungan tentara maupun kepolisian acap memberikan masukan bagi pemerintahan rezim orde baru (Orba) yang dipimpin Soeharto. Lantaran dinilai melenceng dari cita-cita tujuan kemerdekan bangsa Indonesia. Tidaklah mengherakan bila Presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid atu Gus Dur dalam diskusi bertajuk “Dekonstruksi dan Revitalisasi Keindoneisan” di Bentara Budaya, Jakarta, 2006 silam, sempat berkelakar, “Hanya ada 3 polisi jujur di Negara ini: polisi tdur, patung polisi, dan Hoegeng.”

Guyonan almarhm Gus DUr kala itu merefleksikan bahwa sook Jenderal Hoegeng memang sosok polisi di Indonesia yag langka karena kejuuran dan ideaiismenya. Sikap hidup yang sederhan, jujur, dan tak kenal kompromi, diceritakan wartawwan Kompas, Suhartono, dalam buku bertajuk “Hoegeng: Polisi dan Mentri Teladn (2013)” yang ditulisnya sikap hidupnya itulah yang selalu dijaganya, meski rezim berganti.

Sebagai bentuk konsitensi sikap konsisten Hoegeng, pada decade 1960-an, ketika menjabat sebagai Menteri Iuran Negar (1964-1966) ketika Presiden Soekarno hendak mengimpor sejumlah barang untk kepreluan pembangunan rumah yang kemudian dikenal ebagai Wisma Yaso, di Jakarta, Hoegeng menolaknya. Harapanya, kilah Hoegeng berpendapat, barang-barang tersebut bisa masuk dari luar negeri dengan prose birokrasi ynag tidak berbelit dan berbiaya murah.

Penelusuran di semua lin lembaga yang diduga sarang korupsi, dihabiskan tanpa ampun (It)

“Untuk memenuhi keinginan itu, hanya ada dua car yang bisa dilakukan oleh Bung Karo. Pertama membuat surat perintah agar prose impor bisa dilakukan dengan mudah dan bebas pajak. Kedua, buat surat ke DPR untuk mengubah undang-undang agar barang impor tak perlu dikenai biaya.”

Mendengar jawaban Hoegeng, Presiden Soekarno ketika itu meradang dan menyatakan mengapa seperti itu. “Ah, begitu saj mesti buat surat dan ubah undang-undang,” sergah Soekrano. Tak kalah sigapnya, Hoegeng mejawab, “Aturnya memang begitu, Pak.” Bung Karno pun mengalah.

Menurut penuturan Guntur Soekarnoputra, putra sulung Soekarno dalam Harian Kompas tahun lalu menyatakan, “Bapak bisa mengreti apa yang dikemukakan Pak Hoegeng. Lalu enggak jadi, dan ternyat semua barng di Wisma Yaso di buat dari produk dalm negeri.” Konsitensi seperti itulah yang tetap dijaga dan diyakininya denga teguh. Bukan hanya saat menjadi pejabat di era Bung Karno yang pernah dilakoninya tetap konsisten bersih dan mematuhi aturan perundang-undangan.

Sewakt di era Orde Baru, setelah diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Pagak) atau Kapolri, Hoegeng menolak berbagai fasilitas, trekecuali rumah dinas dan pengawalan. Ia tak segan menindak siapa pun yang melanggar hukum sekalipun dekat atau dilindungi pejat. Sema menjadi Kapolri, Hoegeng menunjukkna komtmen antikorupsi, kolusi dan nepotisme dengan mengintruksikan semua kapolda dan kepala keamanan pelabuhan untuk mendaftarkan kekayaanya.

ukan hanya marah bil melihat ketidak berean di dalam jajaran kantor kepolisian, Hoegeng rela sidak sendiri dan menyamr

Pada akhir 1960an, Hoegeng juga pernah membongkar kasus penyelundupan mobil mewah yang melibatkan Robby Tjahjadi, pengusaha yang dikenal dekat dengan polisi, tentara, hingga petinggi Bea Cukai. Menurut Gus Dur Dalam autobiografi Hoegeng yang berjudul Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan (1993), disebutkan kerugian negara akibat penyelundupan mobil mewah tersebut berpotensi mencapi Rp 716 juta. Kasus penyelundupan mobil mulai terkuak.

Kapolri Hoegeng turun tangan menyelidikinya. Robby diganjar hukuman penjara 10 tahun, yang hanya dijalaninya 2,5 tahun. Tak berapa lama, Hoegeng diberhentikan pada Oktober tahun 1971. Seiring dengan berkembangnya kasus lain, yakni Pemerkosaan Sum Kuning yang konon melibatkan anak pejabat di Yogyakarta. Pembatasan bagi Hoegeng, menut Panda Nababan, wartawan senior yang pernah bertugas di kepolisian dan dekat dengan Hoegeng, mengatakan, idealisme Hoegeng harus dibayar mahal di masa Orde Baru.

Masih ingat kasus um Kuning di Jogya, yang menjadi kontrover, Hoegeng turun tangan membereskannya

Hoegeng yang menjabat Kapolri sejak 1968 diberhentikan pada 1971 atau sebelum memasuki usia pensiun. Ia juga tidak boleh menghadiri pernikahan anak sahabatnya, Sumitro Djojohadikusumo, yakni Prabowo Subianto, dengan Siti Hediati Hariyadi, putri Presiden Soeharto. Selain itu, Hoegeng pernah pula dilarang mengikuti upacara Hari Bhayangkara sekalipun memperoleh undangan, hanya karena Soeharto menghadiri acara itu. Pembatasan bagi Hoegeng semakin berat setelah dia menjadi salah satu penanda tangan Petisi 50, kelompok tokoh yang mengkritisi pemerintahan Soeharto.

Pasca-keluarnya petisi itu, acara musik The Hawaiian Seniors TVRI yang diisi Hoegeng diberedel. Begitu pula acara diskusi yang ia pandu di radio Elshinta. Hoegeng bahkan sempat masuk daftar orang yang dicegah ke luar negeri sehingga ia kesulitan mengobati penyakitnya. ”Hal-hal menyakitkan banyak dialami Pak Hoegeng. Tragis. Orang-orang yang jujur, bersih, memang kerap melalui suatu tragedi,” tutur Panda. Namun, Hoegeng tetaplah Hoegeng. (tim indepth/berbagai sumbre/eddy j soetopo)

Previous Belajarlah dari Tempat Distinasi Wisata Jiuzhaigou di China
Next Waspadai Pipis Setiap Malam, Siapa Tahu Gejala Diabetes

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *