Jejak Gambar Logo Partai Berlambang Banteng


Peringatanhari jadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tahun lalu

Setidaknya, pada bulan Januari 2023 ini, dua partai politik, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berusia setengah abad. Kedua partai itu didirikan pada awal rezim Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.

Terpaut lima hari PPP dan PDI dideklarasikan para tokoh partai bersangkutan. Bila PPP disepakati dan dideklarasikan 5 Januari 1973, PDI pada 10 Januari 1973. Seperti diketahui, PPP merupakan partai politik hasul fusi empat partai berbasis Islam yakni: Partai Nahdlatul Ulama (NU), PERTI, PSII, dan PARMUSI. Sedangkan PDI merupakan fusi dari PNI, Partai Murba, IPKI, PARKINDO, dan Partai Katolik.

Banyaknya partai politik yang berfusi menjadi satu, tentu mempengaruhi tanda gambar, logo kepartaian. Tidaklah mengherankan bila tanda gambar logo partai berulangkali berubah karakter sesuai kesepakatan mayoritas anggota dalam jajaran tampuk pimpinan. Partai Demokrasi Indonesia, misalnya tanda gambar partai pada awal pembentukan bertanda gambar Banteng secara utuh, yang diusulkan Bung Karno kala itu, berganti seiring kemajuan jaman.

Perubahan Lambang Logo Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Pada dasarnya pembentukan dua partai, PPP dan PDI memang disengaja untuk menepis tuduhan negri dengan partai tunggal Golongan Karya (Golkar) sebagai strategi besar rezim Orba biar tidak kelihatan mendominir system kepartaian di Indonesia. Berulangkali bahkan, rezim Orba melakukan perobakan terhadap tanda gambar partai politik yang dinilai tidak sevisi kekuatan terpusat dibalik amanat presiden Soeharto. Tidaklah mustahil bila tanda gambar  partai politik, acap diwajibkan untuk diubah tanda gambarnya.

Perjalanan peta dunia politik di tanah air, ketika itu mau-tidak mau disebut sebagai sistem kepartaian taktentu irama gerak bisa dikatakan srudak-sruduk saling sikut agar mematikan tumbuh-kembang partai lain yang tak disukai rezim Soeharto. Bisa dikatakan, semua model kepartaian, memang didesaind seolah-olah hidup berdampingan partai penguasa yakni Golongan Karya. Hal itu memang sebagai bagian dari strategi besar rezim Orba untuk menata ulang system politik, termasuk system kepartaian agar berbeda dengan masa sebelumnya.

Ketua DPC Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo memimpin peringatan 40 tahun hari Jadi Bung Karno

Proses fusi, rekayasa deideoligisasi dan depolitisasi, disertai kebijakan politik “masa mengambang” (floating-mass) yang intensif dijalankan, bertujuan mengakhiri era keemasan dominasi partai politik masa sebelumnya, dimana presiden Soekarno memegang tampuk pimpinan pemerintahanan. Menurut mantan pejabat Menteri Wilopo disebut ‘Zaman Pemerintahan Partai’ era parlementer.

Selama lebih 30 tahun rezim Orba berkuasa, PPP dan PDI sebagai penerus partai-partai politik masa lalu terus berada di luar struktur kekuasaan, berada di pinggiran. Berkebalikan dengan Golkar yang didesain untuk terus memenangi pemilu sejak 1971 hingga 1992. Meski Golkar menepis anggapan bahwa sesungguhnya mereka bukanlah partai yang berkuasa –dalam pengertian the rulling party– toh kubu yang berseberangan dengan partai itu menganggap penguasa sebenarnya Soeharto itu sendiri. Peran Golkar tidak lebih dari sekedar electoral machine, sebagai instrumen pengumpul suara dalam setiap pemilu untuk memberikan cap legitimasi demokratis bagi rezim yang berkuasa.

YF Sukasno kader militan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Solo

Bila merujuk pengertian tersebut, menurut Direktur Eksekutif Institute for Media and Social Studies, Eddy Je Soe, sulit rasanya menyebut system kepartaian model yang diberlakukan saat itu. Bisa saja orang menganggap sebagai candaan model kepartaian penganut system satu-setengah partai. “Tidak ada salahnya kalau dikatakan sebagai one and half party system, saat itu,” katanya. Seperti prediksi kalangan jurnalis dan pengamat politik ketika itu, kemungkinan akan terjadi kegaduhan politik yang membawa dua konsekwensi darurat dalam nagara. Tampaknya kejadian 40 tahun lalu membuat hampir seluruh rakyat ketar-ketir tinggal dalam negara yang belum kokoh benar melakukan pembebenahan sistem kepartaian. “Terlebih bagi warga masyarakat, kalangan tertentu, yang masih merasa terpinggirkan oleh sistem demokratis belum berjalan normal.”

Benar saja, setengah abad sudah berlalu. Eksistensi dan peran partai politik kini telah berubah, dari sistem kepartaian tunggal dan yang didominir secara kasat mata orde yang saat itu berkuasa kemudian lebur. Era yang dulunya disebut pejuang kemerdekaan Wilopo, zaman pemerintahan partai-partai, telah berlalu. Tidak ada lagi tanda gambar partai setiap saat diharuskan berganti dan dibatasi keanggotaannya oleh penguasa pemerintahan negara.

“Kalau dulu partai bergambar banteng berada di tengah bendera merah-putih yang dicetuskan Bung Karno, juga telah berganti berulangkali. Namanya juga dari Partai Demokrasi, kemudian berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,” tandas Eddy Je Soe, pengamat marhenisme lawas. Termasuk pengantian Ketua Umum DPP PDI yang dulunya harus melalui penguasa Orba, kini telah berlalu. “Buka saja risalah dan file sejarah, pada hari Selasa 7 Desember 1993, Megawati Soekarnoputri, secara de facto menjadi ketua umum di hadapan wartawan dalam dan luar negeri di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya.”

Megawati Soekarnoputri, secara de facto menjadi ketua umum partai (Courtesy Pic Kompas)

Menurut Abdul Madjid, aktivis marhen kawakan, dalam memoarnya mengingatkan, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Mengingat pada 10 Januari 1973, di kantor DPP PNI, di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, sepuluh tokoh yang mewakili lima partai yang berfusi maju ke meja dan menandatangani fusi partai Demokrasi Indonesia.

Sepuluh tokoh, dikutib dari memoar Abdul Madjid, lima partai maju ke meja dan sepakat menandatangani fusi, mereka itu adalah: Moh Isnaeni dan Abdul Masdjid (PNI); Sabam Sirait dan A Wenas (Parkindo); Ben Mang Reng Say, dan F.S. Wignjosumarsono (Partai Katolik); S Murbantoko dan Jon Pakan (Partai Murba); Achmad Sukarmadidjaja dan Mh. Sadri (dari IPKI) Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Tak dapat dipungkiri, perjuangan aktivis Partai Demokrasi Perjuangan untuk mewujudkan kiprah kaum perempuan ikut terlibat dalam gerakan pembaharuan sistem politik di negri ini kian nyata. Kaum wanita kader partai dari tingkat cabang, maupun ranting Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bukan hanya didominir oleh kepentingan aktivitas secara individual, menyatu dengan warga masyarakat untuk berkiprah secara nyata membela kaum perempuan marjinal di Kota Solo (tim indepth penyusun buku “Melacak Jejak Banteng Ketaton Pinggir Bengawan / Eddy J Soetopo)

Previous Akar Bau Harum Pengusir Tikus Didatangkan dari Cendana NTB
Next Belajar Bahasa Keriting Rusia Tidak Sulit

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *