Seorang rekan mantan demonstrans yang tinggal di Jakarta, ogah bergabung dengan partai politik, beberapa waktu lalu menghubungi lewat komunikasi jejaring sosial dengan antusias ceriwis tak bisa distop. Entah apa gerangan ia menggerakkan hatinya mencoba ingin bertemu di kandang, sumbu ontran-ontran di pinggir kota bengawan. Telisik punya selidik, kawan tersebut mengajak bergabung jadi pelaku biznis zonder modal serupiah pun. Bagaimana hal itu bisa, tanyaku sembari mengernyitkan jidat hingga alis mata, berkerut-merut.
Apa pasalnya hingga, katanya dalam dialog interaktif sembari mewanti-wanti melarang namanya ditulis seperti kenal pertamakali di Hanoi 17 tahun lalu. Kalau kamu mau nulis, biar ada ide-ide kalian lancar, tulis pakai nama samaran digandeng-gandeng saja. “Teserah kamu karang saja namaku,” katanya serius. “baik kalau saya lebelin namamu empat kata, Chiu Contantine Sacarova Gianov (C2SG) gimana,” kataku. Sambil ngakak dia membolehkan nama yang kami lebelkan pada dirinya.
Lantas, dia membeberkan perihal biznis masadepan tanpa resiko namun memberi peluang dapat duit bejibun. Berceritalah dia membuka takbir kelakuan plus-minus saat dulu menekuni sebagai aktivis vis penolong orang lain yang dianggap sedang membutuhkan pertolongan mendesak. Entah berapa banyak peluang biznis dibeberkan panjan kali lebar, tentu tidak sama dengan luas, seperti dalam perhitungan matematis, tapi dengan serius menyertakan dalil-dalil peruntungan di setiap sesi paparannya.
Terserah kalian mau memilih biznis apa yang dapat menghasilkan duit, tanpa tipu-tipu dan menyusahkan orang lain. Salah satunya, menurut paparan C2SG sampai suaranya memerahkan telinga saking lamanya, ia menyebut biznislah abab. Maksudnya? “Coba perhatikan, sebentar lagi akan diadakan pemilihan umum serentak di Indonesia. Itu peluang,” katanya meyakinkan. “Memang kenapa kalau ada Pemilu serentak,” tanyaku. Itu suatu peluang goblok, katanya jengkel. Kalian’kan banyak koneksi, banyak rekan jurnalis media komplit, aktivis sekarung, carilah dan raih menjadi vote geter atau tim kampanye salah satu kandidat peserta pemilu.
Jangan kalian menganggap receh dan remeh-temeh berbisnis jadi pemandu sorak atau tim kampanye. Mereka jelas, apalagi partainya memiliki duit sekotak dana penyelenggaraan kampanye dari pemerintah, belum lagi yang bersangkutan juga menginginkan dirinya bisa meraih kedudukan sebagai anggota dewan, bupati, walikota di daerah masing-masing. “Oleh sebab itu bentuklah semacam konsursium pemandu sorak. Pakailah nama abal-abal, asal ada di catatan notaris dan daftarkan ke komisi pemilihan umum dan panitia pengawas pemilu sebagai pemandu sorak sekaligus tim kampanye.”
Entah benar atau tidak perolehan menjadi tim pemandu sorak alias, tim kampanye satu kandidat partai tertentu, duit yang didapatkan di atas UMK (Upah Minimum Kota). Bisa dibayangkan, berapa ratus juta fulus yang ditebar buat mengkatrol nama seseorang yang getol ingin namanya masuk ke dalam calon legeslatif atau masuk dalam daftar terpilih sebagai calon kepala daerah, bupati atau walikota. Nilainya bisa sampai miliaran rupiah. Bagaimana tidak, bila seseorang wajib memberikan duit perorang bisa sampai dua ratus-duaratus lima puluh ribu, sebelum hari coblosan pemilihan umum. Belum lagi kandidat caleg atau calon terpilih pilkada, meroboh koceknya menghamburkan duit memfasilitasi kegiatan di daerah pemilihan (dapil) bersangkutan.
Jangan bilang kalau para caleg atau calon bupati-walikota, tidak merogoh koceknya menebar fulus, jelas tidak ada ceritanya. Meski hal itu ditepis para calon anggota legeslatif atau calon bupati-walikota, mana mungkin mereka tidak mengerluarkan uang. Kami’kan memiliki konstituen, militant di dapil tempat tinggal di sekitar area yang ditetapkan ketua partai. “Enggak ada main duit-duitan,” ujar salah seorang caleg yang enggan menyebut jatidirinya, meski mengakui nyawer fulus.”Kita punya banyak konstituen paten, ndak perlu ngasih duit, mereka tahu kalau nanti kami maju lagi memperjuangkan nasib mereka,” dalih seperti itulah acap mengelondor dari mulut manis para caleg dan bupati. Jadi enggak usah heran bila para caleg, cagub dan cabub, secara implisit mengaku menabur duit buat meneguk