Bagi Anda yang pernah membaca surat kabar Berita Yuda dan harian Angkatan Bersenjata, tahun 1965-1970-an, tentu tak mungkin lepas dari rasa ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada waktu itu. Pada kurun waktu itu, rezim Orde Baru (Orba) yang dipimpin Mayor Jenderal Soeharto, menggelontorkan propaganda hitam untuk menghancurkan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pasca Gerakan 30 September 1965. Meski demikian, ide propaganda menghancurkan Gerwani melalui berbagai media televisi dan surat kabar terbitan Jakarta, tentu di bawah kendali militer, tak jelas sosoknya hingga kini, tetap menjadi misteri. Mengapa dan bahagaimana hal itu bisa dilekatkan pada kaum perempuan di negri ini.
Menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Marwan Adam seperti dikutib CNN Indonesia, bulan lalu, menyatakan propaganda yang dibuat untuk menghancurkan Gerwani jelas bukan tokoh sembarangan. Kekejaman yang dilakukan Gerwani terhadap tujuh perwira angkatan darat di Lubang Buaya, Jakarta Timur membuat bulu kuduk berdiri. “Tentu pemuatan ide propaganda itu orang intelektual. Bukan orang sembarangan,” katanya
Dalam propaganda yang diciptakan rezim menggelontorkan ciptaan drama mengerikan bahkan orang Gerwani melakukan penyiksaan dengan mencuil mata dan menyilet kemaluan para jenderal di Lubang Buaya, tentu melalui proses yang tidak mudah membuat scenario. Tidak hanya itu, rezim Orba juga menggambarkan anggota Gerwani menari bugil sebelum melakukan tindakan keji yang kemudian disebut sebagai tarian harum bungga, jelas secara fisual dibuat dengan sempurna. Sutradara dan pembuat secenario rentetan pendiskriditkan perempuan yang, seolah-olah melakukan tindakan benar hal itu terang diawasi militer di bawah rezim yang berkuasa. “Padahal kesemua itu isapan jempol dan mengada-ada. Semuanya seba ngawur dan sewenang-wenang menuduh kaum perempuan bangsanya sendiri, Jahat dan bengis sekali,” ujar dia tahun lalu
Gambaran perilaku keji yang dilakukan anggota Gerwani digeber habis-habisan setiap hari melalui media dikenalikan militer seperti Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Stigma kekejian Gerwani, menurut penelitian sejarah asal Universitas Amsterdam, Saskia E Wieringa, tak satupun sejarawan manapun yang mengetahui asal-usul pencetus progaganda hitam terhadap Gerwani. “Taka da yang mengetahui siapa yang mencetuskan ide dan mengatur scenario propaganda itu. Pencetus bisa militer, tokoh agama yang dekat militer, atau pihak lain,” kata Saskia seperti dikutip CNN Indonesia
Bisa jadi propaganda melibas aktivitas Gerwani terilhami novel Germinal yang ditulis di Perancis, Emile Zola. Menurut Asvi, propaganda tindakan biadab yang dilakukan anggota Gerwani menyilet alat vital jenderal, kemungkinan besar mengambil ide seperti ditulis dalam novel Germinal yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia pada decade 1960-an. “Efek kekejian itulah yang terus dipropagandakan agar kekerasan cerita lebih seram,” katanya. Bukan hanya sejarawan Asvi Marwan Adam yang menduga memproagandakan citra kekejian anggota Gerwani sebagai perempuan bengis menyilet alat kemaluan jenderal, tetapi juga kolega Asvi, seorang peneliti yang inten melakukan pelelusuran soal Gerwani, kekejian yang dilakukan militer terilhami novel karangan Zola.
Menurut dugaannya, spin doctor yang mencitrakan Gerwani sebagai kelompok perempuan begis tentu seseorang tantara yang ditekan atasannya untuk melakukan tindakan biadap itu seperti dalam buku novel Zola. “Sepertinya cerita tentang Gerwani yang menyilet alat vital, nyaris dengan apa yang terdapat dalam novel Zola itu. Tidak mungkin orang yang tidak membaca, atau dipaksa baca bisa melakukan tindakan keji, kalau tidak dipaksa komandan di atasnya,” katanya sembari menambahkan, “hanya saja sulit menelisik asul-usul pencetus propaganda hitam Gerwani siapa pencetus dan menggulirkannya.”
Pembredelan Masif Media
Beberapa hari setelah Meletus peristiwa G30S, harian militer Berita Yuda memajang kliing penggalan koran sayap kiri. Koran sayap kiri seperti Harian Rakjat, Warta Bakti dan Suluh Indonesia ketika itu memuat berita yang berseberangan dengan versi media militer. Harian Rakjat edisi 2 Oktober berjudul Letkol Untung, Komandan Bataijon Tjakrabirawa menyelamatkan Presiden dan RI dari kup Dewan Jenderal. Judul hampir serupa juga dimuat Warta Bhakti terbitan 1 Oktober. Tiga hari setelah terbitan Berita Yudha, muncul insturksi Menteri Penerangan Maor Djenderal Achmadi yang melarang penerbitan surat kabar yang dianggap kiri terhitung 6 Oktober 1965. Media yang dilarang adalah Harian Rakjat, Warta Bhakti, dan Suluh Indonesia.
Sejak itu, pemberitaan media massa dikuasai oleh tulisan tentang stigma kegerian Gerwani yang diawali laporan dari harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Judul-judul mencolok yang dilansir di harian angkatan Bersenjata, 6 Oktober 1965, “Matanya Dicukil” dan di Berita Yudha, 10 Oktober 1965 ditulis “Ada yang Dipotong Tanda Kelaminnya” semuanya bertujuan menyudutkan sepak terjang Gerwani agar menimbulkan kengerian pembaca.
Tidak hanya itu, setelah pemberitaan ada penyiksaan terhadap tujuh perwira, pada Desember 1965, laporan Tarian Harum Bunga yang dilakukan aktivis Gerwani yang disebut sebagai tarian bugil di Lubang Buaya terus menerus sengaja digulirkan untuk memberangus sepak terjang kaum perempuan kiri di Indonesia. Akankah akan terulang kembali, mudah-mudah tidak akan terjadi. Masih beruntung, kata Ngoyenfai (bukan nama sebenarnya) ketika ditemui di Manila, ia tetap teguh menjani kewajiban belajar seperti amanat keluarga besarnya di Vietnam, yakni harus belajar tuntas. Akhirnya ia selesai menamatkan kuliah mengambil bidang studi Scientific Political Comparative Studies in Asia. “Salam buat jurnalis di negaramu,” katanya (tim indepth/eddy j soetopo)