Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan yang terjadi pada 1965 di Indonesia atau lebih dikenal dengan sebutan (International People’s Tribunal on Crime Against Humanity 1965 – IPT 65, telah lama berlangsung, pada Rabu 11 November 2015 di Denhaag, Belanda. Meski di Indonesia model pengadilan tersebut tidak dikenal secara luas, toh gaung yang ditimbulkan atas putusan hakim membuat pemerintah ketar-ketir.
Bukan hanya warga masyarakat biasa yang diciduk –istilah ditangkap gaya militer– tetapi juga para wartawan yang dipojokkan sebagai pengikut partai komunis di Indonesia. Sedikitnya lebih dari 30 jurnalis, menurut sumber resmi, diduga dijebloskan kepenjara. Bukan hanya di bawa ke tahanan militer, tetapi juga diungsikan ke pulau terpencil di Nusa Kambangan, berbatas laut selatan. Sungguh ironis bila hal itu menjadi ciri khas gaya kepemimpinan Orde Baru (Orba) dipimpin presiden Soeharto, kala itu. Istilah Tumpes kelor, menjadi senjata ampuh tentara menciduk orang-orang yang dicurigai tanpa pengadilan apapun.
“Tindakan biadab dilakukan pemerintah Orba dari pembunuhan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa dan kekerasan seksual,” menurut mantan jurnalis Tempo Martin Aleida, dalam kesaksiannya di ITP, di Belanda. Sungguh perbuatan biadab dan menyakitkan nurani semua orang-orang Indonesia yang berpikir waras.
Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan yang terjadi pada 19656 di Indonesia atau lebih dikenal dengan sebutan (International People’s Tribunal on Crimes Against Humanity 1965-IPT, telah dilangsungkan tahun 2015 lalu. Toh hingga kini peristiwa pembantaian orang yang dituduh sebagai pengikut PKI (Partai Komunis Indonesia) belum bisa menghilangkan trauma masa lalunya ketika dipenjara. Jangankan memiliki kegembiraan atas kehidupan layaknya warga masyarakat umum yang seharusnya dijalaninya setelah merdeka. Kesaksian, mantan jurnalis Tempo, yang kini menjadi penulis handal cerita pendek dan dihormati itu, pantas diacungi jempok sebagai mantan jurnalis kritis hingga kini.
Hakim yang memutus Indonesia harus bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) berat pada 1965-1966, termasuk kategori kejahatan genosida. Kejahatan yang disengaja untuk melenyapkan dan menghancurkan sebagian atau seluruh golongan penduduk yang dicap sebagai pengikut partai komunis. Menurut guru besar antropologi budaya dari univerrsitas Amsterdam, Saskia E Wieringa, yang dipercaya kebagai ketua IPT kala itu, menyebutkan pentingnya mengungkap ke benaran di balik peristiwa 1965.
“Kami berinisiatifmengungkap kebenaran di balik peristiwa 65 setelah saya melakukan riset lebih dari 35 tahun lebih di Indonesia,” katanya dalam kesaksiannya di persidangan Belanda, “kejadian itu tentu membuat luka yang mendalam dan akan terus mengangga bagi jiwa korban bangsa Indonesia.”
Menurut aktivis kemanusiaan dan feminis asal Belanda itu, berkaca lewat proses yang pernah dialami di Jerman, luka mendalam bangsa Indonesia tersebut hanya dapat diobati melalui pengungapan kebenaran dan menindaklanjuti dengan melakukan penyidikan atas tragedy tersebut. “Sebagai antropolog, tentu bangsa Indonesia terluka. Dengan luka yang mendalam, tanpa ada prognosis dan diagnosis, masyarakat Indonesia sulit untuk bisa pulih seperti sedia kala. Bangsa Indonesia harus mendapat penjelasan, bagaimana mungkin orang bisa saling bunuh dalam tragedy 1965,” katanya seperti dikutib CNN Indonesia. “Padahal ini bukan penjajahan colonial, tapi orang Indonesia saling membunuh. Tetangga membunuh tetangga, kalau tidak ada yang membakar-bakar dan dilakukan militer, siapa bisa melakukan secara sistematis seperti itu.”
Lebih lanjut Saskia menambahkan peristiwa dalamsekala besar mulai dilakukan pada 30 September 1965 dan sesudahnya, bisa saja terulang kembali. Pola kekerasan pada masa itu, katanya, hampir sama dengan pola kekerasan di Papua, Timor Leste dan di Aceh. “Kalau orang Indonesia mau damai dan demokratis, hal pertama yang harus dilakukan yakni membuat semua orang tahu dan sadar atas apa yang pernah terjadi pada tragedy 1965,” katanya tandas dalam persidangan.
Hal yang menyedihkan, hingga kini para korban dan penyitas dalam usia tak lagi muda masih harus menjalani hidup dalam kemiskinan dan dalam kondisi kesehatan yang buruk. Padahal mereka korban mengalami penderitaan ketika disiksa dalam penjara. “Mestinya pemerintah memiliki kewajiban menolong rakyatnya yang sedang sengsara. Contohlah bangsa Jerman, saat mengatasi masa kelam pasca tragedy genosida yang dilakukan kaum Yahudi. “Mereka berkata lantang, kami tidak pernah lagi (Nicht Wieder) pada rakyatnya. (Tim Indepth Report / Eddy J Soetopo)