Penampilan veteran perang yang satu ini lain dari mantan pejuang kemerdekaan kebanyakan. Ia tidak mengenakan seragam layaknya para anggota Legiun Veteran Republik Indonesia saat mengikuti upacara memperingati Hari Pahlawan yang diperingati setiap tahun di republik ini. Jangankan memakai seragam, seperti biasanya dikenakan para pensiunan pejuang, necis berjas dan bersafari.
Namun Ia selalu hadir setiap peringatan tabur bunga di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bakti, Jurug. Mengenakan topi pet warna emas berikut lencana pengakuan negara sebagai pejuang tetap lekat di kaos oblong yang dikenakannya. Meski penampilannya sangat sederhana, jangan anggap enteng peran Dado Hardo Bantolo sohib dekat pahlawan nasional Slamet Riyadi.
“Jangan dikira saya tidak tahu Overste Slamet Riyadi dulu meninggal di Ambon. Saya berada di dekat dia. Karena saya dan Overste itu satu kompi sewaktu merebut ke Kepulauan Keie, Saparua, Pulau Buru dan Victori setelah dari Irian Jaya,” katanya di TMP Jurug, Kamis (10/11/2011)
Generasi muda, tutur Dado lebih lanjut, sekarang tinggal meneruskan perjuangan Overste Slamet Riyadi. Keliru kalau kemudian generasi muda dan pemerintah yang telah diberi kesempatan meneruskan perjuangan disia-siakan. Sama halnya pemerintah, kalau rakyatnya kaliren –mati tidak bisa makan– dibiarkan buat apa dipertahankan.
“Saya merasa beruntung, bisa kembali ke Solo. Sekarang lebih maju dibandingkan masa lalu. Sebelum walikota sekarang, awut-awutan. Semrawut semua serba didoli kabeh –dijual semua (red) – Opo tumon benteng markas tentara juga didol. Iki karepe piye,” katanya heran.
Tidak hanya itu, tutur Dado mengungkapkan perjuangan masa lalu lalunya. Ia pernah diperintahkan menyusup ke Serawak dan Malasia saat pertamakali negara konfrontasi dengan negara tetangga. Berhari-hari ia tidak makan dan berada di dalam hutan di negeri seberang. Ia ingat betul seruang Bung Karno, untuk menganyang Malasia dan merebut kembali.
Tidak ada yang berani pulang. Kita inget seruang Bung Karno agar menganyang Malasia. Selama seminggu tidur di hutan dan membuat rumah pohon. Makan mbedil burung,” tuturnya. Karena seruan Bung Karno lah, ia balik kanan pulang menyeberang selat bersama pasukan KKO –sekarang Marinir (red)– dari Surabaya. “Kita balik karena suara Bung Karno, menyuruh pulang terdengar di radio bareng KKO dari Surabaya.”
Menurut Dado Hardo Bantolo, kekeliruan pemimpin di negeri saat ini membuatnya miris. Bagaimana tidak, kata dia, mereka lebih banyak mementingkan dirinya dan bukan memikirkan kepentingan nasib rakyatnya. Terkadang, ujarnya menerawang, bayangan sebelum kemerdekaan diraih rakyat kecil akan berubah nasibnya menjadi lebih baik.
“Tapi nyatanya tidak. Karena apa? Banyak yang kemaruk ngambili duit rakyat dan jual tanah negara. Kalau seperti ini terus bagaimana coba.” Makanya, sewaktu bersalaman dengan Wali Kota Solo, Joko Widodo, ujarnya berbisik, dia membisikkan, “Saya hanya menyampaikan pesen dari Overste Slamet Riyadi, jagalah dan lindungi rakyat.”
Perjuangan para veteran perang kemerdekaan, sudah saatnya pantas dilihat dan dievaluasi kembali peran mengagumkan yang telah dilakukannya merebut kemerdekaan. Tak banyak para pejabat negara yang concern terhadap kehidupan para veteran, dan keluarganya yang kini masih banyak yang telantar. Meski pemerintah telah memberikan penghargaan, toh sepanjang yang diamati media sarklewer.com masih sebatas pemberian sertifikat pengakuan sebagai pahlawan. Perkara para veteran pejuang kemerdekaan itu telah berbuat bagi bangsa dan negara yang didiaminya. Menyedihkan memang. Kami meyakini presiden dan jajaran penggede pejabat negara tidak memicingkan mata dan membiarkan veteran beserta keluarganya telantar. Mudah-mudahan tidak dilupakan. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, teriak Bung Karno di lapangan Ikada Jakarta saat menyampaikan pidato di depan ribuan rakyat yang hadir, “Jangan lupa memakai Jas Merah!”
Sebagai warga negara biasa tentu seruan Presiden Soekarno relevan untuk diperhatikan dan dipahami sepenuhnya terhadap para pejuang kemerdekaan seperti yang dibisikkan veteran almarhum Dado Hardo Bantolo ketika membisikkan pada mantan walikota Solo, Joko Widodo, yang kini menjadi presiden. Bukan hanya sebagai peringatan terhadap rakyat kecil terhadap pejabat negara, yang perlu digarisbawahi, tetapi juga pantas ditindaklanjuti agar jegudyoab rajtat nebhadu kebug bauj kagu, “Kami meyakini peran para pendahulu, entah itu veteran perang maupun wakil yang dipercaya rakyat di parlemen pun memiliki andil untuk memperbaiki situasi di kemudian hari,” tandas Direktur eksekutif Institute for Media and Social Studies, (IMSS), Eddy J Soetopo, “sejarah pendirian dan pengangkatan lembaga yang dilantik Bung Karno 7 Agustus 1946 pantas dibukukan.”
Perjalanan panjang para veteran pejuang kemerdekaan meniti kehidupan setelah merdeka diraih bangsa ini, tak selamanya mulus sekedar untuk memenuhi kehidupan yang layak. Setidaknya, menurut peneliti yang menggeluti sejarah perjuangan veteran di Kota Bengawan, sungguh sangat mencemaskan. Banyak diantara keluarga dan/atau ahli waris para veteran tidak banyak menikmati perjuangan keluarganya yang dulunya berjuang merebut kemerdekaan.
“Perang gerilya di Solo, pertempuran sengit ampat hari sewaktu Belanda dan Jepang ingin menduduki kota, bukan hal bisa dilalaikan begitu saja. Mereka, para keluarga veteran pejuang, bukan ingin dianakemaskan, tetapi berilah penghargaan yang pantas. Tidak sekedar diberi tanda surat pengakuan, kalau keluarga mereka, seperti saat masih banyak yang terlunta-lunta menikmati jerih payah kemerdekaan.” Ada baiknya pemerintah kota Solo melakukan pendataan ulang berapa jumlah keluarga keturunan para keluarga veteran di Kota Solo. Beri mereka kemudahan melanjutkan kehidupan di kota dengan nyaman, Bisa mengandeng dengan korp legium veteran di Kota Solo untuk melakukan hal itu. Jangan membiarkan keturunan para pejuang itu, terlunta-lunta hidupnya.”
No Comment