“Harus Saya Akui, saya memiliki pendapat yang sangat rendah tentang manusia” tulis Santiago Ramon Y Cajal, ahli saraf paling berpengaruh di dunia seperti dituturkan Benyamin Ehrlich dalam jurnal ilmiah Sapien. “Mengapa bapak ilmu saraf, justru di akhir karirnya lebih suka mempelajari semut?” Banyak pertimbangan yang perlu dikemukakan dengan terang benderang, tulis dia dalam jurnal ilmiah itu. Bila kita merujuk tahun-tahun sebelumnya, 1914 misalnya, ketika Perang Dunia I pecah, ahli saraf paling moncer dan berpengaruh di dunia, penemu sel-sel otak yang kemudian disebut neuron, pernah menulis hasil research yang menghebohkan. Meski dinilai banyak scientis dianggap tidak bermutu, lantaran tidak disusun menurut kaidah keilmuan secara mendetail dan mendalam. Meski demikian, ia tetap santai dan mengakui dan membiarkan pandangan ilmiah dari kalangan yang menggap diri mereka ilmuwan berbobot.
“Tidak mengapa hasil naskah yang ditulis dijurnal ilmiah tidak dianggap rendah, toh saya pernah melakukan penelitian mendasar soal neuron dalam jejaring ilmu pengetahuan system saraf,” katanya merendah. Namun dia tetap melakukan aktivitas ilmiah, saat perang Eropa yang menghebohkan pada tahun 1914 berkecamuk. “Meski hal itu merupakan pukulan sangat kasar terhadap seorang scientis,” kata Cajal mengenang masa-masa suram ketika itu. Jelas hal itu, tulisnya dalam jurnal ilmiah Sapien, jelas mengubah kesehatan dirinya terganggu. “Jelas mendinginkan antusiasme saya untuk penyelidikan.”
Keterpurukan Cajal yang terpental dari sesama scientis jelas membuat dirinya meminggirkan dalam lingkaran social. Kesehariannya bahkan diakuinya lebih banyak dihabiskan berada di kafe-kafe menenggak minuman keras dan mempertanyakan dirinya apakah layak tidak berada dalam Kawasan para ilmuwan. “Jelas saya diliputi kegerian dan kekejian penghakiman semena-mena yang menghapuskan keingintahuan sebagai peneliti peninggalan karya terakhir dari optimism muda,” katanya
Sains seharusnya bersifat universal, tetapi sekarang, ketika surat menjadi tidak dapat diandalkan, jalur telegraf terputus, parit digali, dan perbatasan hampir selalu ditutup, para ilmuwan bahkan tidak dapat membagikan pekerjaan mereka secara internasional. Menurutnya perubahan tersebut jelas merupakan konsekwensi logis sebuah kemajuan jaman yang tidak mungkin terbantahkan.
Meski ia tak menghiraukan perkembangan modernitas dan lebih nyaman bergelut dalam penelitian dan hasilnya dipublikasikan melalui jurnal-jurnal ilmiah internasional lewat jejaring website ke seluruh perpustakaan internasional, Cajal merasa lega. Tak heran bila naskah hasil research tahun sebelumnya yang dipublikasikan lewat dunia masya di jejaring perpustakaan, dibaca jutaan mata. Sekedar diketahui, tahun sebelumnya, Cajal telah menerbitkan buku monumental kedua dalam karirnya, Degenerasi dan Regenerasi dalam Sistem Saraf, sebuah buku tebal dua jilid yang terdiri dari lebih dari 800 halaman dan 300 ilustrasi yang secara definitif merangkum 20 makalah yang ditulis selama delapan tahun.
“Di pusat orang dewasa [area otak],” tulisnya, “saraf adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah: semuanya bisa mati, tidak ada yang bisa diregenerasi. Adalah ilmu pengetahuan yang perlu disimak di masa depan untuk mengubah, jika mungkin. Tetapi sulit rasanya, imbauan saya akan ditindaklanjuti dengan penelitian menggunakan peralatan canggih. Sebab itu persoalan putusan sang pembuat hidup.” Meskipun naskah buku tebal yang ditulisnya terpublikasi tidak membuat dirinya menepuk dada sebagai tanda bangga diri diakui sebagai scientis terkemuka, tidak. Justru ia merasa tertekan. Di usia 60-an, Cajal mulai merasakan efek usia tua. Melakukan research, menulis dan mengamati persoalan degenerasi dan regenerasi membuatnya sangat Lelah.
Jaringan kolega para ilmuwan di Eropa sendiri maupun kalangan aliansi internasional mengakui kesimpulan Cajal soal ‘sistem Saraf merupakan sesuatu yang tetap dan tidak berubah. Semuanya bisa mati, tidak ada yang bisa diregenerasi. Diakui ilmuwan seluruh jagad. Sebenarnya juga tidak berbeda dengan serabut saraf, secara spektakuler pada tubuh manusia secara perlahan-lahan akan merosot.
Bukan hanya pada tubuh vertebrata, dalam hal ini manusia, tulis Cajal, lihat saja susunan saraf serangga misalnya, sensasi mengerikan dari misteri kehidupan yang tidak terduga. “Saya harus mengakui,” tulis Cajal di sebuah surat kabar mingguan, mengilustrasikan kematian susunan saraf manusia dengan hewan pemburu. Bengisnya sama,” katanya dalam media yang disebarluaskan pada kolega intelektual jaringan scientis terkemuka.
Menurut Cajal, dirinya memiliki pendapat yang sangat rendah tentang manusia, sebagai hewan pemburu terakhir. Mereka, tulisnya jelas ingin mempertahankan naluri busuk binatang. Dan sel-sel saraf yang ada diri mereka terus beraksi dengan cara yang sama seperti di zaman neolitikum.
“Perlawanan evolusioner seperti apapun, fakta biologis tidak akan bisa hilang dan dihilangkan, yang bisa dilakukan peradaban hanyalah memperpanjang interval perdamaian. Meski fase destruktif akan selalu kembali, dan mengakibatkan perang lebih mengerikan.”
Dalam waktu sekitar dua puluh atau tiga puluh tahun mendatang, ketika anak yatim piatu akibat pecah perang perebutan kekuasaan antarnegara, antarsuku dan antarkepercayaan agama, jelas akan terulang kembali. Tiba-tiba, Cajal menyadari bahwa otak tidak menyempurnakan dirinya sendiri melalui evolusi, seperti yang pernah dia yakini. “Keturunan kita akan sama busuknya dengan kita,” pungkasnya.
Lihatlah kembali jejak perjalanan perang dari waktu ke waktu. Banyak tokoh terkenal menanggapi keterlibatannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti Marie Curie yang mengembangkan unit radiologi bergerak yang memungkinkan dapat melihat peluru, pecahan peluru, dan patah tulang pada tantara di garis depan, menyelamatkan banyak nyawa.
Kimiawan Jerman Fritz Haber mengembangkan gas beracun untuk digunakan di front Barat. Ludwig Wittgenstein mengajukan diri untuk tentara Austro-Hungaria di front Timur, di mana tentara Italia menangkapnya. E.E. Cummings mengajukan diri sebagai sopir ambulans di Prancis.
Ernest Hemingway, di Italia, melakukan hal yang sama. Rainer Maria Rilke berlatih di kamp pelatihan sebelum dipindahkan ke Arsip Perang, tempat ia menulis propaganda militer. Spanyol tetap netral dalam konflik, setidaknya secara resmi. Tetapi ”tanpa berperang”, seorang diplomat asing mengamati, ”perang itu terjadi di halaman belakang Spanyol sendiri”.
Cajal mundur ke halaman belakang rumahnya sendiri, taman rumah pedesaannya, mengenakan topi jerami untuk melindungi kepala botaknya dari matahari, dan membungkuk di atas kaca pembesar yang mengarah ke tanah, terpaku oleh gerakan semut. Dunia semut tidak hanya memberikan pelarian dari kengerian perang, tetapi juga arena baru untuk mempelajari makhluk hidup, seperti neuron, dinamis dalam dirinya sendiri.
Meskipun Cajal telah memeriksa berbagai jaringan hewan sebelumnya, dia tidak pernah mempelajari semut secara formal. Cajal memiliki seorang siswa yang mempelajari retina pada semut dan lebah, sebuah struktur yang diharapkan Cajal akan menjadi semakin kompleks seiring dengan evolusi spesies. Ternyata sistem saraf serangga serumit mamalia mana pun.
“Hidup tidak pernah berhasil membangun mesin yang dirancang sedemikian halus dan disesuaikan dengan sempurna hingga akhir,” Cajal mengagumi retina serangga. Ia bahkan mengaku baru pertama kali bertemu dengan retina serangga mempertanyakan teori Charles Darwin, meski hanya sesaat. “Semakin saya mempelajari organisasi mata pada vertebrata dan invertebrata,” tulisnya, “semakin sedikit saya memahami penyebab organisasi mereka yang luar biasa dan beradaptasi dengan sangat baik. Ketika berebut wilayah saat menjaga kedaulatan.” Retina serangga memberinya “sensasi mengerikan dari misteri kehidupan yang tak terduga.” (Eddy J Soetopo & Nicole dari AS | berbagai sumber)
No Comment