Istilah bersih-bersih, bukan sekali-dua kita dengarkan. Terutama bila terkait dengan persoalan politik, jelas memiliki makna beda dengan membersihkan lantai. Meskipun secara semantic, makna bersih-bersih dianggap sarat makna, toh yang Namanya bersih-bersih lantai, artinya menyapu tempat kotor. Nah ada baiknya bila kalian ingin menekuni bisnis jualan sapu rayung. Selain tidak butuh modal besar, juga tidak menanggung resiko bila tidak laku jual. Setidaknya, bisa dipakai sendiri kalau tidak laku buat bersih-bersih lantai.
Cilakanya penjual eceran para penjaja sapu rayung yang ngider keliling kampung kini tak banyak lagi. Selain tersaingi sapu terbuat dari bahan sintetis plastic halus, juga sulit memproduksi pembuatan sapu lawasan itu. Padahal buat modal usaha, membeli bahan rayung cuma perlu modal Rp.1500.000 bisa memperoleh setengah tombong
“Kalau dibuat sapu, setombongnya bisa dapat lima belasan sapu rayung. Dijualnya bisa bermacam variasi harganya. Tergantung panjang-pendeknya gagang bambu buat diikatkan ke rayung. Selain bahan rumput rayung, pring kecil seperti buat tongkat pramuka dan tali Ravia,” ujar Rachman asal Ciamis pedagang keliling, Minggu (3/7/22) di angkringan Solo, “lumayan juga satu sapu bisa dapat sisa Rp.15 rebu.”
Menurutnya, sekarang tak banyak keluarga yang memilih beli sapu rayung. Sebab, katanya menambahkan, rayung tergeser dengan bahan plastic halus yang dibeli di toko kelontong atau mall. Matinya perajin sapu rayung jelas lama-lama mati dengan sendirinya tergeser kemajuan modern sapu plastik. Persaingan biznis dagangan saat ini lebih mematikan dibandingkan dengan pesaing penjual sapu lidi, sapu ijuk atau sabut kelapa.
“Jaman modern seperti sekarang bikin biznis tradisional penjual sapu rayung mati lebih awal. Kalau pesaingnya dengan sapu lidi dan sabut kelapa, ndak masalah. Lha ini lawannya pabrik, jual sapu plastic. Tentu saja, mati semua. Peranjinnya juga udah ogah-ogahan memproduksi sapu rumahan,” katanya
Bisa dimengerti bila kecepatan mematikan pedagang rumahan sapu rayung semakin menggila. Lihat saja di daerah penghasil dan perajin di wilayah jawa barat, semua pelan-pelan gulung tikar. Terlindas sapu berbahan dasar sintetis. Apalagi, sapu sintetis dikesankan modern, berbeda dengan sapu rayung buatan anyaman tangan unit usaha kecil menengah (UKM) rumahan yang tidak rapi.
“Lebih cilaka lagi, selain hyarus bersaing dengan sapu sintetis, pesaing berat pedagang sapu rayung juga berhadapan dengan penyedot debu,” ujar pengamat peneliti social, IMSS, Eddy Je Soe. “Apa mau dikata, kemajuan jaman jelas berada di depan mata, sejak tahun 80-an lalu. Itu yang tidak diantisipasi para perajin. Tidaklah mengherankan bila produk perajin sapu rayung yang banyak menolong kaum disabilitas, termasuk tuna netra pun akan terjengkang dengan kehadiran sapu snar plastik yang dijual di pelbagai super market. Meski hasil untuk membersihkan lantai kotor bila disapu dengan sapu rayung tak kalah dengan sapu terbuat dari snar plastik. Memang sangat ironis bila kemudian perajin tidak bisa melihat peluang memasarkan sapu rayung ke pelbagai mall dan toko modern. Persoalnnya untuk menjadi pemasok dagangan hasil perajin sapu rayung ke toko modern tak segampang membalik tangan. Mestinya lewat pemerintah daerah setempat ikut turun tangan memasarkan sapu rayung perajin pinggiran kota, bukan malah membatasi penjualan mereka ke super market, lantaran kalah bersaing dengan sapu snar plastik. (cokorda dari Bali / eddy je soe dari Solo)
No Comment