Synesthesia, adalah kondisi dimana persepsi seseorang tercampuraduk ketika menyikapi fenomena reil yang dilihat. Melihat angka disertai warna, mendengar musik disertai warna, atau tekstur benda tertentu menciptakan “rasa di lidah” yang berbeda. Tetapi kalau keindahan itu hanya berupa ilusi bercampur dengan persepsi seseorang, itu yang berbahaya. Apalagi disertai, senyum tak tahu apa yang membuatnya tersenyum.
Daya kayal yang keterlaluan tentu bukan salah satu penyakit “kenthir” alias kurang waras, tetapi bisa jadi orang bersangkutan sedang mengalami synesthesia. Dalam istilah kedokteran merupakan gangguan syaraf neurologi dalam mengakses informasi yang dilihat dan kemudian diinterpretasikan berbeda apa yang dilihatnya.
“Synesthesia is a neurologically based condition in which stimulation of one sensory or cognitive pathway leads to automatic, involuntary experiences in a second sensory or cognitive pathway.”
Lantaran koneksi sensoris antara syaraf otak dan mata tidak sinron saat memberikan informasi, terjadi kekacauan yang akhirnya menimbulkan kesesatan persepsi seseorang ketika menangkap ide dasar. Bisa saja, tiba-tiba seseorang merasakan minuman anggur rasanya persegi, atau bilang kalau angka lima kenyal seperti permen karet. Bisa juga dibilang seperti tiwul.
Kekeliruan menangkap sign informatif yang terekam sesaat persepsi dari sebuah ide dasar, acap kali orang lain menerka yang bersangkutan sedang mengkayal. Atau bahkan sedang mengalami flay akibat obat bius. Bahkan menuduh “kenthir” alias tidak waras. Padahal bukan.
Memang tak banyak ahli kedokteran saraf dengan sertamerta menyatakan orang dimaksud sedang mengalami gejala kelainan synesthesia. Kami kira bisa dimengerti, mengingat gejala pengindap Synesthesia baru mengemuka akhir abad ke 19 dan mulai mendapat perhatian sebagai fenomena menarik diteliti. Padahal, sebenarnya, fenomena kejiwaan itu pernah ditulis secara ilmiah sejak 300 tahun lalu.
Penelitian ilmiah yang dilakukan ilmuwan Inggris, Francis Galton, meneliti setelah menjumpai seorang tuna netra mampu mendengar suara bunyi terompet pada orang yang sedang mengalami cacar air. Penelitian Galton mengindikasikan bahwa bentuk synesthesia paling umum yakni fenomena mendengar warna seseorang sedang sakit.
Hasil penelitian Galton cukup lama terlupakan dari debat ilmu pengetahuan. Untungnya, pada akhir tahun 1970-an, gejala synesthesia kembali menyeruak lantaran peneliti otak terkemuka sekaligus pakar ilmu saraf, Dr Richard Cytowic, pendiri rumah sakit Capitol Neurology di AS, kembali mengemuka.
Saat Richard Cytowic sedang makan malam di sebuah rumah makan, ia mendengar seseorang yang nyeletuk kalau rasa ayam yang disantapnya kurang banyak titiknya. Tentu, Cytowic penasaran dan menanyakan pada temannya, mengapa ia menyatakan hal itu. Temannya mengakui, ia memiliki persepsi bentuk pada rasa makanan yang berbeda dengan orang lain yang tidak berpikir seperti itu.
Tentu saja, temannya mengeluh dan menyangka ia gila atau sedang kecanduan narkotika, lantaran persepsinya yang tidak lazim itu. Lebih menyengangkan lagi, kondisi kelainan persepsi itu diidapnya sejak ia lahir.
Temannya juga mengeluh, tidak ada satupun dokter menganggap fenomena itu sebagai penyakit. Dr.Cytowic langsung teringat pada penelitian Galton mengenai gejala synesthesia. Ketika temannya diberitahu, bahwa ia tidak sendirian, karena cukup banyak yang mengidap kelainan tsb, barulah temannya merasa lega.
Merasa penasaran, Cytowic melanjutkan penelitian lebih mendalam tentang gejala synesthesia. Hasil penelitian Cytowic menemukan kelainan persepsepsi sekitar 90 persen penderita sinethesia penyebabnya adalah penyakit keturunan akibat kelainan pada kromosom X. Dan pengindapnya tergolong cerdas dan kidal.
Pengidap Synesthesia bukanlah sakit jiwa, tetapi kelainan yang disebabkan tercampurnya persepsi pancaindera. “Para penderita bisa diibaratkan menangkap persepsi lingkungan lebih luas ketimbang orang normal. Mereka hidup dalam dunia yang lebih beraneka warna ketimbang orang normal,” papar dia, “gelombang otak manusia sangat berbeda signifikan dengan kurva gelombang otak manusia normal. Jadi jangan kaget kalau melihat orang senyum sendiri. Anggap saja dia tersenyum dengan mahluk lain. Atau jangan-jangan ngajak senyum kamu, lantaran eLoe dianggap dewi Venus yang menarik hatinya. Siapa tahu” (eddy j soetopo/berbagai sumber)
No Comment