Jangan sekali-kali membandingkan ajang unjukpameran seni di Solo dengan Venice Biennale di Venizia, kalau tidak mau, kebeset muka seniman kota Bengawan di depan seniman sejagat. Lantaran tak ada satupun, karya seniman Solo yang dapat dibangga-banggakan dan dielu-elukan penonton membanjiri setiap pameran yang digelar di kota budaya. Apalagi para penonton diharapkan memberi apresiasi karya seniman kota Solo.
Harap maklum, ujar salah satu penggagas seni lintas budaya, orientasi para seniman dan penyelenggara ajang pameran seni di Solo yang dikejar melulu duit. Mereka, para seniman bukan mengejar ‘just do it’ dalam berkesenian. Menurut Gembong, pencetus gagasan SIEM, bila para seniman hanya berorientasi mengejar duit, jelas semakin absurd pijakannya dalam memahami seni untuk seni.
“Jelas beda dong apresiasi penonton terhadap karya para seniman Solo dengan seniman luar negeri. And jangan membandingkan juga dengan karya-karya yang dipamerkan di Venesia dalam Biennale,” ujar dia sembari ngakak, “uteknya para seniman kan lebih banyak dipenuhi kalkuator buat menghitung untung-rugi, bukan memamerkan seni. Bukan seni untuk seni, tapi seni buat ngisi weteng.”
Menurut Gembong, bila di negara Italia kenapa pertunjukan berbagai event seni diapresiasi orang lain dari berbagai negara, kenapa di Solo tak mampu menyedot pengunjung dari luar negara penyelenggara. Lantaran para seniman yang datang pada Biennale di Vinesia tidak berpikiran cari duit, tapi hanya ingin memamerkan karya seni. “Makanya pameran seni Biennale terselenggara lebih dari 120 tahun. Dan menjadi agenda paling bergengsi sejagat,” katanya.
Menurut dia, sejarah La Biennale di Venezia dimulai sejak tahun 1895 dengan menggelar seni seni peran seni akting, musik, dan teater. Baru pada tahun 1930 tercatat sebagai festival film pertama tersenggelara. Baru kemudian pada 1980 digelar pameran arsitektur internasional pertama yang diikuti arsitek berbagai genre. “Baru kemudian di tahun 1999 mulai seni dance melabrak La Biennale di Vinesia,” katanya.
Pengamat seni dari Rusia, Igor Resetov menilai penyelenggaraan Biennale tak bisa dianggap enteng. Lihat saja peserta yang ikut memamerkan karya seni di Venice dari berbagai negara bukannya berkurang, tetapi semakin banyak. Bukan hanya datang dari negara-negara barat dan scandinavia, tetapi juga datang dari negri Asia.
“Hal itu yang menjadikan ajang pamer La Biennale bergengsi dan dapat berahan lebih dari seabad,” ujar Igor pada kontributor sarklewer.com, Nicole Sacarovic,”di Rusia dan negara lain yang dijuluki negri para seniman tak mau ketinggalan memamerkan karya seni.”
Padahal yang dipamerkan, menurut Igor bukan melulu bergere seni murni menawan, tapi justru lebih banyak seni kontenporer. “Sungguh sangat menarik dan variatif. Hal itu menunjukkan seni tak bisa dibendung dengan melulu bergenre tertentu. Itulah hal yang paling menarik di ajang La Biennale 2017,” pungkas dia (nicole sacarovic/eddy je soe).
No Comment