Setidaknya dua film yang memberi pelajaran bagaimana cara terbaik membongkar kasus dari perspektif lewat amatan kacamata jurnalis. Film pertama barangkali perlu ditonton dan menjadi cotoh wartawan dalam melakukan investigasi yakni ‘All The President Men’ (1976), yang melambungkan nama wartawan beneran, Bob Woodward dan Carl Berstein. Baru kemudian, film sejenis berkisah tentang kerja jurnalis dalam melakukan investigasi menerobos sakralitas lembaga gerejani yang tidak gampang dilakukan dalam film ‘Spotlight’ (2016).
Kedua film tersebut setelah tayang di gedung bioskup, ‘All the President Men’ tampaknya memiliki gaung kuat hingga menggoyahkan institutsi kredibel dalam sistem pemerintahan negara adidaya Amerika Serikat, Richard Nixon, presiden saat itu, terpaksa mundur akibat gempuran gaung film itu. Sedangkan pemutaran film ‘Spotlight’ yang mendapat penghargaan pada festival film Venise dan Toronto, dan ditonton jutaan orang memiliki efek domino yang menggoyahkan tatanan sakralitas gerejani. Konsekwensi tak kalah mencengangkan, pastur kepala dalam jajaran pemerintahan di vatikan diberhentikan tidak lagi menjadi memimpin misa liturgi gerejani. Kedua film tersebut menurut hemat saya pantas dicermati dengan teliti. Bukan lantaran kasusnya, tetapi cara melakukan investigasi kedua kasus itu.
Bila dalam kasus di film ‘The All President Men’ meski umpan awal untuk melakukan investigasi lebih awal, datang dari tangan tersembunyi Feedthrough yang memberi data-data kasus yang melibatkan Richard Nixon. Sedangkan pada film ‘Spotlight’ data awal dia peroleh dari desas-desus pelecehan sex pada anak-anak gerejani yang dilakukan pastur, dan kemudian didalami tim spothlight. Bagi saya, film yang menceritakan kasus pelecehan sexual anak dalam institutsi gereja sungguh dahsyat efeknya.
Bukan hanya memporandakan keagungan lembaga gerejani yang dianggap sangat sakral, tetapi juga menghancurkan masadepan korban pelecehan. Ironisnya bukan hanya beberapa orang yang menjadi korban, tetapi juga terjadi di beberapa gereja di belahan negara lain, selain di Boston Amerika Serikat. Karya film investigasi bergenre kisah nyata itu memang pantas diacungi jempol kinerja crew dan bintang film utama seperti Mark Ruffalo, Michael Keaton, Rachel McAdams, Live Schreiber dan Stanley Tucci.
Peran para actor yang bertindak seolah-olah jurnalis berpengalaman Boston Globe berhasil menerobos barikade rintangan yang tak mudah dilalui ketika harus mewawancarai narasumber di pengadilan, pengacara, dan korban satu per satu dan menjanggong di kantor, bukan pekerjaan sembarangan. Apalagi mewawancarai orang nomor satu dalam hirafki pasturan yang dituduh sebagian pengembala umat dan melakukan pelecehan sexual. Sungguh sangat menohok Nurani. Tidak hanya para penonton film, berhaluan sama kepercayaan yang dianutnya, tetapi juga merasakan pahitnya tuduhan yang dilontarkan anak-anak di gereja sebagai korban.
Memang melakukan kerja investigative dalam jagad jurnalism bukan suatu hal yang dapat dilakukan sambil lalu. Selain memakan waktu lama, juga prasarana dan sarana penunjang dana buat wira-wiri tidak mudah disetujui pemilik modal dalam corporate bila tidak mendatangkan keuntungan. Tidak hanya itu, jurnalis yang ditugaskan melakukan investigasi pun bukan sembarangan wartawan hingga ditunjuk untuk melakukan pekerjaan beresiko tinggi. Dapat diibaratkan, kaki kiri melangkah bila keliru berada dipinggir lobang kuburan dirinya, kaki ankanan tergeletak bersimbah darah tewas lantaran melakukan investigasi.
Rasanya jurnalis muda perlu menyimak dan berusaha menjadi wartawan investigasi prima. Kalau memang perusahaan Anda berani dan berkeinginan melakukan investigasi kasus, belajarlah cara menerobos narasumber, mengumpulkan data, mencari fakta dari dua film lawas itu. Sehingga kasus-kasus besar, bila memang perlu diungkapkan, just do it.
No Comment