Siapa yang tak sakit hati mendalam ketika ingatan masalalu berkelebat mengulang sejarah kelam Romusa dan Jogun Ianfu. Tidak juga cicit bangsa ini tersayat hatinya, mendengar cerita dan bacaan sejarah nir pembelokan yang menelanjangi kebrutalan tentara dainipon Jepang ketika kaum perempuan negeri ini dijadikan budak seks.
Andai saja sejarah itu terbelokkan cacat, persis ketika negeri ini dilanda prahara bunuh-membunuh dalam peristiwa 1965, tentu jalan raya Anyer-Panarukan yang dibangun sang diktator Gubernur Jenderal Belanda, Daendels, tak terwujud. Kebiadaban tentara Jepang dalam Jogun Ianfu tak’kan terungkap. Cucuran darah dan airmata duka, bukan hanya sekali terjadi di tanah Jawa. Berulangkali terjadi dan bangsa ini terjajah oleh kemurkaan bejat tanpa dapat dicegah.
Belum usai Daendels memaksa jelata menderita membangun jalan, giliran penjajah Jepang memperlakukan perempuan Indonesia di luar batas nalar sehat manusia normal, menjadikan mereka sebagai perempuan penghibur. Bukan hanya fisik harafiah manusia yang dilecehkan, tetapi juga martabat sebagai mahluk pun dibanting dan dilecehkan habis-habisan. Gambar itulah yang difisiualkan lewat gerak penari, meski tanpa derai airmata duka sebagai fragmen dihadirkan di depan generasi milenial gen Z di Balai Soedjatmoko.
Untungnya, generasi melenial penyaksi pertunjukan, tetap lapang dada, perhelatan yang merobek koreng kebiadabpan tentara Jepang, tanpa getam. Cara penafsir penonton tari pun tak dibatasi lungguhan kursi empuk; mereka bisa saja ngadeg jejeg atau ndeprok di depan panggung selasar sembari mengenang keganasan tentara srengege njedhul, Jepang.
Cara mentransendensikan kepahit-getiran itulah yang diungkap para penari Iafu di selasar bekas rumah intelektual Soedjatmoko. Melalui gerak-tubuh tari kontenporer, sutradara tari dan koreografer Dwi, berusaha memompa rekan penari semaksimal mungkin menjlentrehkan perasaan sakit hati para korban secara fisual kasat mata.
Gerak tubuh, dalam terminologi Ariel Haryanto, bisa saja merefleksikan kondisi penanda masalalu ke persoalan kekinian, terpaparkan ke khalayak. Sama halnya peristiwa dicoba disiluetkan melalui film. Beda Ianfu degan filming, bila memang pernah diangkat menjadi film, tentu bak jalan yang dibangun para korban romusa ketimbang ditarikan. Meski demikian, tak semua sutradara dan pemodal berani mengangkat cerita pilu Ianfu.
Gerakan tubuh meliuk-liuk ketika penari menerkam ingatan masalalu jelas menggambarkan peristiwa pemerkosaan habis-habisan yang dilakukan serdadu Jepang. Kengerian wajah ekspresif mencuat tanpa discenariokan laiknya bintang film ketika manggung di depan cameraman, jelas tak bisa dipandang sebelah mata. Dan itu hanya bisa dilakukan para seniman tari ketika mengejawantahkan peristiwa masalalu ke hadapan penonton generasi melenial.
Bukan hanya liuk sensual saat menghadirkan rekaman peristiwa di kam pengungsian Ianfu yang dihadirkan, termasuk penjatuhan diri dan ngangkang seolah penggambaran ke penonton dihadapkan pada persoalan peristiwa mengenaskan jaman dijajah Jepang saat melakukan perkosaan massal di depan banyak mata orang lain.
Tak dapat disangkal keenam penari beserta sutradara dan koreografer Dwi Surni itulah, boleh dikatakan rol panggung, pertunjukan tari gagrag kontenporer bertajuk Ianfu. Bukan hanya penari dan sutradara tari yang pantas diacungki jempol, penata musik pelatarbelakang mengkompliti pertunjukan dan berhasil mencekam merobek-robek gendangtelinga penonton hingga usai. Sungguh pertunjukan tari yang mencekam dan menyayat (eddy j soetopo)
No Comment