Benarkah Pintu Lawang Sewu Jumlahnya Persis Seribu


Bangunan lawas Lewang Sewu yang dibangun arsitek Londo

Andai saja Belanda dulu tidak kepikiran membuat jalur rel kereta api yang membentang dari Betawi ke Semarang, sebagai jalur distribusi rempah-rempah, tentu kagak ada sebutan gedong magrong-magrong Lawang Sèwu. Lantaran VOC ingin membuka jalur utara Betawi-Semarang dekat dengan laut dan dinilai menguntungkan pemerintah walondo membuka kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atawa NIS dibangunlah gedung berpintu tinggi nan lebar pada tahun 1904.

Berdiri di tengah kota Semarang, di bangunan yang berada di bunderan Tugu Muda, wong Londo menyebutnya Wilhelminaplein, baru rampung setelah dibangun tiga tahun. Banyak orang mengira pembangunan gedung itu dibuat untuk opsir tentara londo yang nginep bersama bedinde hasil ngajhul rumah penduduk desa. Tentu mereka tidak bodoh memindahin para bedinde, kalau lewat satu pintu, makanya dibangunlah gedung berpintu seribu termasuk daun candela.

Lawang sewu dulunya markas tentara Londo

Lantaran orang lawasan di Semarang and Solo Tigo, jarang yang bisa baca-tulis dan tidak mempunyai alat hitung kalkulator maupun siphoa, buat hitung-menghitung, mereka percaya bangunan itu memang berpintu sewu, meski belum tentu betul sebanyak itu. Saking takjubnya bangunan dengan lawang –pintu— dan candela sewu hingga kini tetap dikukuhkan sebagai bangunan cagar budaya.  Nah kalau seperti itu, siapa yang diuntungkan? Pemerintah atau kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI), jelas Negara republic indonesia’bukan.

Usai tentara londo kocar-kacir minggat dari Semarang, bangunan megah lawing sewu pernah menjadi kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV Diponegoro), dan juga menjadi Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Perhubungan Jawa Tengah. Cerita dari mulut ke mulut, pada masa gontok-gontokan waktu peristiwa pertempuran lima hari di Semarang, 14-19 Oktober 1945, gedung yang dihuni sebagai markas tentara Jepang alias Kempetai dan Kidobutai, digenangi darah para pejuang dan wong kate dari Jepun.

Lantaran itulah, banyak orang yang kebetulan lewat di depan lawing sewu sering melihat bayangan tentara londo dan jepang berunding di bawah pohon dan cangkruk di anaktangga gedung lawing sewu. Menurut penuturan mbah Naryowandri Ceking, 80 tahun, mantan veteran opsir londo yang kalah perang dengan prajurit tentara, mengaku sering kepegok tentara jepang diseret-seret orang lain. “Saya sering lihat itu. Wong kejadian dulu saya juga ikut membela opsir londo. Tapi kalah perang sama tentara rakyat. Masih untung saya ndak diapa-apakan. Kerna memang ngaku pakai sepatu jengle tentara Negara,” katanya ditemui di Lemah Gempal, Semarang

Di lorong inilah opsir Londo sering mendem usai berperang

Warga masyarakat sekarang yang tinggal di sekitar Lawang Sewu, menurut Naryowandri Ceking, nemu enaknya tapi tidak mau ngrekoso membela Negara. Padahal kalau mau bekerja keras, tentu bangunan gedung Lawang Sewu sudah moncer pamornya sejak dulu. Padahal kalau dipikir-pikir, perjuangan kaum republiken tidak sia-sia mempertaruhkan darah untuk memerdekakan bangsanya. Toh setelah merdeka, kenyataannya acap belum tak bisa menikmati kemerdekaan bangsanya. Buktinya Naryo sampai pada titik kehidupan, tetap sebagai sopir truk, meskipun dulunya ikut mengangkat senjata. “Memang bapak saya dulu ikutan turun lapangan berperang lawan tentara belanda. Setelah merdeka, tetap saja sebagai sopir truk. Meski truk tentara. Dapat pensiun lumayan bisa memperpanjang nafas, nyekolahin putu-putunya. Itu dulu. Sampai sekarang yang membekas, foto-foto lawas waktu pakai topi baja bawa senjata laras panjang.”

Memang tak bisa dipungkiri,gedung tua ini menjadi lokasi pertempuran yang hebat antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai, Jepang. Usaha melestarikan nilai sejarah yang dilakukan pemerintah Kota Semarang patut diapresiasi. Walikota memutuskan Lawang Sewu termasuk sebagai salah satu dari 102 bangunan kuno bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi melalui SK Nomor 650/50/1992 pantas diacungi jempol.

Paling tidak bangunan tua tersebut, setelah beberapa kali mengalami konservasi dan revitalisasi Unit Pelestari Benda dan Bangunan Bersejarah, tak bisa lagi diutak-atik seenaknya berubah fungsi. Sehingga bangunan lawas, dulunya bernama Het hoofdkantor van de Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij yang berdiri megah di jantung kota Semarang yang dibangun 27 Februari 1904, biar menjadi sejarah masalalu. hoofdkantor van de Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij. Paling kurang gedung berpintu seribuan itu, yang didesign Prof Jacob F Klinkhamer dan B.J. Quendag yang digambar di Amsterdam tahun 1903, tetap berdiri kokoh. Siapa tahu suatu saat nonik-nonik Londo keturunan arsitek itu datang berkunjung ke Semarang naik spoor ingin menghitung pintu di gedung Lawang Sewu, benar apa tidak jumlahnya. Ngeyelan itungen dewe (thomas desanto/eddy j soe)

Inilah legenda perkeretaanapi di semarang masalalu dan saat ini

Previous Golongan Darah ABO Dan Rhesus Lebih Penting Mana?
Next Berjibaku Menantang Angin Menghidupi Keluarga di Musim Pandemi Covid-19

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *