Pungtik Laweyan


Solo Batik Fashion Penerus Masalalu Kejayaan Pembatik

Setiap pelancong yang ingin mipiek batik ke Solo, juga yang ingin mloka-mlaku ke Pungtik (kampung batik) Laweyan, pasti sebel lantaran bingung gak tahu arah.  Nyebelinnya, tak semua warga Solo yang tahu lokasi persis kampung cikal-bakal para penggiat urusan batik-membatik Laweyan. Paling banter cuma ngancer-ancerin lokasi di sebelah tenggara dekat dengan batas Kota Solo-Kartosuro.

Padahal kalau kampung eksostik Laweyan, sebagai penyimpan sejarah panjang kejayaan saudagar –pengusaha besar– batik pribumi Laweyan, jelas akan moncer lagi.  Tidak hanya itu, di kampung entu pulalah pernah menoreh sejarah perjuangan Syarekat Dagang Islam (SDI) yang dipelopori Samanhudi bisa menjadi bahan kajian serius. Kejayaan masa lalu para pendekar perajin batik itu pulalah, saat ini masih dapat dilihat di kawasan Laweyan dan masjid Samanhudi meger-meger berdiri kokoh.

Perempatan Pungtik Laweyan (courtesy kesolo.com)

Selama lebih dari setengah abad kampung batik Laweyan masih bisa dinikmati sisa kejayaan saudagar pribumi tempo dulu. Lorong-lorong sempit dengan tembok menjulang kusam, rumah tua tradisional gaya Jawa, Eropa (Indisch), China dan Islam mengingatkan kawasan Laweyan tak bisa dianggap remeh-temeh. Lebih unik lagi, rumah-rumah dilengkapi dengan bunker, semacam lorong bawah tanah, yang saling menghubungkan satu dengan lainnya.

Kejayaan masalalu Pungtik Laweyan, bisa jadi tetenger sejarah mbokmase mengerahkan peranjin batik menuangkan canthing menorehkan malam di atas kain blacu. Mencetuskan gagasan motif batik asli Solo, seperti Parang Kusumo, Parang Kembang, Parang Rusak, Parang Barong, Truntum, Srikaton, Satrio Manah, Wahyu Jati dan Tejo Kusumo. Design corak batik itulah yang membedakan gagrag batikan Ngayogyokarto.

Sekarang, tak lagi yang bisa membedakan gagrag Njogyo atau batik Solo, lantaran masa keemasan Pungtik Laweyan nyungsep sakwisnya industri batik printing dari Chino melabrak perkampungan mbokmase di Laweyan pada tahun 1970-an. Jelas industri teknologi printing yang berorientasi pada produk massal, ngobrak-abrik tatanan gaya batik canting tangan.

Sisa Kejayaan Masalalu Pungtik Laweyan (courtesy menujusolo.com)

“Situ bandingin saja kalau batik tulis sejak canthing ditiup dan tangan menggores mori sampai jadi jarig atau kebaya, perlu waktu 2-4 bulan untuk menyelesaikan selembar kain batik,” ujar mbokmase Sroepijah semengit, “batik cap bisa sampai 20-30 kodi sehari. Apa ndak uteqnya koplak tukang batik tulis.”

Ketika kapitalisme merangsek lewat industri batik printing, batik Laweyan benar-benar modhiar. Masa keemasan batik di Pungtik Laweyan tuntup-kuthep-thep. And mbokmase tinggal geleng-geleng judeg. Saksekarang, rumah-rumah besar di Kampung Batik Laweyan yang dulunya menjadi tempat nyambut gawe mbatik, menjadi pajangan batik campur, tulis dan printing. (eddy j soetopo/Budi Rahayu)

Previous Jangan Pakai High Heels Hak di Depan
Next Boris Sokolov Wartawan Perang Bubat

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *