Saya sering Jengkel sendiri melihat Pegawai Negeri sering bolos kerja, dan suka keluyuran menghabiskan waktu tidak keruan padahal jam kerja kantor. Itulah ucapan seorang guru, dosen, filsof dan sekaligus penulis buku, ketika diwawancarai jurnalis yang baru magang di Tabloid Kampus, sebilan belas tahun lalu di kediamannya Jogyakarta. Berikut naskah lawas yang pantas digelondorkan ulang.
Tak sampai sepelemparan batu, kira-kira sekitar lima puluh meter dari Hotel Akur, seolah tak mau kalah berdiri tegak mencengkeram, berdiri Hotel Garuda, segagah namanya pembawa lambang negara. Jelas bangunannya pun lebih besar dibandingkan Hotel Akur. Tidak susah menemukan rumah mungil bercat hijau, karena terletak persis di tepi jalan. Nomor rumah pun masih kentara jelas terbaca meski cat rumah tidak baru. Bahkan mungkin lama tak pernah dicat ulang. Sebuah rumah bergaya lama dengan corak minimalis bernomor 50! Sungguh tempat tinggal yang bisa dibilang sangat sederhana di era bangsa ini telah merdeka lebih dari 65 tahun.
Berbeda dengan suasana disekitar bangunan yang nyempil, diluaran tampak terlihat kesemrawutan laiknya kota pelajar ketika kaki menginjak ke dalam rumah sederhana itu. Sungguh sangat berbeda, bak bumi dan langit bila kita berada di dalam rumah itu, ada sesuatu yang berbeda. Seakan suasana rumah hendak menawarkan atsmosfir lain dari kehirukpikukan pelbagai persoalan diluar sana. Kepengapan orang yang dipaksa menghirup asap kendaraan warna pekat jelaga, melihat anak muda berstatus mahasiswa yang mencoba belajar mencari penghasilan nyambi berdagang dihantam terik matahari, jelas berbeda ketika telah berada di teritisan rumah nomor limapuluh itu.
Ketenangan di sekitar rumah itulah yang sering dilirik anak mahasiswa ingin menyaksikan dari dekat siapakah pemilik rumah teduh bernomor 50 itu. Mereka acap berbisik-bisik antar mahasiswa yang sedang mengikuti kuliah di UGM ingin ngekos di rumah aneh tapi nyaman itu. Selain sepi dan tidak gaduh, menurut salah satu mahasiswi Lielien asal Solo, juga nyaman buat ndongo malam hari asal tidak angker. Bisa saja meraka beranggapan seperti itu, lantaran dari luar pagar rumah tak tampak pemilik seperti kebiasaan rumah-rumah lain di Jogya. Bisa jadi rumah itu tidak berpenghuni atau si empunya rumah sedang tidak berada di tempat. “Jangan-jangan itu rumah angker. Sungguh sangat kontras dengan rumah lain,” ujar Dewi rekan kuliah di Gama.
Bisa jadi prasangka anak-anak mahasiswi yang sering lewat di sebelah rumah itu benar, tetapi bisa jadi keliru. Sebab, menurut Lilien, ketika ia pernah menyambangi pemilik rumah berpura-pura ingin mengekos, ternyata penghuninya seorang dosen di Gama. Lilien menceritakan, dengan teliti ia mengira-ira ruang tamu di dalam rumah ku lebih luas kuranglebih 3×3 meter dengan perabot seadanya, satu set kursi tamu tua yang sederhana. Tak ada hiasan dan pernak-pernik layaknya rumah pada umumnya.
Tak terdengar ingar-bingar suara berisik dari televisi maupun tape recorder dan VCD player, yang ada keheningan ruang yang dijaga rak-rak buku. Sebuah kemewahan seorang terpelajar yang memajang pelbagai buku di atas rak jumbo koleksi pemilik rumah. Justru yang lebih mengherankan rumah berdiri di tengah kota yang biasanya mentereng dengan segala perabotan modern, tapi rumah minimalis dan sangat sederhana. Siapakah gerangan sang pemilik rumah di tengah kota dengan perabot sederhana, tak lain The Liang Gie.
Sang pemilik rumah sederhana bercat hijau itu ternyata seorang penulis produktif, The Liang Gie. dengan tembok bercat hijau The Liang Gie, pemilik rumah sederhana bercat hijau, seorang penulis produktif yang menelurkan banyak buku-buku di dunia pendidikan. Kiprahnya di dunia tulis-menulis dan penerbitan tidak diragukan lagi. Tak kurang dari 53 buku karyanya menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa Gama dia yang menulisnya.
Satu diantaranya ditulis dalam Bahasa Tiongkok, dua diantaranya dalam Bahasa Inggris dan sisanya ditulis dalam Bahasa Indonesia. Sebagian besar bukunya adalah tulisan yang mengulas tentang ilmu administrasi dan filsafat. Karya terakhirnya, autobigrafi tentang dirinya yang ditulis di Tiongkok saat dia belajar bahasa Tiongkok di RRT (Republik Rakyat Cina) kala itu sebutannya.
Sebelum menjadi penulis sepopuler saat ini, The Liang Gie sebenarnya sosok penakut dan pemalu, berbeda dengan kakaknya yang pemberani. The Liang Gie lahir pada tanggal 25 Agustus 1932 di Yogyakarta. Dia hidup bersama ayah, ibu dan kesembilan saudaranya. Hidup pada zaman penuh dengan berbagai macam pergolakan baik di dalam maupun di luar negeri, perang dunia II, pendudukan Jepang, Proklamasi Kemerdekaan RI, pendudukan Belanda di Yogyakarta sampai dengan masalah Irian Barat.
Di luar masalah-masalah politik negara yang memanas, The Liang Gie bersama dengan keluarganya hidup sangat sederhana. Ayah dan ibunya bekerja dengan membuka toko pakaian anak-anak. semua pakaian yang dijual, dibuat sendiri oleh ibunya. Walaupun hidup dalam kesederhanaan, pendidikan sangat utama diperhatikan. Buktinya sesusah apapun zaman itu, The Liang Gie tidak pernah putus sekolah. Semangatnya sangat tinggi untuk menempuh jenjang pendidikan sampai yang paling tinggi.
Suasana politik yang tidak menentu menyebabkan keluarganya berpindah-pindah rumah. Begitu pula dengan sekolahnya. Selama SD dan sekolah menengah pertama (SLTP) dia sekolah di Yogyakarta sedangkan SLTA, dia sekolah di Jakarta ikut pamannya kemudian dia juga melanjutkan sekolah di perguruan tinggi di UGM Yogyakarta. Universitas terbesar waktu itu.
Selama belajar di UGM, The Liang Gie sosok yang rajin mengunjungi perpustakaan. Berbagai buku terbitan dalam maupun luar negeri dia baca. The Liang Gie adalah mahasiswa Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik (HESP) yang selalu haus informasi. Para dosen dan pengajar di UGM sampai kagum dengan semangat dan kemampuan belajar The Liang Gie yang sangat tinggi.
Semangat tingginya itu tidak terlepas dari keinginan kuat segera lulus kuliah sehingga tidak akan terlalu lama membebani ibunya yang membanting tulang bekerja demi menghidupi dia dan saudara-saudaranya. Berkat kerja keras dan keuletannya dalam belajar, The Liang Gie berhasil menyelesaikan kuliah kurang dari empat tahun. Menjadi lulusan sarjana dengan gelar Doctorandus pada usia sekitar 24 tahunan.
Setelah lulus UGM, The Liang Gie bekerja di beberapa tempat. Dari bekerja sebagai Pegawai Daerah Kotapraja Jakarta Raya pada tahun 1956, menjadi pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, pengajar Universitas Negeri Cendrawasih Irian Jaya, pengajar Balai Pembinaan Administrasi UGM sampai menjadi pengajar Fakultas Filsafat UGM.
Tidak ketinggalan, profesi sekaligus obsesi yang ditekuni hingga mengantarkan dia menjadi sosok yang terkenal seperti saat ini. Menjadi penulis. Meskipun, bukan popularitas yang sebenarnya dia inginkan. The Liang Gie hanya berusaha menyalurkan “obsesinya.” Dia adalah sosok perfectionist yang mampu mewujudkan segala macam impiannya menjadi benar-benar nyata dan terwujud.
Namun di balik itu semua The Liang Gie percaya dengan keberuntungan. Baginya semua kesuksesan yang dia peroleh tidak akan bisa terwujud bila “Dewi Keberuntungan” tidak berpihak padanya. Berulangkali dia menyebutkan keberuntungan sebagai pembawa pencerahan ketika dia menghadapi suatu kendala. Awal keberuntungan dimulai dari saat kakaknya yang menjemput dia di kamp pengungsian di Semarang saat tentara Belanda menyerbu Yogyakarta.
Waktu itu kondisi politik di Yogyakarta sedang kisruh akibat pertempuran antara tentara Indonesia melawan Belanda. Peristiwa ini yang kemudian dikenal dengan “Pertempuran Enam Jam di Jogja.” Akibat peristiwa itu, The Liang Gie bersama dengan keluarganya terpaksa mengungsi ke Semarang. The Liang Gie lalu dibawa kakaknya ke Jakarta tinggal bersama pamannya. Di sana dia disekolahkan. Bila waktu itu kakaknya tidak membawa ke Jakarta, dia yakin tidak akan menjadi seperti sekarang ini, bisa bersekolah sampai dengan meraih gelar akademik yang dia idam-idamkan. Setelah itu keberuntungan-keberuntungan lain muncul, diterima menjadi pegawai pemerintah, mendapatkan beasiswa untuk menempuh kuliah di luar negeri sampai dengan memiliki keluarga yang dia cintai.
Bagi The Liang Gie, keluarga adalah segalanya. Tentu saja disamping obsesi-obsesi dalam hidup yang selalu bisa membuatnya untuk terpacu untuk maju. Kemanapun dia berada, keluarga harus selalu ada di sampingnya. Dia beranggapan bahwa ayah yang baik adalah ayah yang bisa mempertahankan keluarganya untuk berkumpul. Seberat apapun itu dia akan selalu mengusahakannya. Maka saat dia mendapatkan beasiswa dan disekolahkan di luar negeri, The Liang Gie membawa serta isteri dan anak-anaknya. Tentu hal ini bukan hal mudah. Terutama dari segi materi dimana dia harus mengeluarkan uang ekstra demi keluarganya bisa tetap “bersatu.”
Diakui oleh The Liang Gie bahwa dirinya adalah pribadi yang sederhana dan hemat. Dia tidak pernah senang memakai pakaian-pakaian mewah atau makan makanan yang dengan harga yang sangat mahal. Baginya sudah cukup ketika dia sudah bisa makan sayuran dan buah serta air putih. Pepaya dan daun kubis sudah cukup menurutnya. The Liang Gie juga percaya apa yang dia makan justru lebih sehat dibandingkan makanan-makanan mahal lainnya. Dia lebih rela menghabiskan sekian ratus juta uangnya untuk sekolah ketimbang hanya memenuhi kebutuhan materi dan hanya sekedar mendapatkan pengakuan dari masyarakat bahwa dia sukses.
Dalam hidup, The Liang Gie percaya bahwa manusia mengalami kedewasaan pada usia 21 tahun sedangkan fase kehidupan manusia meliputi lima tahap kelipatannya. Dia ingin menerapkannya. Dia mempunyai keinginan untuk hidup sampai umur 105 tahun. Makanya untuk mencapai keinginannya tersebut, dia mengonsumsi makanan-makanan sehat.
Dalam perjalanan karier dan hidupnya, The Liang Gie termasuk sosok yang sangat ambisius, optimististis dan perfectionist. Tapi nyatanya sifat-sifat inilah yang justru mengantarkan dia pada gerbang kesuksesan. The Liang Gie yang dulu sewaktu kecil sangat penakut dan pemalu, berubah menjadi singa yang sangat buas ketika dia sudah mempunyai obsesi dalam hidupnya.
Obsesi-obsesi yang selalu bisa melecutnya untuk maju dan ”harus” mengungguli teman-temannya. Bahkan gara-gara obsesi-obsesi yang sering dia buat, dia menjadi punya target dalam hidup. Di saat target itu bisa dicapai, ada semacam kepuasan tersendiri yang bisa dirasakan olehnya sebagai makhluk hidup. Seperti mereguk air di padang gurun yang gersang.
The Liang Gie adalah orang yang suka dengan totalitas. Fokus pada satu pekerjaan sudah menjadi prinsip hidupnya. Dia tidak suka membagi-bagi pikirannya dalam bermacam-macam konsentrasi. Ketika dia mendapatkan sebuah pekerjaan, maka dia akan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan karena obsesinya, dia berusaha bekerja paling baik dan menjadi nomor satu di antara yang lain. Makanya dia seringkali menolak tawaran nyambi bekerja di tempat lain. Karena sifatnya yang konsisten pada satu hal ini, dia pernah menolak untuk mengisi mengajar di perguruan tinggi lain selain UGM.
Ketotalitasan The Liang Gie juga tercermin dari etos kerja yang dia tunjukkan. Dimanapun dia berada dia mempunyai obsesi untuk selalu berprestasi. Semangat berjuang dan kompetisinya sangat kuat dan selalu menyala-nyala. Sebagai seorang pekerja atau pegawai negeri, dalam benaknya dia harus bekerja dengan sungguh-sungguh, rajin dan mempunyai konsep yang matang. Semua itu dilakukan demi mencapai hasil kerja yang optimal.
Landasan kuat saat dia memutuskan untuk menjadi pegawai negeri adalah pengabdian kepada negara dan masyarakat sehingga dalam sepak terjangnya dia selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk pengabdiannya ini.
The Liang Gie sangat membenci sifat-sifat atau mental pegawai negeri yang malas dan ogah-ogahan. Apalagi pegawai negeri yang sering sekali menyepelekan pekerjaannya. Mereka pikir, bekerja atau tidak, toh tetap digaji. Hal seperti itulah yang sering membuatnya jengkel. Apalagi bila melihat pegawai negeri yang telat ke kantor atau pulang lebih awal dari jatah yang ditentukan. ”Saya sering jengkel, melihat dengan mata kepala sendiri mentalitas pegawai negeri di sini,” ujarnya lirih.
Bagi The Liang Gie, disiplin dan konsisten dalam menjalankan pekerjaan merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar. Sikap dan sifat seperti itulah yang menyebabkan dia dikagumi oleh atasan dan rekan sekerjanya. Menurutnya, kedisiplinan, konsistensi dan tanggungjawab dalam mengerjakan sesuatu merupakan wujud ’kebaikan’ dalam hidup. ”Jangan dikira tidak ada korelasi antara menjalankan hidup dengan baik dengan keberuntungan,” ujarnya.
Menurutnya keberuntungan-keberuntungan yang dia dapatkan adalah buah dari sikap-sikapnya yang selalu berusaha menanamkan kebaikan. Selama kebaikan ini selalu dipupuk maka keberuntungan akan selalu datang. Rumus hidup inilah yang saat ini coba digambarkan ketika dia ditanya mengenai rahasia kesuksesan dalam hidupnya.
”Keberuntungan akan selalu berpihak pada orang yang suka melakukan kebaikan,” ujarnya. Ketika Tabloid Kampus ingin mengambil gabar sosok ini, ia menolak dengan halus. ”Maaf sebaiknya tidak perlu Anda mengambil gambar saya.” Apa boleh buat, foto yang terpampang dalam rubrik ini diambil dari back-cover buku The Liang Gie (Lielin/eddy je soe).
No Comment