Entah lantaran warnanya yang hitam legam, ayam yang satu ini harganya tak bisa dipandang sebelah mata. Seekor ayam bisa dibadrol berharga 15-25 juta rupiah, lantaran menurut pengagum Ayam Cemani –sebutan ayam seluruh badanya berwarna hitam kelam itu— dapat menolak pelbagai penyakit dan santet. Konon kabarnya, ayam cemani memiliki kekhasan uniq, selain jarang tidur sore hari, juga tidak pernah rewel pakannya.
Bahkan menurut peternak ayam cemani, Supanggah, 82 tahun, di desa Wingkit, batu jajar pinggir tepi hutan, bukan jenis unggas sembarangan. Ayam cemani dipercaya asal-muasalnya merupakan klangenan kyai sepuh penjaga hutan Mentaok di jaman, Sultan Agung Tirtoyoso, dari keraton mataram menjadi andalan penghalau kerusuhan dan penyakit pes yang pernah melanda di seluruh tlatah keraton
Menurut cerita turun-temurun, saat terjadi pagebluk, wabah penyakit mematikan, pengede keraton Mataram mengundang seluruh kiai sepuh yang memiliki kedigdayaan linuwih –sakti mondroguno– untuk menghentikan penyebab penyakit theksek; alias pagi sakit, siang mati; siang sakit, malam mati. Woro-woro yang digaungkan dari keraton, jelas bagi siapa saja yang dapat membendung penyakit mematikan itu, akan dihadiahi telatah di pinggir alas wingit.
Entah siapa pertama kali menghadap sang kaisar mataram ketika itu, yang jelas kiayi dari pinggir desa Cemani membawa ayam hitam legam seluruh tubuhnya menghadap sang raja. Ingin menumpas reribet marabahaya pagebluk penyakit mematikan yang membuat sengsara. Tidak hanya bulunya berwarna hitam, tetapi juga kaki dan mata unggas aneh itu pun berwarna hitam. Konon diperoleh sang kiyai dari dalam gua alas dipinggir desa cemani. Menurut salah satu pengagum dan pemelihara sekaligus dan peternak ayam hitam itu, dulunya hanya terdapat 13 ekor jantan dan betina.
“Sejak kira-kira tahun 30-an, eyang saya hanya memelihara ayam sedikit. Semua tubuhnya berbulu hitam legam. Dulu dipelihara di sekitar daerah ini. Di desa cemani. Tidak lebih dari 13 ekor. Kalau lebih dari tigabelas, biasanya, ayam yang dipeliharanya ada yang mati dengan sendirinya,” ujar Marsimah Soedirman Pangau, 82 tahun, ketika ditemui di Telawa, pinggir Kedung Ombo, Kamis (13/3/98) lalu.
Seingatan Marsimah, neneknya dahulu memang sering memelihara ayam dan Banyak alias Soang, di desa. Acapkali dia diperingatkan agar berbuat baik pada tetangga sedesa dan diminta memelihara ayam hitam, tidak diperjual-belikan sembarangan kepada orang lain bila tidak diperlukan.
“Pesan nenek saya seperti itu dulu. Entah tidak tahunya punya memang, tidak bisa dipelihara lebih dari 13 ekor. “Kalau lebih dari 13 biasanya mati sendiri. Kata nenek, itu dulu memang buat sesaji di jaman keraton mataram. Menurut cerita nenek, diperoleh sewaktu nepi di desa pinggiran tenggara alas Cemani keraton Solo.”
Entah benar atau tidak, biznis ternak unggas ayam hitam-legam yang dipeliharanya lama-lama susut dan sekarang tidak lagi ditekuninya. Meskipun agak sulit memeliharanya, lantaran menurut wasiat dari keluarga turun-temurun, jumlah ayam yang akan dijual tidak boleh lebih dari tiga belas, ternyata sulit dilaksanakan. Selain tidak banyak orang yang senang memelihara ayam hitam legam, ia kawatir memelihara ayam seperti itu takut akan terjadi sesuatu pada keluarganya.
“Makanya sekarang kami tidak lagi menjadi peternak ayam hitam. Orang lain ngarani ayam cemani. Saking warna seluruh badannya hitam-legam. Entah mengapa dibilang ayam cemani. Menurut cerita, warna badan ayam cemani jadi hitam legam, kata nenek-moyang keluarganya, merupakan konsekwensi dijadikan tumbal santet dan menghilangkan guna-guna. Benar atau tidak, saya tidak tahu.”
Konon kabarnya, tubuh ayam berubah menjadi hitam legam lantaran saking saktinya si ayam menyerap anasir jahat berupa santet atau guna-guna yang akan ditujukan pada seseorang, tetapi tertangkal kalah dengan warna tubuh unggas asal pinggir alas cemani. Entah cerita-cerita dari mulut ke mulut alias folklor itu benar atau tidak, tak satupun literatur yang dapat meyakinkan kebenarannya. Yang jelas, harga ayam cemani dari tahun ke tahun semakin mebumbung. Apalagi dibumbui cerita-cerita mistis yang menyertainya. “Bisa dibayangin harga ayam jago hitam-legam atau jago cemani, dibandrol Rp.25.000.000 menurut saya tidak masuk nalar. Tapi namanya juga biznis, tidak masalah. Mau ada yang beli juga syukur, tidak tidak mengapa. Itu kata teman penjual yang sering membawa ayamnya ke alas wingit Krendowahono,” katanya, “biar sakti. Mau percaya silakan, tidak juga gak masalah.”
Mahalnya harga ayam cemani yang kagak kira-kira membuat banyak orang merasa heran. Harga jual ayam melambaung hingga menyamai dengan jualanan ketika lagi musim daun jemani waktu itu, dan orang rela merogoh kocek dalam hanya untuk membeli ayam hitam-legam yang katanya sakti itu. Faktanya memang harga jual ayam cemani, atau kalau di tempat lain diberi nama Ayam Kedu, itu juga populer di negeri lain seperti di India dan bahkan Amerika Serikat.
Namanya juga hukum biznis, bila persediaan stock tidak mencukupi permintaan pasar, harga jualnya tentu akan melambung setinggi langit. Apalagi ditambah permintaan tak pernah berhenti diminati konsumen apalagi musim pernikahan dan santer santet-menyantet. Meski tak ada angka statistik jumlah ayam cemani di seluruh Indonesia jelang peringatan 17 agustusan ke-75 tahun, tak sebanding dengan jumlah ayam jenis broiler. Jadi pantas’kan kalau harganya meroket.
Nama Produk | Harga Min | Harga Max |
Telur ayam cemani | Rp 80.000 | Rp 100.000 |
Anak ayam cemani | Rp 125.000 | Rp 550.000 |
Harga ayam cemani dewasa asli | Rp 25.000.000 | Rp 40.000.000 |
Catatan: Harga Ayam Cemani atau Kedu diperoleh dari lapak online
No Comment