Lima tahun lalu, jurnalis papan atas mengulas mode tahun 70-an akan kembali mencuat menjadi mode disaat pandemi Covid-19 melabrak hampir semua negara. Munculnya gaya hidup 70-an, yang dulu digemari para pejabat negara setingkat perdana menteri, presiden dan dutabesar semua negara mencerminkan kesederhanaan pejabat negara. Tidak hanya perdana menteri yang gandrung melihat designer lawasan, bahkan presdien pertama Indonesia, Bungkarno pun terkesima melihat sambutan para bintang film negri paman sam, Amerika Serikat, ketika berkunjung ke negeri itu usai dilanda wabah penyakit mematikan pes kala itu.
Hal itulah tolok ukur ditengarai para pengikut mahzab bohemianis yang dianut para artis, penulis, jurnalis, musisi dan aktor di kota-kota besar eropa yang terpinggirkan dan miskin, mulai mengira-ira trend mode tahun ini akan kembali ke era 70-an. Nampaknya penganut mahzab gaya hidup bohemianisme tak bisa dipandang remeh, lantaran memang pilihan memandang politik, sosial dan budaya yang tidak lazim dan bahkan bertentangan dengan gagasan yang diuber-uber warga masyarakat biasa agar hidupnya mapan, tenteram dan sejahtera tapi ditinggalkan para bohemian. Bisa jadi mereka, para pengikut bohemnian, udah telanjur bosen dengan kehidupan mewah, glamour dan mapan itu ingin kembali ke masa-masa kehidupan rakyat pada umumnya yang sedang mengalami kesusahan.
Bisa jadi penyebab utamanya bukan lantaran pemerintah tak peduli terhadap kehidupan rakyatnya, tetapi emang udah dari ‘sono’nya mereka terpinggirkan dan kesusahan alias, kalau boleh dibilang, melarat-rat-rat. Para pengikut bohemian di era pandemi saat ini justru ingin menikmati gaya hidup susah di pojok-pojok dusun dan kampung di seluruh penjuru tanahair negri-negri kaya-raya. Bila pada tahun 70-an mlencuat model bohemian-gypset yang bebas mengalir tetapi ekotis, menurut Lindsay Baker, tahun 2020 tak pelak akan terulang kembali. Mereka tak lagi mengenakan pakaian yang glamour, chick dan mewah, tetapi justru malah melawan arus makai pakaian alakadarnya compang-camping. Hanya saja, di dalam dompet para bohemian itu terselip ‘duit plastik’ yang sewaktu-waktu dapat digesekkan dan tinggal di hotel mewah, toh mereka ogah menggunakannya.
Tak mengherankan bila para selebritas papan atas orang kaya baru atawa Okb, yang tadinya memuja dan mengelu-elukan kehidupan para pesohor multimilyarder tidak mengenali penampilan kaum bohemian yang ‘menyamar’ sebagai wong mlarat saat bertemu dengannya. Mungkin itulah yang menjadi kebahagiaan para penganut bohemian ketika menikmati pergantian musim semi di negeri kaya raya itu. Itulah fenomena tergres dikala dunia dirundung wabah pandemi virus mematikan tahun 2020 ini. Kaum Gypset sebutan bagi penikmat kehidupan gabungan ‘jet set’ dan ‘gipsi’ jelas nyeleneh mengenakan pakaian justru sangat sederhana. Mengenakan jaket broklat coklat kumuh dan celana ala kaum gipsi, mirip tahun 1970-an toh tetap saja, tentu bagi yang mengenal wajah asli para super kongklomerat itu, akan terperangah atas kesederhanaan pakaian yang dikenakannya.
Mengingatkan pada pakaian yang sebelumnya dipakai para kongklomerat kaum Gypset saat berada di Fashion and Textile Museum, karya-karya designer ngetop saat itu seperti Thea Porter yang menjadi langanan Julia Roberts, Nicole Richie dan Mary-Kate maupun Ashley Olsen pada tahun 2000 dulu. Entah lantaran apa yang menjadi penyebabnya, para kongklomerat Gypset itu ingin kembali pada masa-masa dirinya pontang-panting cari makan dan hidup melarat-rat ingin balik ke masa lalunya. Lalu apa yang membuat periode ini menjadi era yang berpengaruh dalam mode tahun 70-an? “Pada akhir 1960-an orang menginginkan perubahan,” Dennis Nothdruft, kepala kurator museum, mengatakan kepada BBC Culture. “Fashion menjadi lebih lembut, lebih romantis, kurang agresif, bebas mengalir. Budaya lain – terutama Afrika Utara dan Timur Tengah – serta nostalgia untuk tahun 1930an dan era Victoria disadap. Dan fashion menjadi lebih selaras dengan musik. “Barbara Hulanicki dan Ossie Clark mungkin lebih dikenal, tapi Thea Porter berada di garda depan,” katanya seperti dikutib Vouge media berpengaruh sejagad itu.
Bagaimana tidak menjadi daya tarik, ulasan Thea Porter bila karirnya di bidang tatadesign rancang-merancang sudah ditekuninya ketika ia hidup di Yerusalem dan Damaskus yang dipengaruhi estetika Timur Tengah. Sebelum menekuni dunia fashion, Thea Porter minggat ke London dan menjalani kehidupan hariannya sebagai pelukis dan beralih ke design interior dan terjun ke dunia fashion saat dia masih culun dan hidup pas-pasan di kota glamour itu. Meski demikian ia ngotot membuka butik di Soho’s Greek Street yang menjadi pusat kaum urban berjiwa pemberontak.
Anehnya, justru grup legendaris seperti The Beatles, Pink Floyd dan Jimi Hendrix malah tertarik mengunjungi toko cap ‘loakan’ yang didanai dari duit ngamen untuk mewujudkan gagasannya sebagai ‘kelas’ pemberontak di bidang mode. Entah mengapa para bintang film papan atas sekelas Elizabeth Taylor juga menyukai faftan besar hasil karya Thea Porter. Tidaklah mengherankan bila karya Porter langsung mencuat setelah para pesohor bintang film dan musisi top-markotop mengenakan hasil karya Porter. Padahal, kalau mau jujur, karya Thea Porter tidaklah memiliki corak dan gaya hidup para selebritas dunia, yang seharusnya menawan dan glamour.
Gilanya lagi Thea Porter justru ngeyel melebarkan sayapnya ke Paris dan Los Angeles. Apalagi saat itu, di pantai barat, secara kebetulan gelombang kontra-budaya baru, dimana gaya kaum jetset lagi ngetop terpampang di toko Giorgio lagi trendi di Hollywood. Bintang Joan dan Jackie Collins, Barbra Streisand, Faye Dunaway, mencuatkan karya ciptaannya, toh keok juga. Apaboleh buat, tak pelak Stresand malahan kepencut memesan serangkaian pakaian karya Thea Porter dan dipamerin di rumahnya nan megahnya
“Thea Porter bisa jadi mewakili gaya ultra modern 1970-an,” kata Nothdruft. “Dia memiliki cara yang berbeda untuk mendekati kehidupan.” So mengapa saat ini ingin kembali melacak jejak haute-hippy gaya kehipies-hipiesan? Bandul lonceng lawas, ujar Nothdruft, tampaknya akan berayun kembali ke posisi lawasan. Penampilan bohemian tahun 1970-an. “Rasanya lebih nyata, jujur dan manusiawi. Di era digital sekarang orang menilai kualitas itu lebih banyak – dan juga menilai pengalaman dan perjalanan mereka. Dan jalan tinggi telah mencapai titik jenuh – itu sebabnya vintage telah menjadi sangat populer.” Ketika virus melabrak menjadi pandemi dengan lebel baru Covid-19 seperti saat ini.
Terserah eLoe deh mau ngikuti dia atau kagak, yang jelas Thea Porter mengakui “Apapun pakaian lain, saya percaya mereka harus menambah kenikmatan hidup. “Ini adalah tampilan yang menggoda, kadang tidak masuk akal,” katanya seperti dikutib BBC Culture. Mbuh sak karepmu.
No Comment