Hobi Batu Akik Kian Menukik


Menunggu Keajaiban Harga Batu Akik Semilyard Seperti Diberitakan

Setelah gaduh musim wit-witan Jemani dibela-belain sampai mati lantaran harganya atusan juta, konon kabarnya daunnya bisa nangis mbrebes-mili, ndak tahunya cuma tepu-tepu. Kegemaran serupa, terpropokasi reregan batu akik mencapai semilyard juga mencuat setelah demam Jamani mati. Isu pun mbandang sampai ke tengah kota dan ndeso pucuk gunung. Petani yang tadinya nyangkul di sawah, tertarik iming-iming harga bebatuan sampai atusan juta, mereka tertarik mencangkul gunung nyari watu.

Bukan batu sembarang batu, kono kabar yang beredar kenceng, tapi batu yang bisa membuat sakti pemiliknya bila dikenakan sebagai bahan akik. Harganya pun, entah digoreng atau mung apus-apus, tahun lalu bisa mencapai atusan juta, toh sak sekarang kutep juga. Alias kagak laku. Padahal gunung bebatuan telanjur dikepras, dan hutanpun kinthir nglundung ngebruki desa tersapu hujan banjir-bandang.

Para pedagang dengan tekun melewati hidup dengan mengosok batu akik (credit eddy je soe)

Gugon tuhon. Ikut-ikutan ndak jelas cara berpikir primordial para penggemar batu, tampaknya tidak menjadi daya tarik sosiolog dan antropolog. Cilakanya para cerdik pandai ogah meneliti kegemaran sesaat masyarakat agraris dan perkotaan terkomporin mulut usil, kenapa bisa seperti terjadi seperti itu. Apalagi, meminjam bahasa gaul, kondisi pemberitaan ndak jelas mangsuk kategorik hoek, ech keliru hoax, cukup menyesatkan.

Mereka ndak mikir kalau cangkeman ngablak ndak jelas, bisa menjadi sumber petaka bagi orang yang hakul-yakin benar. Padahal bokong, ech bohong, bisa berakibat runyam. Lihat saja kehidupan para perajin batu akik di alun-alun Lor, logika waras bila dodol batu akik atusan juta dan banyak pembelinya, jelas mereka tajir. Nyatanya tidak tuh. Justru para pedagang batu akik terjerembab oleh kondisi ekonomi yang sekarat seperti saat ini.

Lebih dari dua jam, tanngannya mengosok batu menggunakan amplas halus basah. Dengan sangat hati-hati kemudian Sutaryo mengusap batu dengan kain planel warna jingga. Bukan batu biasa tentu, bila memperlakukannya sedemikian hati-hati. Memang benar, Sutaryo, 53, siang itu sedang menyelesaikan garapan, mempoles batu giok, pesanan pelanggan dari Jakarta.

Menurut Sutaryo, barang yang satu ini memang bukan sembarang batu. Menurutnya giok, sejenis dengan bebatuan audisit lain seperti batu kristal jenis intan. Hanya saja, kalau jenis intan bila digosok sempurna akan memantulkan sinar dari dalam, kalau giok tidak.

”Perbedaanya sangat tipis. Tapi harganya terpaut jauh. Meski demikian, kalau batu giok kuno, peninggalan dari Tiongkok, nyaris sama,” kata Sutaryo.

Sutaryo mengaku penjualan batu akik, meski pun banyak tapi akhir-akhir ini mulai berkurang peminatnya. Lihat saja yang datang setiap hari di lapak-lapak etalase sederhana yang kini telah ditata pemerintah kota Solo, para pembelinya tidak banyak berubah. Mereka, ujar Sutaryo lebih lanjut, orangnya itu-itu saja. “Tidak banyak berubah. Mereka kebanyakan pengemar fanatik bebatuan akik,” tutur Sutaryo.

Dulu kata Sutaryo, harga batu giok ber serat dengan warna hijau lumut atau merah marun, bisa sampai puluhan juta. Dibandingkan dengan jenis shafier, atau jenis lain memang Giok masih banyak yang mencari.

“Rata-rata giok dengan cangkang pengikat dari perak Rp.250.000. Tapi kalau Giok umur tua bisa sampai puluhan juta rupiah,” katanya.

Pengemar akik pasti paham jenis bebatuan mahal

Suatu kali, tutur Sutaryo menceritakan pengalamannya, ada orang yang baru saja pulang dari Kalimantan kehabisan uang. Di kantongnya hanya terdapat ratusan ribu rupiah. Jelas tidak cukup untuk membeli tiket pesawat. Orang itu, kemudian menawarkan akik satu-satunya dengan mata Giok hijau pupus dengan harga 2 juta.

“Tentu menjadi bahan tertawaan. Tapi tidak lama kemudian, ada orang datang dari Jakarta setelah melihat-lihat di lapak, dia tidak tertarik. Saat ditawari oleh orang Kalimantan itu, langsung dibayar,” ujarnya. Entah apa yang membuat orang itu tertarik untuk membeli cincin Giok.” katanya.

Setelah laku, baru kemudian satu pedagang yang tadinya tertarik untuk membeli bercerita kalau batu yang dibeli oleh orang dari Jakarta itu ternyata dapat membuat jarum jam berhenti berputar.

Cerita-cerita di balik keunikan dan kesaktian batu akik, bukan kali ini saja terdengar. Percaya atau tidak, seorang pedagang lain pernah hampir digendam oleh seseorang. Saat ia akan menyerahkan uang dan kemudian melihat batu cincin yang dipakainya, malah yang akan mengenggam kabur sendiri.

“Saya menggunakan batu akik jenis kecubung,” katanya. “Saya tidak mengira kalau uang Rp.300.000 yang akan saya serahkan tanpa sadar pada orang itu, ech orang itu malah kabur,” ujar Wardoyo seorang pengemar batu akik

Tidak hanya orang awam yang hobi mengkoleksi batu akik. Entah benar atau tidak, banyak orang, kata Sutaryo, senang mengumpulkan bebatuan akik. Karena keuntungannya lumayan besar. Hanya saja harus telaten berjualan batu akik.

“Rasanya jualan batu akik, dari hari ke hari semakin tercekik nasibnya. Sulit laku. Paling tidak setiap hari paling banter cuma dapat Rp.25.000-75.000,” katanya.  Sejak isu bom dan bakar-bakaran Mei 1998 dulu, ujarnya, omzet penjualan batu akik menurun drastis.

“Apalagi, saya dengar Pepi Fernando, tersangka dalang teror bom buku dan bom Serpong, diketahui juga berbisnis batu giok di Aceh,” ujar seorang pedagang lain yang tidak mau ditulis namanya. “Bisa tambah runyam.” (eddy j soetopo)

Previous Nguber Gading Mammoth
Next Pemain Ketoprak, Pencetus Mietoprak

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *