Siapa Bilang jajanan Kota Bengawan tidak membuat kangen di lidah. Tak hanya perantau dari Solo yang kemecer ketagihan, tetapi wong perantauan yang tinggal lama di Singapura, ngebelain datang ke Sargede –Pasar Gede– hanya nguber jajanan campur-aduk bernama Lenjhongan. Tak hanya pendatang dari negeri Singa yang gembruduk ngelabrak Lenjhongan, tapi juga pendatang dari jazirah Arab Saudi, ikut uyel-uyelan memborong jajan lawasan itu.
Lenjhongan, barangkali tak bakalan ditemukan artinya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan kamus Jawa-Indonesia, tetapi tanya saja wong Solo pasti tahu makna kosakata jajanan khas itu. Meski hampir semua bahan kudapan Lenjongan berasal dari singkong dan beras ketan, toh tak semua ibu-ibu mahir membuatnya.
“Agak susah. Menyita waktu lama. Belum lagi kalau nyari bahan singkong susah, kalau pun dapat, pohung yang mbagel, ndak enak,” ujar Sunar, 64 taun dari Singapura, “di Singapur mana ada jajanan Lenjongan seperti ini.”
Seperti penuturan Sunar, perempuan sepuh asal Balong yang telah menetap ikut anaknya di Singapura, Nurayati dari Mojokerto ngluruk ke Sargede lantaran nguber jajanan khas asli Solo, Lenjongan. “Saya sampai ndlongop, lihat campur-campur pernak-pernik jajanan pasar. Ada tiwul, ketan, trus apa itu namanya yang abang-ijo,” katanya sambil ndhuding jajanan chenil.
Tak mengherankan bila Lenjhongan, jajan pasar tradisional lawasan gagrak Solo, menjadi kembang-lambe yang banyak diperbincangkan dan disatroni penyuka kuliner. Tidak hanya sebakul, sang penjual Lenjhongan mengelar dagangannya dalam bingkai tertutup plastik transparan, ludes dalam waktu 5 jam di lapak yang berada di tengah Sargede.
“Paling cepat 4 jam habis. Kalau masaknya kurang dari sebakul. Tapi kalau ada acara seperti grebeg Sudiro atau ada pesta Sincai –pengertian lain Imlek (red)– masak 2 bakul. Tiwul dan Lenjhonga,” ujar Rukmini sembari menambahkan, “ngedhang gaplek jadi tiwul yang suwe. Kesel.”
Menurutnya, jaman sekarang orang lagi seneng-senengnya mencari jajanan lawas seperti tiwul, lenjhongan dan jadah atau wajik. Barangkali ingin bernostalgia seperti saat masa sulit ketika menyantap makanan pengganjal perut keroncongan. “Siapa tahu, dulunya mereka sehari-hari makan tiwul saat ngrekoso dan makan jadah,” ujar wartawan senior koran di Jogja, “exsotik sih.”
Setidaknya, bagi sebagian warga masyarakat Solo, tidak hanya menganggap kotanya terkenal sebatas kota pariwisata dan batik, tapi juga tempat kongkow-kongkow sembari nyomak-nyamuk makan kudapan jajan pasar Lenjhongan. (eddy j soetopo)
Saran ada map dan layout sarklewer yang memudahkan para wisatawan/awam.